Prostitusi
Maraknya prostitusi, menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat. Khususnya di daerah yang ditempati sebagai lokasi protitusi. Sehingga kadang, ketika seseorang menyebut suatu tempat, yang kebetulan ada lokalisasi, image negatif langsung menghampirinya.
Pelacuran atau prostitusi, seperti disebut dalam Wikipedia, adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, yang tunjuannya untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Mereka yang terlibat dalam pekerjaan ini kebanyakan adalah kaum perempuan. Meski ada juga sebagian kaum laki-laki, yang disebut gigolo.
Di kalangan masyarakat pelacuran dipandang sebagai hal yang negatif. Mereka yang menjual tubuhnya dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, jahat, namun tetap dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacur itu untuk menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki). Tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para hidung belang justru akan memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Sejumlah pemerintah daerah, menunjuk suatu lokasi atau tempat yang khusus digunakan untuk praktek-praktek prostitusi. Tujuannya adalah untuk melokalisir tempat jual beli beli kenikmatan seksual tersebut, agar tidak sampai tercecer di sembarang tempat. Tempat-tempat prostitusi ini menjadi tempat bagi mereka yang suka jajan. Meski prostitusi itu sendiri bukan hal yang legal di negeri ini.
Namun bukan berarti daerah yang tidak memiliki tempat lokalisasi bebas dari transaksi seksual tersebut. Bahkan kadang di daerah-daerah tersebut terlihat vulgar dan jelas, di mana lokasi yang sering dijadikan ajang prostitusi. Oleh masyarakat maupun pemerintah, daerah-daerah tersebut dianggap sebagai tempat prostitusi ilegal atau pun terselubung.
Mengatasi masalah prostitusi ini memang bukan hal yang mudah. Banyak sisi yang harus dipertimbangkan untuk mengatasi persoalan ini. Mungkin tidak ada yang secara terang-terangan mendukung adanya prostitusi, karena dia mengaku sebagai pelanggan. Namun yang menolak keberadaan tempat prostitusi cukup banyak. Baik perorangan maupun lembaga atau organisasi.
Bahkan beberapa organisasi kadang melakukan razia sendiri untuk memberantas praktek prostitusi tersebut. Termasuk pemerintah, yang sering melakukan razia gabungan untuk memberantas apa yang disebut penyakit masyarakat tersebut. Meski kadang razia itu hanya dilakukan di tempat-tempat yang rendahan, bukan di tempat-tempat elite, seperti hotel berbintang.
Sementara praktek-praktek prostitusi itu memang sulit untuk diberantas. Sejak ratusan tahun, bahkan mungkin ribuan tahun, prostitusi itu sudah ada. Bukan budaya, tetapi sebuah praktek kehidupan yang muncul akibat ada kebutuhan dan ada yang memberikan. Sehingga dalam hal ini, praktek prostitusi disebut sebagai penjualan jasa seksual. Di mana yang membutuhkan harus membayar kepada yang memberikan jasa seksual tersebut. Ada pula, orang yang menyebutnya praktek prostitusi ini sebagai sebuah pekerjaan. Di mana mereka yang terjun di dunia pekerjaan itu, layak mendapatkan upah sebagai pekerjaan yang dijalani.
Dilematis memang membahas masalah prostitusi ini. Sehingga pemerintah sendiri, tidak bisa memberantas adanya praktek-praktek prostitusi ini sampai ke akar-akarnya. meski tempat prostitusi itu ditutup, tetap akan muncul di pinggir-pinggir jalan, di warung-warung lesehan atau pun di cafe, hotel dan tempat-tempat dugem lainnya. Prostitusi merupakan masalah sosial yang pelik. (*)
Pelacuran atau prostitusi, seperti disebut dalam Wikipedia, adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, yang tunjuannya untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Mereka yang terlibat dalam pekerjaan ini kebanyakan adalah kaum perempuan. Meski ada juga sebagian kaum laki-laki, yang disebut gigolo.
Di kalangan masyarakat pelacuran dipandang sebagai hal yang negatif. Mereka yang menjual tubuhnya dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, jahat, namun tetap dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacur itu untuk menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki). Tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para hidung belang justru akan memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Sejumlah pemerintah daerah, menunjuk suatu lokasi atau tempat yang khusus digunakan untuk praktek-praktek prostitusi. Tujuannya adalah untuk melokalisir tempat jual beli beli kenikmatan seksual tersebut, agar tidak sampai tercecer di sembarang tempat. Tempat-tempat prostitusi ini menjadi tempat bagi mereka yang suka jajan. Meski prostitusi itu sendiri bukan hal yang legal di negeri ini.
Namun bukan berarti daerah yang tidak memiliki tempat lokalisasi bebas dari transaksi seksual tersebut. Bahkan kadang di daerah-daerah tersebut terlihat vulgar dan jelas, di mana lokasi yang sering dijadikan ajang prostitusi. Oleh masyarakat maupun pemerintah, daerah-daerah tersebut dianggap sebagai tempat prostitusi ilegal atau pun terselubung.
Mengatasi masalah prostitusi ini memang bukan hal yang mudah. Banyak sisi yang harus dipertimbangkan untuk mengatasi persoalan ini. Mungkin tidak ada yang secara terang-terangan mendukung adanya prostitusi, karena dia mengaku sebagai pelanggan. Namun yang menolak keberadaan tempat prostitusi cukup banyak. Baik perorangan maupun lembaga atau organisasi.
Bahkan beberapa organisasi kadang melakukan razia sendiri untuk memberantas praktek prostitusi tersebut. Termasuk pemerintah, yang sering melakukan razia gabungan untuk memberantas apa yang disebut penyakit masyarakat tersebut. Meski kadang razia itu hanya dilakukan di tempat-tempat yang rendahan, bukan di tempat-tempat elite, seperti hotel berbintang.
Sementara praktek-praktek prostitusi itu memang sulit untuk diberantas. Sejak ratusan tahun, bahkan mungkin ribuan tahun, prostitusi itu sudah ada. Bukan budaya, tetapi sebuah praktek kehidupan yang muncul akibat ada kebutuhan dan ada yang memberikan. Sehingga dalam hal ini, praktek prostitusi disebut sebagai penjualan jasa seksual. Di mana yang membutuhkan harus membayar kepada yang memberikan jasa seksual tersebut. Ada pula, orang yang menyebutnya praktek prostitusi ini sebagai sebuah pekerjaan. Di mana mereka yang terjun di dunia pekerjaan itu, layak mendapatkan upah sebagai pekerjaan yang dijalani.
Dilematis memang membahas masalah prostitusi ini. Sehingga pemerintah sendiri, tidak bisa memberantas adanya praktek-praktek prostitusi ini sampai ke akar-akarnya. meski tempat prostitusi itu ditutup, tetap akan muncul di pinggir-pinggir jalan, di warung-warung lesehan atau pun di cafe, hotel dan tempat-tempat dugem lainnya. Prostitusi merupakan masalah sosial yang pelik. (*)
Komentar
Posting Komentar