Mundur

Keputusan untuk mundur, merupakan keputusan yang sangat berat. Apalagi mundur dari suatu jabatan, yang telah susah payah diraihnya. Bahkan bagi sebagian orang, setelah meraih jabatan tertentu, maka dia akan berusaha untuk meraih jabatan yang lebih tinggi lagi. Karenanya, kata mundur bagi sebagian besar orang adalah barang yang tabu. Ibarat pepatah, kalau masih bisa maju terus, kenapa harus mundur.
Dalam beberapa kasus, keputusan untuk mundur kadang merupakan keputusan yang terpaksa atau dipaksakan. Dipaksa mundur untuk tujuan tertentu atas kemauan seseorang. Dipaksa mundur untuk menyelamatkan diri sendiri atau orang lain. Dalam dalam kasus yang lain, seseorang menyatakan mundur sebagai sikap atas prinsip yang dipegangnya. Mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas keputusan atau pun peristiwa tertentu.
Ada juga orang menyatakan mundur sebagai bagian dari strategi untuk maju beberapa langkah ke depan. Dengan kata lain, mundur untuk maju. Seperti dalam permainan sepak bola, seseorang sebelum menendang bola, kadang harus mundur beberapa langkah terlebih dahulu untuk kemudian maju ke depan dan menendang bola. Sehingga menghasilkan suatu tendangan yang luar biasa dan menghasilkan gol. Begitu pula dengan seseorang yang mundur tadi, bisa dalam rangka seperti itu. Mundur untuk maju, untuk menghasilkan tujuan tertentu.
Sedangkan mundur karena gagal dan tidak mendapat kepercayaan lagi, sepertinya di Indonesia masih sangat jarang. Kata-kata mundur masih hanya sebatas retorika atau pun hanya janji semata. Karena begitu seseorang menduduki jabatan tertentu, ternyata kursi yang diduduki itu empuk. Untuk bangun saja kadang malas. Hingga janji untuk mundur seperti dijanjikan saat sebelum duduk jadi lupa atau dilupakan. Hanya segelintir orang yang berani mundur sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Di mana yang bersangkutan ternyata gagal menjalankan amanat yang diembannya.
Seperti contoh seorang pelatih tim sepak bola, di mana saat pertama dia melatih berjanji akan membawa tim besutannya untuk menjadi juara liga, atau minimal masuk lima besar. Jika dalam perjalanannya, ternyata janji tersebut tidak mungkin terpenuhi, maka sebagai pertanggungjawabannya, dia menyatakan mundur. Begitu pula dalam jabatan publik, seperti yang sempat disampaikan Ketua KPK Abraham Samad, yang menyatakan siap mundur jika dalam waktu satu tahun tidak mampu menuntaskan kasus-kasus korupsi yang besar, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Ada pula seseorang yang mundur karena akan dipecat. Karena dia diketahui melakukan kesalahan dan sanksinya adalah pemecatan dari kedudukannya itu. Sebagai penyelematan harga diri, dari pada dipecat dengan tidak hormat, lebih baik mundur terlebih dahulu dengan hormat. Boleh dikatakan, mundurnya orang ini karena terpaksa atau dipaksa.
Mundurnya seseorang, jelas akan memberikan efek bagi orang lain. Ada yang merasa diuntungkan, ada pula yang merasa dirugikan. Atau justru tidak berpengaruh apa pun terhadap orang lain. Karena memang posisinya tidak penting, seperti hal kedudukan seorang anggota biasa. Tidak ada yang dirugikan atau pun diuntungkan. Berbeda jika yang mundur itu mempunyai jabatan yang penting, seperti anggota DPRD, seorang bupati atau wakil bupati, gubernur, menteri atau bahkan presiden. Namun memang jarang sekali untuk jabatan-jabatan tersebut pejabatnya mundur dengan sukarela. Mundur, memang bukan undur-undur, yang jalannya hanya bisa mundur. (*)

Komentar

Postingan Populer