Kompetensi Wartawan
Saat ini, dunia jurnalistik sudah bukan barang asing bagi masyarakat Indonesia. Karena hampir setiap jam, kita selalu disuguhi berita, baik melalui televisi, radio, maupun internet. Termasuk media cetak, baik koran maupun majalah. Di mana setiap informasi maupun berita yang besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, bisa selalu di-up date, diikuti setiap saat. Itulah salah satu dampak kemajuan teknologi, termasuk di sini adalah teknologi informasi.
Dalam dunia jurnalistik ini, tidak lepas dari profesi seorang wartawan. Profesi yang cukup mulia, karena dari tangan wartawan itulah informasi yang disampaikan melalui beragam media itu bisa sampai ke tangan pembaca. Wartawan adalah penyampai suatu peristiswa kepada masyarakat. Sehingga karena posisinya itu, profesi wartawan sangat begitu dihormati.
Tidak seorang pun bisa menghindari dampak kemajuan teknologi. Di sinilah perlunya masyarakat, mengetahui seluk beluk dunia informasi, dalam hal ini adalah dunia jurnalistik. Dunia yang mengantarkan masyarakat mendapakan informasi melalui media yang ada, baik koran, televisi, maupun internet. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebagian dari kita menjadi narasumber atau pun mungkin menjadi praktisi jurnalistik atau yang dikenal sebagai wartawan. Apalagi sekarang, banyak media yang sudah mengikutkan masyarakat dalam penyampaian berita, yakni citizen journalist, pemberitaan langsung dari masyarakat.
Wartawan, pers atau ada yang menyebutnya jurnalis, adalah salah satu profesi yang diakui. Karenanya ada kode etik yang mengatur kinerja wartawan, yakni Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Yang semua wartawan harus mematuhi kode etik tersebut dan bagi yang melanggarnya, bisa mendapatkan sanksi, baik dari perusahaannya maupun dari Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawasi kinerja wartawan dan lembaga pers.
Namun dalam beberapa hal, profesi wartawan ini kadang tercemar oleh ulah oknum-oknum tertentu, yang mengaku sebagai wartawan, tetapi tidak menggunakan kaidah dan etika jurnalistik. Sehingga profesi yang mulia itu mulai surut dan profesi wartawan dianggap sebagai profesi yang tidak perlu dicita-citakan oleh anak-anak. Karena ulah oknum wartawan yang merusak citra wartawan, dengan perbuatan yang sudah jauh dari tugas dan pokok seorang wartawan, namun lebih pada tindakan kriminal.
Karenanya, selain sudah ada kode etik jurnalitik, Dewan Pers pun kembali membuat aturan, yakni dengan uji kompetensi wartawan. Tujuan dari uji kompetensi wartawan ini adalah untuk menjadikan seorang wartawan itu benar-benar kompeten di bidangnya, benar-benar profesional dengan tugas-tugasnya. Mereka yang sudah lulus uji kompetensi ini akan mendapat sertifikat dari Dewan Pers. Mereka yang sudah dinyatakan lulus itu, bisa dikatakan wartawan yang berkompeten.
Uji kompetensi ini terbagi dalam tiga tingkatan, yakni wartawan muda, madya dan utama. Kompetensi wartawan muda ini diperuntukkan bagi mereka yang masih aktif di lapangan, belum menduduki jabatan struktural di redaksi media yang bersangkutan. Sedangkan tingkat madya diperuntukkan bagi wartawan yang sudah diserahi amanat sebagai redaktur atau editor di media yang bersangkutan. Sementara wartawan utama diperuntukan bagi pemegang jabatan pemimpin redkasi dan redaktur pelaksana.
Uji komptensi ini dalam pelaksanaannya tidak berbeda jauh dengan kegiatan wartawan sehari-hari. Di mana apa yang dilakukan wartawan ini apakah sudah sesuai dengan kode etik jurnalisik atau belum. Jika salah satu tugas peliputan atau materi yang diujikan dinyatakan tidak lulus, maka wartawan tersebut dinyatakan belum berkompeten.
Ke depan, Dewan Pers akan menyaratkan seluruh wartawan di Indonesia ini memiliki standar kompentensi wartawan. Sehingga sisi mulia seorang jurnalis ini akan kembali terangkat dengan adanya uji kompetensi ini. Narasumber bisa saja menolak wartawan yang tidak memiliki sertifikat wartawan berkompeten. Tetapi itu masih dalam wacana di Dewan Pers, yang saat ini terus menggerakkan uji kompetensi yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga yang sudah dinyatakan lulus sebagai penyelenggaran uji kompetensi. (*)
Dalam dunia jurnalistik ini, tidak lepas dari profesi seorang wartawan. Profesi yang cukup mulia, karena dari tangan wartawan itulah informasi yang disampaikan melalui beragam media itu bisa sampai ke tangan pembaca. Wartawan adalah penyampai suatu peristiswa kepada masyarakat. Sehingga karena posisinya itu, profesi wartawan sangat begitu dihormati.
Tidak seorang pun bisa menghindari dampak kemajuan teknologi. Di sinilah perlunya masyarakat, mengetahui seluk beluk dunia informasi, dalam hal ini adalah dunia jurnalistik. Dunia yang mengantarkan masyarakat mendapakan informasi melalui media yang ada, baik koran, televisi, maupun internet. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebagian dari kita menjadi narasumber atau pun mungkin menjadi praktisi jurnalistik atau yang dikenal sebagai wartawan. Apalagi sekarang, banyak media yang sudah mengikutkan masyarakat dalam penyampaian berita, yakni citizen journalist, pemberitaan langsung dari masyarakat.
Wartawan, pers atau ada yang menyebutnya jurnalis, adalah salah satu profesi yang diakui. Karenanya ada kode etik yang mengatur kinerja wartawan, yakni Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Yang semua wartawan harus mematuhi kode etik tersebut dan bagi yang melanggarnya, bisa mendapatkan sanksi, baik dari perusahaannya maupun dari Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawasi kinerja wartawan dan lembaga pers.
Namun dalam beberapa hal, profesi wartawan ini kadang tercemar oleh ulah oknum-oknum tertentu, yang mengaku sebagai wartawan, tetapi tidak menggunakan kaidah dan etika jurnalistik. Sehingga profesi yang mulia itu mulai surut dan profesi wartawan dianggap sebagai profesi yang tidak perlu dicita-citakan oleh anak-anak. Karena ulah oknum wartawan yang merusak citra wartawan, dengan perbuatan yang sudah jauh dari tugas dan pokok seorang wartawan, namun lebih pada tindakan kriminal.
Karenanya, selain sudah ada kode etik jurnalitik, Dewan Pers pun kembali membuat aturan, yakni dengan uji kompetensi wartawan. Tujuan dari uji kompetensi wartawan ini adalah untuk menjadikan seorang wartawan itu benar-benar kompeten di bidangnya, benar-benar profesional dengan tugas-tugasnya. Mereka yang sudah lulus uji kompetensi ini akan mendapat sertifikat dari Dewan Pers. Mereka yang sudah dinyatakan lulus itu, bisa dikatakan wartawan yang berkompeten.
Uji kompetensi ini terbagi dalam tiga tingkatan, yakni wartawan muda, madya dan utama. Kompetensi wartawan muda ini diperuntukkan bagi mereka yang masih aktif di lapangan, belum menduduki jabatan struktural di redaksi media yang bersangkutan. Sedangkan tingkat madya diperuntukkan bagi wartawan yang sudah diserahi amanat sebagai redaktur atau editor di media yang bersangkutan. Sementara wartawan utama diperuntukan bagi pemegang jabatan pemimpin redkasi dan redaktur pelaksana.
Uji komptensi ini dalam pelaksanaannya tidak berbeda jauh dengan kegiatan wartawan sehari-hari. Di mana apa yang dilakukan wartawan ini apakah sudah sesuai dengan kode etik jurnalisik atau belum. Jika salah satu tugas peliputan atau materi yang diujikan dinyatakan tidak lulus, maka wartawan tersebut dinyatakan belum berkompeten.
Ke depan, Dewan Pers akan menyaratkan seluruh wartawan di Indonesia ini memiliki standar kompentensi wartawan. Sehingga sisi mulia seorang jurnalis ini akan kembali terangkat dengan adanya uji kompetensi ini. Narasumber bisa saja menolak wartawan yang tidak memiliki sertifikat wartawan berkompeten. Tetapi itu masih dalam wacana di Dewan Pers, yang saat ini terus menggerakkan uji kompetensi yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga yang sudah dinyatakan lulus sebagai penyelenggaran uji kompetensi. (*)
Komentar
Posting Komentar