Budaya, Tradisi dan Adat Istiadat Masyarakat Brebes
Budaya,
tradisi dan adat istiadat merupakan modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam
rangka pelaksanaan pembangunan. Karenanya, pemerintah perlu melakukan upaya
pelestarian dan pengembangan budaya, tradisi dan adat istiadat budaya yang ada
di daerahnya, sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Termasuk di
Kabupaten Brebes, yang penuh dengan budaya, tradisi dan adat istiadat yang
sangat beragam. Apalagi Kabupaten Brebes memiliki keberagaman suku bangsa, yang
hingga kini terus hidup rukun dan damai berdampingan.
Sebelum
menelah lebih jauh kondisi sosial dan budaya, serta adat dan istiadat yang ada
di Kabupaten Brebes, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu, apa yang
dimaksud budaya dan adat istiadat. Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (wikipedia).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai
komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Pertama, Melville
J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat
teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.
Sedangkan Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur
pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara
anggota masyarakatnya untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya,
organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan organisasi kekuatan
(politik). (wikipedia)
Adat
istiadat sendiri merupakan bagian dari budaya secara keseluruhan. Di mana dalam
budaya masyarakat, ada beberapa adat istiadat yang dikembangkan, seperti seni,
tradisi dan perilaku masyarakatnya.
Budaya dan Tradisi Masyarakat Brebes
Seperti diketahui, wilayah Kabupaten Brebes yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat, dipastikan terdapat beberapa asimilasi budaya dari kedua daerah tersebut. Asimiliasi itu, otomatis membentuk adat dan budaya tersendiri. Yang bisa merupakan gabungan dari dua budaya atau bahkan budaya tersendiri, yang tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Hal-hal seperti inilah, yang harus dikembangkan, demi pembangun masyarakat. Yakni dengan mengedepankan pokok-pokok pembangunan daerah. Terutama di bidang pengembangan ekonomi masyarakat, pelestarian dan kemandirian masyarakat. Dengan dilestarikannya budaya dan adat istiadat masyarakat itu sendiri, maka secara langsung atau tidak langsung akan turut mengembangkan ekonomi masyarakatnya.
Kedua, dengan pengembangan itu, maka budaya dan adat istiadat yang ada itu dapat dipertahankan terus menerus. Sehingga tidak akan punah dimakan zaman. Generasi muda yang tadinya tidak tahu, dengan adanya pelestarian budaya dan adat istiadat ini, mereka menjadi tahu dan kemudian meneruskannya. Ketiga, dengan pemahaman generasi-generasi yang ada, termasuk generasi muda, maka kemandirian budaya dan adat istiadat di wilayahnya tersebut dapat berkembang sendiri, mandiri dan profesional.
Secara umum, budaya masyarakat Brebes berasal dari akar kebudayaan Jawa dan Sunda. Untuk kebudayaan Sunda, tersebar di di enam kecamatan, yakni Kecamatan Salem, sebagian di Kecamatan Bantarkawung, Larangan, Banjarharjo, Ketanggungan dan Losari. Di beberapa kecamatan yang berbatasan dengan kebudayaan Sunda, terdapat banyak asimilasi budaya Sunda dan Jawa. Bahkan sebagian penduduknya juga menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
Sementara kecamatan-kecamatan yang lain, di luar enam kecamatan tersebut, berasal dari kebudayaan Jawa. Meski kebudayaan Jawa yang ada di Kabupaten Brebes dan sekitarnya berbeda akar budaya yang ada di keraton-keraton Jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan itu terjadi akibat asimilasi budaya serta faktor perkembangan zaman yang terjadi. Seperti dalam penggunaan bahasa Jawa, untuk wilayah keraton masih sangat ketat menggunakan tata krama berbahasa Jawa. Karenanya, di wilayah keraton dan sekitarnya, masih ada bahasa Jawa Keratonan, bahasa Jawa Kromo, bahasa Jawa Ngoko.
Sementara di Kabupaten Brebes, daerah Pantura, penggunaan bahasa Jawa Kromo sudah hampir tidak digunakan, khususnya di kalangan masyarakat Pantura. Namun bukan berarti tradisi itu hilang sama sekali, sebagian masih tetap dipertahankan dengan baik. Masyarakat Brebes dan sekitarnya, saat ini lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brebesan, bahasa Jawa dialek Brebes.
Secara umum, budaya masyarakat Kabupaten Brebes tidak banyak berbeda dengan budaya Jawa atau pun Sunda secara keseluruhan. Bahkan sebagai bagian dari Indonesia, budaya yang ada di Kabupaten Brebes semakin memperkaya khasanah budaya yang ada. Kalau bangsa Indonesia secara umum dikenal dengan budaya gotong royong, maka di Kabupaten Brebes budaya gotong royong juga menjadi budaya sehari-hari. Secara khusus, ada beberapa budaya yang terkait dengan budaya gotong royong yang ada di Kabupaten Brebes, antara lain:
Kerigan dalam bahasa Indonesia berarti kerja bakti bersama seluruh warga di suatu lingkungan, seperti RT, RW atau suatu pedukuhan, bahkan hingga satu desa. Kerigan ini dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Brebes setiap hari-hari tertentu aau setiap saat kalau dirasa perlu. Seperti kerigan untuk membersihkan saluran air dan sampah rumah tangga di lingkungan mereka masing-masing. Istilah kerigan ini saat ini sudah jarang digunakan, masyarakat dan pemerintah lebih sering menggunakan istilah kerja bakti, gerakan Jumat Bersih atau Minggu Bersih dan sebagainya.
Istilah kerigan ini mungkin perlu diingatkan kembali, agar masyarakat tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya. Dengan istilah yang berasal dari bahasa lokal, bahasa Brebesan, maka semngat kegotongroyongan itu akan tetap terpelihara. Karena saat ini, ada indikasi budaya individualisme di tengah-tengah masyarakat mulai tumbuh. Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah, maupun instansi dan lembaga terkait agar budaya ini tetap lestari dan berkembang. Antara lain dengan terus mengadakan kerigan atau gotong royong secara rutin setiap pekan sekali, baik melalui gerakan Jumat Bersih atau pun Minggu Sehat.
Sambatan, secara umum juga berarti gotong royong di antara sesama warga. Istilah sambatan ini lebih mengarah kepada istilah tolong-menolong di antara sesama warga. Ketika ada seorang warga, yang mempunyai pekerjaan atau pun hajatan, biasanya pemilik pekerjaan atau hajatan itu akan meminta sambatan kepada tetangga-tetangga terdekatnya.
Misalnya saat seorang warga akan membangun sebuah rumah. Biasanya warga akan melakukan sambatan saat membuat pondasi rumah. Sambatan ini, bisanya dilakukan secara bersama-sama atau bergantian antar beberapa warga. Sambatan dilakukan tidak sampai sehari penuh, biasanya cukup setengah hari saja, dari pagi hingga siang hari. Pemilik rumah atau yang nduwe gawe, cukup menyediakan minuman dan makanan saja, istilah Brebesnya wedang dan panganan untuk mereka yang disambat membantu pekerjaan tadi.
Sambatan juga bisa dilakukan bagi mereka yang memiliki hajatan, seperti pengantin atau pun sunatan. Pemilik hajat biasanya akan minta sambatan kepada orang-orang tertentu, misalnya untuk mengantar undangan, membuat layos atau pun membuat dekorasi. Sedangkan kaum ibu, biasanya disambat untuk mengiring pengantin, dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki dan kembali lagi.
Sinoman atau senoman juga merupakan salah satu bentuk gotong royong yang hingga kini masih menjadi budaya masyarakat Brebes. Dalam bahasa Indonesia, sinoman atau senoman berarti membantu orang yang sedang punya hajat. Baik hajatan pengantenan atau pun sunatan.
Budaya sinoman/senoman ini umumnya dilakukan oleh warga yang masih memiliki unsur kekerabatan, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga dekatnya. Sinoman dilakukan biasanya saat pemilik hajatan membuat kue atau pun makanan seperti berkat, adep-adep atau yang lainnya. Mereka yang senoman itu, biasanya datang sendiri dan tidak dibayar. Sebagai upah atau penghargaan atau sinoman/senoman yang dilakukan itu, biasanya pemilik hajat akan memberikan kue atau makanan yang dibuat bersama-sama tersebut.
Budaya sinoman/senoman saat ini masih tumbuh subur di masyarakat pedesaan, khususnya dilakukan kaum ibu/perempuan, meski kaum bapak/laki-laki juga ada yang sinoman juga. Sementara di masyarakat perkotaan, budaya sinoman/senoman, sudah mulai berkurang.
Hal ini bukan karena tidak dikenal atau tidak diperkenankan lagi, tetapi karena saat ini tradisi masyarakat di perkotaan saat menggelar hajatan sudah mulai bergeser. Karena sebagian besar masyarakat perkotaan, sekarang ini memilih yang lebih praktis, yakni memesan makanan lewat orang lain, seperti katering atau pun makanan yang sudah jadi dari toko. Acaranya pun digelar di gedung pertemuan atau aula, yang mampu menampung tamu lebih banyak dalam jangka waktu bersamaan. Atau juga karena kondisi rumah pemilik hajatan terlalu sempit dan tidak ada halaman atau pekarangan untuk menerima tamu. Sehingga saat menggelar hajatan memilih untuk menyewa gedung atau aula yang lebih luas. Di sini, saudara, tetangga atau rekan sejawat akan senoman dalam bentuk yang lain. Seperti misalnya menjadi penerima tamu atau bidang yang lain.
Gotong royong yang dilakukan masyarakat Brebes, tidak hanya dari segi fisik atau tenaga dan jasa atau pemikiran saja. Namun juga dalam bentuk materi atau harta. Gotong royong ini, dilakukan saat seorang warga memiliki hajatan atau sedang membangun rumah. Bantuan dalam bentuk materi atau harta ini sering disebut dengan telitian, atau ada yang menyebutnya dengan sumbangan, tetapi pada waktunya nanti harus bergantian.
Orang yang memiliki hajatan, selain membutuhkan tenaga untuk sinoman, juga membutuhkan materi, seperti beras, gula dan kebutuhan lainnya saat hajatan. Biasanya, beberapa warga, yang dalam jangka waktu ke depan, akan melakukan telitian. Tujuannya, selain membantu pemilik hajat, juga untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena dipastikan, saat diri sendiri menggelar hajatan, juga membutuhkan materi dan harta yang banyak. Dan untuk memperingan biaya penyelenggaraan hajat itu, sebagian warga melakukan telitian terlebih dahulu dengan pemilik hajat. Biasanya, pemilik hajat itu dimintai pendapat terlebih dahulu, apakah akan telitian dengannya atau tidak.
Telitian juga dilakukan warga yang tengah membangun rumah. Tujuannya juga sama, selain membantu warga yang tengah membangun rumah dengan bantuan materi, pemberi telitian akan meminta ganti pada saat yang bersangkutan tersebut juga membangun rumah kemudian hari. Bentuk telitian tersebut biasanya berupa bahan material, misal semen sejumlah beberapa zak. Kemudian saat mengembalikan telitian, juga dalam bentuk material lagi. Meskipun pada prakteknya, telitian dilakukan secara tunai, namun besaran uang yang diterima berdasarkan harga material yang disumbangkan tersebut. Sehingga ketika beberapa tahun ke depan pemberi sumbangan akan meminta telitian, yang dihitung adalah jumlah barang materialnya tersebut. Karena biasanya, dan hampir dipastikan, harga barang material tersebut mengalami kenaikan.
Kalau di masyarakat Jawa budaya gotong royong masih melekat, di masyarakat Sunda juga tidak kalah. Salah satunya adalah budaya ajak. Budaya ini dilakukan saat seorang warga tengah membuat rumah. Warga, baik tetangga maupun saudara dekat, berbondong-bondong datang untuk membantu membangun rumah tersebut. Ajak ini dilakukan secara sukarela, baik berupa tenaga kerja maupun logistik, seperti makanan dan minuman, sembako, rokok serta bahan material hingga uang.
Tradisi ajak ini, bisa diikuti ratusan orang di kampung tersebut, sehingga dalam waktu beberapa hari saja, rumah yang dibangun itu langsung jadi. Budaya ajak ini tidak hanya pada hari pertama pembangunan rumah saja, tetapi hingga rumah itu selesai dibangun. Pemilik rumah, mungkin tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kebutuhan makan dan minum warga yang ikut ajak tersebut, karena warga yang lain datang memberikan kebutuhan logistik tersebut. Bahkan ada yang memberi kambing atau ayam untuk dipotong dan dimakan bersama warga yang ikut ajak tersebut.
Kebudayaan dan tradisi masyarakat Brebes yang lain, yang hingga kini masih sangat kuat adalah budaya tilik. Budaya tilik ini, hampir menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Brebes, baik yang berasal dari wilayah Jawa maupun Sunda. Budaya ini hingga kini masih cukup kuat di tengah masyarakat. Tilik, dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk, menengok warga kepada warga yang lain. Tujuan dari budaya tilik ini adalah menyambung tali silaturahmi, antara saudara, teman dan tetangga. Budaya tilik ini, biasanya dilakukan saat ada warga yang melahirkan, istilahnya tilik bayi. Jika ada yang sakit, maka istilahnya tilik orang sakit. Termasuk jika ada orang mau berangkat haji atau sepulang haji, juga ada istilah tilik haji.
Budaya dan tradisi tilik ini, biasanya tidak hanya silaturahmi dengan tangan kosong saja, tetapi biasanya mereka yang tilik membawa sesuatu. Jika tilik bayi, biasanya yang dibawa adalah peralatan bayi, baik peralatan mandi, cuci, pakaian hingga kebutuhan bayi yang lain. Tilik orang sakit, biasanya dilakukan bersama-sama. Jika dirawat di rumah sakit, apalagi lokasinya jauh, biasanya bersama-sama menyewa kendaraan untuk tilik orang sakit tersebut. Sebagian juga memberikan uang, untuk membantu biaya berobat atau keluarga yang sakit tersebut.
Begitu juga ketika tilik orang yang mau naik haji atau pulang haji. Ketika tilik haji, biasanya lebih bersifat spritual. Para penilik haji, biasanya minta didoakan di depan Kabah, atau namanya dipanggil, dengan tujuan supaya suatu saat nanti bisa naik haji pula. Ketika pulang haji, biasanya yang tilik haji juga minta didoakan, karena mereka yang baru pulang haji, doanya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Adat istiadat yang ada di tengah masyarakat Brebes, tidak lepas dari budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam keseharian masyarakatnya. Adat istiadat itu, selalu dijiwai semangat kegotongroyongan, kebersamaan dan silaturahmi. Beberapa kegiatan adat istiadat yang ada di masyarakat, hingga kini masih tetap dilestarikan. Seperti sedekah bumi, sedekah laut, halal bihalal, khaul dan adat-adat lainnya.
Adat istiadat yang ada sekarang ini, perlu dilestarikan agar generasi muda tidak sampai tidak tahu, apa dan bagaimana adat istiadat yang ada di lingkungannya. Karena pada dasarnya, adat istiadat itu memiliki makna dan pelajaran hidup bagi masyarakatnya. Sehingga harapannya, ketika generasi muda mengenal dan memahami adat istiadatnya, selain tradisi itu tetap lestari, juga yang paling penting adalah nilai dan ajaran adat istiadat itu mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedekah bumi, berarti bersedekah atas hasil bumi atau pertanian yang diperolehnya. Sedekah dilakukan setelah masa panen, biasanya setelah panen padi baru digelar sedekah bumi. Yang harus digarisbawahi, bahwa sedekah bumi ini, bukan sedekah kepada bumi atau tanah. Pengertian sedekah bumi ini sering disalah artikan, seolah-olah bumi atau tanah yang diberi sedekah, sehingga sering menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karenanya, pengertian sedekah bumi ini harus dijelaskan dan latar belakang adat istiadat ini juga perlu disampaikan. Sehingga tidak sampai timbul pengertian yang salah atas adat istiadat sedekah bumi.
Sedekah bumi ini, biasanya diwarnai dengan pentas wang kulit atau wayang golek. Lakon yang dibawakan dalam pentas wayang ini, biasanya sesuai dengan maksud dan tujuan sedekah bumi tersebut, yakni terkait dengan ungkapan syukur kepada Tuhan, atas hasil yang diperoleh dari bumi Tuhan tersebut berupa hasil-hasil pertanian yang melimpah.
Pelaksanaan kegiatan sedekah bumi ini, biayanya dilakukan secara bergotong royong, iuran seluruh warga, khususnya para petani. Lokasi digelarnya sedakah bumi, biasanya di pusat desa, seperti di balai desa atau pun lapangan desa, atau juga di dekat pintu air yang merupakan pusat pengairan di desa tersebut. Sebagian besar desa di Kabupaten Brebes masih menyelenggarakan tradisi ini. Namun beberapa desa sudah jarang menggelar tradisi, karena mahalnya biaya penyelenggaraan. Sementara kondisi ekonomi warga, khususnya petani masih memprihatinkan. Sehingga tradisi sedekah bumi ini tidak digelar setiap tahun, tapi hanya dilakukan beberapa tahun sekali, tergantung situasi dan kondisi ekonomi warganya.
Dalam pentas wayang itu, warga khususnya petani, berbondong-bondong memberikan sedekah dalam bentuk ambeng untuk dimakan bersama-sama. Ambeng atau makanan bersama lauk-pauknya diberikan saat pentas itu berlangsung. Selain pentas wayang, biasanya juga diisi dengan pengajian, yakni dengan mengundang penceramah, baik kiai atau ustdaz untuk memberikan mauidhoh khasanah, pelajaran yang baik.
Sedekah laut tidak berbeda jauh dengan sedekah bumi. Pengertian sedekah laut adalah bersedakah atas hasil laut yang diperoleh para nelayan. Pengertian sedekah laut, saat ini juga ada kesalahpahaman, di mana sedekah laut sering dianggap bersedekah kepada laut. Antara lain dengan melarung kepala kerbau, sesaji dan beberapa makanan.
Manten tebu, bukan berati pesta pernikahan seseorang dengan latar belakang tebu. Tetapi merupakan upacara atau tradisi yang dilakukan sebelum penggilingan tebu di pabrik gula ini dimulai. Disebut manteh tebu, lantaran dalam tradisi itu ada iriang-iringan tebu, yang dirias seperti pengatin, ada yang dirias seperti pengantin perempuan dan ada yang dirias seperti pengantin laki-laki.
Tradisi pengantin tebu ini hanya ada di daerah yang memiliki pabrik tebu. Di Kabupaten Brebes, tradisi ini masih berlangsung di Pabrik Gula (PG) Jatibarang. Sementara PG Banjaratma, yang sudah gulung tikar, otomatis tidak ada lagi tradisi manten tebu.
Tradisi manten tebu ini, bertujuan agar selama proses penggilingan tebu menjadi gula, berjalan lancar tanpa kendala. Selain itu, juga diharapkan hasil rendemen tebunya juga baik, sehingga petani bisa menghasilkan pendapatan yang baik pula.
Kesenian merupakan salah satu bagian dari unsure kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Kesenian menjadi sesuatu yang melekat dan tak terpisahkan dari suatu kebudayaan. Di mana ada kebudayaan, di situ ada kesenian. Begitu juga di Kabupaten Brebes, yang terdapat beberapa budaya, juga terdapat banyak kesenian yang dikembangkan masyarakatnya. Antara lain:
Burok, istilah ini tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Burok ini berkembang di wilayah Pantura Jawa, termasuk Kabupaten Brebes. Di mana dalam sejarahnya, Burok ini merupakan tradisi yang dikembangkan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam, sama seperti halnya wayang kulit atau pun wayang golek. Namun kesenian burok ini, lebih berkembang di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Burok merupakan sosok perempuan cantik, yang berbadan kuda terbang. Burok ini untuk menggambarkan kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW saat menerima perintah sholat. Di mana saat itu, dikisahkan perjalanan Nabi Muhammad menggunakan burok. Oleh Sunan Kalijaga, digambarkanlah proses perjalanan itu dengan burok, yang sekarang berkembang di masyarakat.
Selain burok, yang digambarkan putri ayu dengan tubuh kuda bersayap itu, juga diiringi dengan berbagai jenis binatang pengiringnya. Seperti harimau, singa, gajah dan lain-lainnya. Kesenian ini juga diiringi dengan masik dan lagu Islami. Namun sekarang ini, musik dan lagu yang mengiri sudah umum, termasuk musik dangdut.
Kesenian burok ini, biasanya ditampilkan saat ada anak yang dikhitan. Anak yang dikhitan itu dinaikkan ke atas burok dan diajak berkeliling kampung. Selain itu, dalam momen-momen tertentu, burok juga menjadi alat untuk membantu syiar Islam, seperti saat bulan puasa, di mana kelompok burok bermain untuk membangunan umat Islam untuk makan sahur. Biasanya dilakukan pukul 01.00 hingga pukul 03.00 WIB.
Kuda lumping merupakan tari-tarian yang menggunakan alat bantu berupa kuda yang terbuat dari lumping (kulit hewan) atau sejenisnya. Kuda lumping ini, selain yang hanya berupa tari-tarian, ada juga yang dicampur dengan budaya mistis. Di mana pemain kuda lumping, dengan dibantu seorang pawang, akan memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti makan pecahan kaca dan paku, maka padi yang masih ada kulitnya, mengupas kelapa dengan mulut dan atraksi-atraksi lainnya.
Kuda lumping ini juga diiringi musik tradisional, yang membuat suasan menjadi menyenangkan. Biasanya, atraksi kuda lumping ini juga diikuti dengan barongan, topeng yang berbentuk menyeramkan dengan mulut yang lebar. Di dalamnya ada orang yang bermain barongan, biasanya sambil membuka dan menutup mulutnya yang lebar, istilahnya caplok.
3. Sintren
Sintren, salah satu kesenian yang berbau magis. Karena dari kesenian yang dibawakan remaja putri itu, banyak peristiswa yang tidak masuk dalam pikiran orang biasa. Di mana seorang sintren, sebelum beraksi hanya seorang putri biasa. Pawang hanya menyediakan baju dan alat-alat rias, dan kemudian putrid remaja yang siap menjadi sintren itu dimasukkan dalam kurungan.
Dan dalam waktu singkat, putri tadi berubah menjadi putri yang sangat cantik. Dengan diiringi musik, putri itu menari dengan gemulai. Namun setiap ada penonton yang memberi uang atau sawer, dengan cara dilempar ke penari putri tadi, justru penari itu langsung pingsan. Sehingga sang pawang harus selalu di dekat penari sintren itu, supaya saat dilempar uang oleh penonton tidak sampai terjatuh dan terluka.
Untuk menjadi penari sintren, salah satu syaratnya adalah anak gadis yang masih perawan. Tidak sembarang orang bisa menjadi penari sintren. Biasanya, penari sintren ini adalah remaja berusia belasan tahun, yang dipastikan masih perawan. Kesenian ini selalu menyedot perhatian penonton setiap kali pentas. Namun kesenian ini sudah jarang dipertunjukkan, hanya momen-moment terentu saja mereka tampil.
Kuntulan merupakan salah satu tradisi masyarakat Pantura, termasuk Kabupaten Brebes. Kuntulan adalah salah satu atraksi dan tari-tarian yang dilakukan peserta perguruan silat. Mereka menampilkan jurus-jurus tertentu, dengan gerakan serempak yang dilakukan beberapa orang. Atraksi dan jurus-jurus ini, dilakukan untuk memperlihatkan kemampuan yang sudah dimiliki peserta selama berlatih silat. Biasanya kuntulan ini dilakukan para santri atau peserta perguruan silat.
Pemain kuntulan, baisanya berpakaian putih-putih, atau hitam-hitam, dengan ikat pinggang menggunakan sarung. Seperti namanya, kuntulan ini memang diambil dari istilah burung kuntul, yang berwarna putih-putih. Dengan gerakannya yang tenang, namun berhasil mendapatkan tujuannya, yakni menangkap ikan. Begitu juga dengan gerakan penari kuntulan tersebut, juga terlihat tenang, namun berisi.
Di wilayah selatan Brebes, ada juga kesenian sejenis kuntulan, yakni rudat. Rudat ini hampir sama dengan kesenian kuntulan, di mana dilakukan secara berkelompok dengan menunjukkan aksi silat yang dilakukan oleh santri atau pun anggota perguruan silat.
Tari topeng, selama ini dikenal hanya ada di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Padahal dari wilayah Kabupaten Brebes juga ada, karena memang daerah ini berbatasan. Bahkan sebenarnya, beberapa penari topeng berasal dari Brebes, khususnya dari Kecamatan Losari, yang berbatasan dengan Cirebon.
Tari topeng ini sebenarnya tidak beda jauh dengan tari-tari tradisional lainnya. Hanya yang membedakan penggunaan topengnya, itulah kenapa disebut tari topeng.
Calung merupakan musik bambu yang dimainkan beberapa orang. Calung ini berkembang di wilayah selatan Kabupaten Brebes, karena memang musik calung ini lebih dikenal sebagai kesenian daerah Banyumas. Namun di wilayah Kabupaten Brebes, seperti wilayah Paguyangan, Bantarkawung dan Bumiayu juga berkembang musik calung ini.
Bahkan saat ini beberapa calung bukan hanya ada di wilayah selatan Brebes saja, tetapi juga sudah hampir merata di selurh wilayah Kabupaten Brebes. Khususnya di sekolah-sekolah, yang menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler musik calung.
Budaya dan Tradisi Masyarakat Brebes
Seperti diketahui, wilayah Kabupaten Brebes yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat, dipastikan terdapat beberapa asimilasi budaya dari kedua daerah tersebut. Asimiliasi itu, otomatis membentuk adat dan budaya tersendiri. Yang bisa merupakan gabungan dari dua budaya atau bahkan budaya tersendiri, yang tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Hal-hal seperti inilah, yang harus dikembangkan, demi pembangun masyarakat. Yakni dengan mengedepankan pokok-pokok pembangunan daerah. Terutama di bidang pengembangan ekonomi masyarakat, pelestarian dan kemandirian masyarakat. Dengan dilestarikannya budaya dan adat istiadat masyarakat itu sendiri, maka secara langsung atau tidak langsung akan turut mengembangkan ekonomi masyarakatnya.
Kedua, dengan pengembangan itu, maka budaya dan adat istiadat yang ada itu dapat dipertahankan terus menerus. Sehingga tidak akan punah dimakan zaman. Generasi muda yang tadinya tidak tahu, dengan adanya pelestarian budaya dan adat istiadat ini, mereka menjadi tahu dan kemudian meneruskannya. Ketiga, dengan pemahaman generasi-generasi yang ada, termasuk generasi muda, maka kemandirian budaya dan adat istiadat di wilayahnya tersebut dapat berkembang sendiri, mandiri dan profesional.
Secara umum, budaya masyarakat Brebes berasal dari akar kebudayaan Jawa dan Sunda. Untuk kebudayaan Sunda, tersebar di di enam kecamatan, yakni Kecamatan Salem, sebagian di Kecamatan Bantarkawung, Larangan, Banjarharjo, Ketanggungan dan Losari. Di beberapa kecamatan yang berbatasan dengan kebudayaan Sunda, terdapat banyak asimilasi budaya Sunda dan Jawa. Bahkan sebagian penduduknya juga menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
Sementara kecamatan-kecamatan yang lain, di luar enam kecamatan tersebut, berasal dari kebudayaan Jawa. Meski kebudayaan Jawa yang ada di Kabupaten Brebes dan sekitarnya berbeda akar budaya yang ada di keraton-keraton Jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan itu terjadi akibat asimilasi budaya serta faktor perkembangan zaman yang terjadi. Seperti dalam penggunaan bahasa Jawa, untuk wilayah keraton masih sangat ketat menggunakan tata krama berbahasa Jawa. Karenanya, di wilayah keraton dan sekitarnya, masih ada bahasa Jawa Keratonan, bahasa Jawa Kromo, bahasa Jawa Ngoko.
Sementara di Kabupaten Brebes, daerah Pantura, penggunaan bahasa Jawa Kromo sudah hampir tidak digunakan, khususnya di kalangan masyarakat Pantura. Namun bukan berarti tradisi itu hilang sama sekali, sebagian masih tetap dipertahankan dengan baik. Masyarakat Brebes dan sekitarnya, saat ini lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brebesan, bahasa Jawa dialek Brebes.
Secara umum, budaya masyarakat Kabupaten Brebes tidak banyak berbeda dengan budaya Jawa atau pun Sunda secara keseluruhan. Bahkan sebagai bagian dari Indonesia, budaya yang ada di Kabupaten Brebes semakin memperkaya khasanah budaya yang ada. Kalau bangsa Indonesia secara umum dikenal dengan budaya gotong royong, maka di Kabupaten Brebes budaya gotong royong juga menjadi budaya sehari-hari. Secara khusus, ada beberapa budaya yang terkait dengan budaya gotong royong yang ada di Kabupaten Brebes, antara lain:
1. Kerigan
Kerigan dalam bahasa Indonesia berarti kerja bakti bersama seluruh warga di suatu lingkungan, seperti RT, RW atau suatu pedukuhan, bahkan hingga satu desa. Kerigan ini dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Brebes setiap hari-hari tertentu aau setiap saat kalau dirasa perlu. Seperti kerigan untuk membersihkan saluran air dan sampah rumah tangga di lingkungan mereka masing-masing. Istilah kerigan ini saat ini sudah jarang digunakan, masyarakat dan pemerintah lebih sering menggunakan istilah kerja bakti, gerakan Jumat Bersih atau Minggu Bersih dan sebagainya.
Istilah kerigan ini mungkin perlu diingatkan kembali, agar masyarakat tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya. Dengan istilah yang berasal dari bahasa lokal, bahasa Brebesan, maka semngat kegotongroyongan itu akan tetap terpelihara. Karena saat ini, ada indikasi budaya individualisme di tengah-tengah masyarakat mulai tumbuh. Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah, maupun instansi dan lembaga terkait agar budaya ini tetap lestari dan berkembang. Antara lain dengan terus mengadakan kerigan atau gotong royong secara rutin setiap pekan sekali, baik melalui gerakan Jumat Bersih atau pun Minggu Sehat.
2. Sambatan
Sambatan, secara umum juga berarti gotong royong di antara sesama warga. Istilah sambatan ini lebih mengarah kepada istilah tolong-menolong di antara sesama warga. Ketika ada seorang warga, yang mempunyai pekerjaan atau pun hajatan, biasanya pemilik pekerjaan atau hajatan itu akan meminta sambatan kepada tetangga-tetangga terdekatnya.
Misalnya saat seorang warga akan membangun sebuah rumah. Biasanya warga akan melakukan sambatan saat membuat pondasi rumah. Sambatan ini, bisanya dilakukan secara bersama-sama atau bergantian antar beberapa warga. Sambatan dilakukan tidak sampai sehari penuh, biasanya cukup setengah hari saja, dari pagi hingga siang hari. Pemilik rumah atau yang nduwe gawe, cukup menyediakan minuman dan makanan saja, istilah Brebesnya wedang dan panganan untuk mereka yang disambat membantu pekerjaan tadi.
Sambatan juga bisa dilakukan bagi mereka yang memiliki hajatan, seperti pengantin atau pun sunatan. Pemilik hajat biasanya akan minta sambatan kepada orang-orang tertentu, misalnya untuk mengantar undangan, membuat layos atau pun membuat dekorasi. Sedangkan kaum ibu, biasanya disambat untuk mengiring pengantin, dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki dan kembali lagi.
3. Sinoman
Sinoman atau senoman juga merupakan salah satu bentuk gotong royong yang hingga kini masih menjadi budaya masyarakat Brebes. Dalam bahasa Indonesia, sinoman atau senoman berarti membantu orang yang sedang punya hajat. Baik hajatan pengantenan atau pun sunatan.
Budaya sinoman/senoman ini umumnya dilakukan oleh warga yang masih memiliki unsur kekerabatan, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga dekatnya. Sinoman dilakukan biasanya saat pemilik hajatan membuat kue atau pun makanan seperti berkat, adep-adep atau yang lainnya. Mereka yang senoman itu, biasanya datang sendiri dan tidak dibayar. Sebagai upah atau penghargaan atau sinoman/senoman yang dilakukan itu, biasanya pemilik hajat akan memberikan kue atau makanan yang dibuat bersama-sama tersebut.
Budaya sinoman/senoman saat ini masih tumbuh subur di masyarakat pedesaan, khususnya dilakukan kaum ibu/perempuan, meski kaum bapak/laki-laki juga ada yang sinoman juga. Sementara di masyarakat perkotaan, budaya sinoman/senoman, sudah mulai berkurang.
Hal ini bukan karena tidak dikenal atau tidak diperkenankan lagi, tetapi karena saat ini tradisi masyarakat di perkotaan saat menggelar hajatan sudah mulai bergeser. Karena sebagian besar masyarakat perkotaan, sekarang ini memilih yang lebih praktis, yakni memesan makanan lewat orang lain, seperti katering atau pun makanan yang sudah jadi dari toko. Acaranya pun digelar di gedung pertemuan atau aula, yang mampu menampung tamu lebih banyak dalam jangka waktu bersamaan. Atau juga karena kondisi rumah pemilik hajatan terlalu sempit dan tidak ada halaman atau pekarangan untuk menerima tamu. Sehingga saat menggelar hajatan memilih untuk menyewa gedung atau aula yang lebih luas. Di sini, saudara, tetangga atau rekan sejawat akan senoman dalam bentuk yang lain. Seperti misalnya menjadi penerima tamu atau bidang yang lain.
4. Telitian
Gotong royong yang dilakukan masyarakat Brebes, tidak hanya dari segi fisik atau tenaga dan jasa atau pemikiran saja. Namun juga dalam bentuk materi atau harta. Gotong royong ini, dilakukan saat seorang warga memiliki hajatan atau sedang membangun rumah. Bantuan dalam bentuk materi atau harta ini sering disebut dengan telitian, atau ada yang menyebutnya dengan sumbangan, tetapi pada waktunya nanti harus bergantian.
Orang yang memiliki hajatan, selain membutuhkan tenaga untuk sinoman, juga membutuhkan materi, seperti beras, gula dan kebutuhan lainnya saat hajatan. Biasanya, beberapa warga, yang dalam jangka waktu ke depan, akan melakukan telitian. Tujuannya, selain membantu pemilik hajat, juga untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena dipastikan, saat diri sendiri menggelar hajatan, juga membutuhkan materi dan harta yang banyak. Dan untuk memperingan biaya penyelenggaraan hajat itu, sebagian warga melakukan telitian terlebih dahulu dengan pemilik hajat. Biasanya, pemilik hajat itu dimintai pendapat terlebih dahulu, apakah akan telitian dengannya atau tidak.
Telitian juga dilakukan warga yang tengah membangun rumah. Tujuannya juga sama, selain membantu warga yang tengah membangun rumah dengan bantuan materi, pemberi telitian akan meminta ganti pada saat yang bersangkutan tersebut juga membangun rumah kemudian hari. Bentuk telitian tersebut biasanya berupa bahan material, misal semen sejumlah beberapa zak. Kemudian saat mengembalikan telitian, juga dalam bentuk material lagi. Meskipun pada prakteknya, telitian dilakukan secara tunai, namun besaran uang yang diterima berdasarkan harga material yang disumbangkan tersebut. Sehingga ketika beberapa tahun ke depan pemberi sumbangan akan meminta telitian, yang dihitung adalah jumlah barang materialnya tersebut. Karena biasanya, dan hampir dipastikan, harga barang material tersebut mengalami kenaikan.
5. Ajak
Kalau di masyarakat Jawa budaya gotong royong masih melekat, di masyarakat Sunda juga tidak kalah. Salah satunya adalah budaya ajak. Budaya ini dilakukan saat seorang warga tengah membuat rumah. Warga, baik tetangga maupun saudara dekat, berbondong-bondong datang untuk membantu membangun rumah tersebut. Ajak ini dilakukan secara sukarela, baik berupa tenaga kerja maupun logistik, seperti makanan dan minuman, sembako, rokok serta bahan material hingga uang.
Tradisi ajak ini, bisa diikuti ratusan orang di kampung tersebut, sehingga dalam waktu beberapa hari saja, rumah yang dibangun itu langsung jadi. Budaya ajak ini tidak hanya pada hari pertama pembangunan rumah saja, tetapi hingga rumah itu selesai dibangun. Pemilik rumah, mungkin tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kebutuhan makan dan minum warga yang ikut ajak tersebut, karena warga yang lain datang memberikan kebutuhan logistik tersebut. Bahkan ada yang memberi kambing atau ayam untuk dipotong dan dimakan bersama warga yang ikut ajak tersebut.
5. Tilik
Kebudayaan dan tradisi masyarakat Brebes yang lain, yang hingga kini masih sangat kuat adalah budaya tilik. Budaya tilik ini, hampir menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Brebes, baik yang berasal dari wilayah Jawa maupun Sunda. Budaya ini hingga kini masih cukup kuat di tengah masyarakat. Tilik, dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk, menengok warga kepada warga yang lain. Tujuan dari budaya tilik ini adalah menyambung tali silaturahmi, antara saudara, teman dan tetangga. Budaya tilik ini, biasanya dilakukan saat ada warga yang melahirkan, istilahnya tilik bayi. Jika ada yang sakit, maka istilahnya tilik orang sakit. Termasuk jika ada orang mau berangkat haji atau sepulang haji, juga ada istilah tilik haji.
Budaya dan tradisi tilik ini, biasanya tidak hanya silaturahmi dengan tangan kosong saja, tetapi biasanya mereka yang tilik membawa sesuatu. Jika tilik bayi, biasanya yang dibawa adalah peralatan bayi, baik peralatan mandi, cuci, pakaian hingga kebutuhan bayi yang lain. Tilik orang sakit, biasanya dilakukan bersama-sama. Jika dirawat di rumah sakit, apalagi lokasinya jauh, biasanya bersama-sama menyewa kendaraan untuk tilik orang sakit tersebut. Sebagian juga memberikan uang, untuk membantu biaya berobat atau keluarga yang sakit tersebut.
Begitu juga ketika tilik orang yang mau naik haji atau pulang haji. Ketika tilik haji, biasanya lebih bersifat spritual. Para penilik haji, biasanya minta didoakan di depan Kabah, atau namanya dipanggil, dengan tujuan supaya suatu saat nanti bisa naik haji pula. Ketika pulang haji, biasanya yang tilik haji juga minta didoakan, karena mereka yang baru pulang haji, doanya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Adat Istiadat Masyarakat Brebes
Adat istiadat yang ada di tengah masyarakat Brebes, tidak lepas dari budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam keseharian masyarakatnya. Adat istiadat itu, selalu dijiwai semangat kegotongroyongan, kebersamaan dan silaturahmi. Beberapa kegiatan adat istiadat yang ada di masyarakat, hingga kini masih tetap dilestarikan. Seperti sedekah bumi, sedekah laut, halal bihalal, khaul dan adat-adat lainnya.
Adat istiadat yang ada sekarang ini, perlu dilestarikan agar generasi muda tidak sampai tidak tahu, apa dan bagaimana adat istiadat yang ada di lingkungannya. Karena pada dasarnya, adat istiadat itu memiliki makna dan pelajaran hidup bagi masyarakatnya. Sehingga harapannya, ketika generasi muda mengenal dan memahami adat istiadatnya, selain tradisi itu tetap lestari, juga yang paling penting adalah nilai dan ajaran adat istiadat itu mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
1. Sedekah Bumi
Sedekah bumi, berarti bersedekah atas hasil bumi atau pertanian yang diperolehnya. Sedekah dilakukan setelah masa panen, biasanya setelah panen padi baru digelar sedekah bumi. Yang harus digarisbawahi, bahwa sedekah bumi ini, bukan sedekah kepada bumi atau tanah. Pengertian sedekah bumi ini sering disalah artikan, seolah-olah bumi atau tanah yang diberi sedekah, sehingga sering menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karenanya, pengertian sedekah bumi ini harus dijelaskan dan latar belakang adat istiadat ini juga perlu disampaikan. Sehingga tidak sampai timbul pengertian yang salah atas adat istiadat sedekah bumi.
Sedekah bumi ini, biasanya diwarnai dengan pentas wang kulit atau wayang golek. Lakon yang dibawakan dalam pentas wayang ini, biasanya sesuai dengan maksud dan tujuan sedekah bumi tersebut, yakni terkait dengan ungkapan syukur kepada Tuhan, atas hasil yang diperoleh dari bumi Tuhan tersebut berupa hasil-hasil pertanian yang melimpah.
Pelaksanaan kegiatan sedekah bumi ini, biayanya dilakukan secara bergotong royong, iuran seluruh warga, khususnya para petani. Lokasi digelarnya sedakah bumi, biasanya di pusat desa, seperti di balai desa atau pun lapangan desa, atau juga di dekat pintu air yang merupakan pusat pengairan di desa tersebut. Sebagian besar desa di Kabupaten Brebes masih menyelenggarakan tradisi ini. Namun beberapa desa sudah jarang menggelar tradisi, karena mahalnya biaya penyelenggaraan. Sementara kondisi ekonomi warga, khususnya petani masih memprihatinkan. Sehingga tradisi sedekah bumi ini tidak digelar setiap tahun, tapi hanya dilakukan beberapa tahun sekali, tergantung situasi dan kondisi ekonomi warganya.
Dalam pentas wayang itu, warga khususnya petani, berbondong-bondong memberikan sedekah dalam bentuk ambeng untuk dimakan bersama-sama. Ambeng atau makanan bersama lauk-pauknya diberikan saat pentas itu berlangsung. Selain pentas wayang, biasanya juga diisi dengan pengajian, yakni dengan mengundang penceramah, baik kiai atau ustdaz untuk memberikan mauidhoh khasanah, pelajaran yang baik.
2. Sedekah Laut
Sedekah laut tidak berbeda jauh dengan sedekah bumi. Pengertian sedekah laut adalah bersedakah atas hasil laut yang diperoleh para nelayan. Pengertian sedekah laut, saat ini juga ada kesalahpahaman, di mana sedekah laut sering dianggap bersedekah kepada laut. Antara lain dengan melarung kepala kerbau, sesaji dan beberapa makanan.
Sedekah laut ini, juga biasanya digelar saat
petani menikmati hasil tangkapan yang bagus. Mereka bergotong royong
menyisihkan sebagian hasil dari usahanya di laut untuk bersedekah bersama-sama.
Seperti halnya sedekah bumi, para nelayan itu membuat ambeng atau tumpeng untuk
di makan bersama. Salah satunya dengan memotong kerbau, dan potongan kepala
kerbau tersebut dilarung ke tengah laut. Sementara daging kerbaunya dimakan bersama-sama.
Dalam perkembangannya, tradisi sedekah laut
ini mulai bergeser di beberapa wilayah pusat nelayan. Yang tadinya merupakan
sedekah, ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil tangkapan lautnya, kini
berubah menjadi pesta laut. Di mana nilai-nilai religius dari pelaksanaan
sedekah laut itu mulai hilang. Yang muncul justru terkesan pesta pora, atas apa
yang diperoleh selama di laut. Mereka berpesta pora, bersenang-senang sendiri.
Sejumlah hiburan pun menjadi ajang pesta pora tersebut, seperti hiburan musik
dangdut, dan sejenisnya.
Tradisi sekedah laut di Kabupaten Brebes
yang masih aktif hingga saat ini antara lain di Desa Kaliwlingi, Kecamatan
Brebes, Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Desa Pengaradan dan Desa Krakahan,
Kecamatan Tanjung, Desa Prapag, Kecamatan Losari.
3. Khaul
Khaul
berarti memperingati satu tahun kematian seseorang. Tradisi ini merupakan salah
satu tradisi yang dikembangkan umat Islam di Indonesia, termasuk di Kabupaten
Brebes. Khaul biasanya dilakukan untuk memperingati kematian tokoh-tokoh
masyarakat, seperti kiai dan ulama besar yang diakui oleh masyarakat.
Tradisi
khaul itu yakni dengan menggelar pengajian, yang sebelumnya diisi dengan
bacaan-bacaan tahlil, yang diikuti seluruh peserta yang hadir. Tempat
pelaksanaan khaul biasanya di kompleks makam orang yang dikhauli tersebut atau
di rumah keluarga, yang biasanya juga ada pesantren.
Tradisi
khaul ini, juga ada yang diselenggarakan bersama-sama warga satu desa. Warga
bergotong royong, iuran biaya penyelenggaraan khaul bersama-sama tersebut.
Sehingga bukan hanya seseorang saja yang dikhauli, tapi seluruh warga yang
telah meninggal di desa tersebut dikhauli bersama, yakni dengan menggelar
tahlil bersama dan dilanjutkan dengan tausiyah keagamaan.
4. Bada Kupat dan Halal Bihalal
Penduduk
Kabupaten Brebes yang mayoritas beragama Islam, memiliki dua hari raya, yakni
Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Hari raya yang dirayakan cukup
meriah yakni Hari Raya Idul Fitri, di mana sebagian besar warga yang merantau
berusaha untuk pulang kampung halamannya masing-masing, termasuk di Kabupaten
Brebes. Sehingga muncul tradisi mudik setiap tahun, yakni sebelum Lebaran
berlangsung, biasanya mereka mudik seminggu sebelum Lebaran.
Setelah
merayakan Idul Fitri, satu pekan kemudian atau tujuh hari setelah Idul Fitri,
ada perayaan bada Syawal atau Bada Kupat. Tradisi ini dilakukan setelah umat
Islam yang telah meryakan Idul Fitri, dilanjutkan dengan puasa sunnah selama 6
hari. Biasanya warga membuat ketupat atau kupat untuk dimakan bersama-sama,
baik di rumah atau musholla. Sehingga banyak warga yang menyebutnya sebagai
Bada Kupat.
Selain
itu, pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri juga diramaikan dengan halal bihalal.
Halal bihalal ini juga merupakan salah satu tradisi umat Islam di Indonesia,
termasuk Kabupaten Brebes. Halal bihalal ini merupakan wahana untuk saling
bersilaturahmi, baik antara keluarga, rekan, sahabat atau instansi
pemerintahan. Halal bihalal ini dilakukan selama bulan Syawal berlangsung.
Tradisi halal bihalal ini berisi agenda saling maaf-memaafkan dan
salam-salaman, serta saling mengenal di antara keluarga besar, yang kadang
sudah tersebar di tempat-tempat yang berbeda. Dengan halal bihalal, tali
silaturahmi antar keluarga bisa tetap berjalan. Bahkan keluarga yang telah
bermukim di luar kota atau merantu hingga ke luar daerah pun rela datang untuk
berhalal bihalal bersama keluarga besarnya.
5. Manten Tebu
Manten tebu, bukan berati pesta pernikahan seseorang dengan latar belakang tebu. Tetapi merupakan upacara atau tradisi yang dilakukan sebelum penggilingan tebu di pabrik gula ini dimulai. Disebut manteh tebu, lantaran dalam tradisi itu ada iriang-iringan tebu, yang dirias seperti pengatin, ada yang dirias seperti pengantin perempuan dan ada yang dirias seperti pengantin laki-laki.
Tradisi pengantin tebu ini hanya ada di daerah yang memiliki pabrik tebu. Di Kabupaten Brebes, tradisi ini masih berlangsung di Pabrik Gula (PG) Jatibarang. Sementara PG Banjaratma, yang sudah gulung tikar, otomatis tidak ada lagi tradisi manten tebu.
Tradisi manten tebu ini, bertujuan agar selama proses penggilingan tebu menjadi gula, berjalan lancar tanpa kendala. Selain itu, juga diharapkan hasil rendemen tebunya juga baik, sehingga petani bisa menghasilkan pendapatan yang baik pula.
6. Ronggeng Kaligua
Ronggeng
Kaligua adalah tradisi yang dilakukan saat ulang tahun PTPN IX Kaligua. Dalam
ulang tahun itu, selalu ditampilkan tarian ronggeng. Di mana tarian ronggeng
ini, dulunya saat perkebunan Kaligua didirikan, dimaksudkan untuk menghibur
para pekerja. Sehingga para pekerja waktu itu, tidak bosan dan malas-malasan
dalam bekerja, karena sudah dihibur dengan tarian ronggeng.
7. Puputan Rumah
Puputan
rumah berarti tanda pembangunan rumah itu telah selesai dan siap ditempati
pemiliknya. Dalam pelaksanaannya, puputan biasanya dilakukan saat pemilik rumah
itu akan mempunyai hajatan. Sebelum hajatan itu digelar, rumah yang belum
digelar puputan, akan mengadakan puputan rumah terlebih dahulu. Namun bagi yang
memiliki harta yang cukup, biasanya puputan rumah dilakukan saat rumah itu
ditempati. Sehingga suatu saat akan digelar hajatan di rumah tersebut, tidak
perlu lagi digelar puputan rumah.
Puputan
rumah itu sendiri merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan, yang telah memberinya
rejeki, hingga bisa membuat rumah sendiri. Selain itu, juga bertujuan agar
pemilik rumah selama menempati rumah itu selalu diberi keberkahan dan
keselamatan. Keluarga yang menempati rumah itu diberi kesehatan dan
perlindungan dari Tuhan. Puputan rumah, juga dalam rangka tolak bala, meminta
perlindungan kepada Tuhan agar dijauhkan dari segala bencana.
8. Upacara Adat Ngasa
Upacara adat Ngasa Jalawastu di Desa Cisereuh, Kecamatan Ketanggungan ini merupakan salah satu adat peninggalan Jaman Hindu. Di mana upacara itu diselenggarakan setiap Selasa Kliwon, mangsa kesanga, dan hanya digelar satu tahun sekali. Upacara Ngasa sendiri sebagai wujud rasa syukur yang ditujukan kepada Batara Windu Buana. Yakni dengan membawa hasil panen ke suatu tempat, yang disebut Gedong Pesarean.
Ada beberapa catatan, selain peninggalan tradisi dan adat Hindu yang masih dilestarikan itu, yakni pertama masyarakatnya sudah beragama Islam. Masyarakatnya berbahasa Sunda, kemudian bangunan yang ada di kawasan tersebut tidak boleh menggunakan semen. Jika dilanggar, bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Selain di Jalawastu, upacara adat Ngasa juga digelar di Desa Gandoang Kecamatan Salem. Upacara adat ini juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan Nasional pada tahun 2019.
Kesenian Tradisional Brebes
Kesenian merupakan salah satu bagian dari unsure kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Kesenian menjadi sesuatu yang melekat dan tak terpisahkan dari suatu kebudayaan. Di mana ada kebudayaan, di situ ada kesenian. Begitu juga di Kabupaten Brebes, yang terdapat beberapa budaya, juga terdapat banyak kesenian yang dikembangkan masyarakatnya. Antara lain:
1. Burok
Burok, istilah ini tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Burok ini berkembang di wilayah Pantura Jawa, termasuk Kabupaten Brebes. Di mana dalam sejarahnya, Burok ini merupakan tradisi yang dikembangkan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam, sama seperti halnya wayang kulit atau pun wayang golek. Namun kesenian burok ini, lebih berkembang di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Burok merupakan sosok perempuan cantik, yang berbadan kuda terbang. Burok ini untuk menggambarkan kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW saat menerima perintah sholat. Di mana saat itu, dikisahkan perjalanan Nabi Muhammad menggunakan burok. Oleh Sunan Kalijaga, digambarkanlah proses perjalanan itu dengan burok, yang sekarang berkembang di masyarakat.
Selain burok, yang digambarkan putri ayu dengan tubuh kuda bersayap itu, juga diiringi dengan berbagai jenis binatang pengiringnya. Seperti harimau, singa, gajah dan lain-lainnya. Kesenian ini juga diiringi dengan masik dan lagu Islami. Namun sekarang ini, musik dan lagu yang mengiri sudah umum, termasuk musik dangdut.
Kesenian burok ini, biasanya ditampilkan saat ada anak yang dikhitan. Anak yang dikhitan itu dinaikkan ke atas burok dan diajak berkeliling kampung. Selain itu, dalam momen-momen tertentu, burok juga menjadi alat untuk membantu syiar Islam, seperti saat bulan puasa, di mana kelompok burok bermain untuk membangunan umat Islam untuk makan sahur. Biasanya dilakukan pukul 01.00 hingga pukul 03.00 WIB.
2. Kuda Lumping
Kuda lumping merupakan tari-tarian yang menggunakan alat bantu berupa kuda yang terbuat dari lumping (kulit hewan) atau sejenisnya. Kuda lumping ini, selain yang hanya berupa tari-tarian, ada juga yang dicampur dengan budaya mistis. Di mana pemain kuda lumping, dengan dibantu seorang pawang, akan memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti makan pecahan kaca dan paku, maka padi yang masih ada kulitnya, mengupas kelapa dengan mulut dan atraksi-atraksi lainnya.
Kuda lumping ini juga diiringi musik tradisional, yang membuat suasan menjadi menyenangkan. Biasanya, atraksi kuda lumping ini juga diikuti dengan barongan, topeng yang berbentuk menyeramkan dengan mulut yang lebar. Di dalamnya ada orang yang bermain barongan, biasanya sambil membuka dan menutup mulutnya yang lebar, istilahnya caplok.
Sintren, salah satu kesenian yang berbau magis. Karena dari kesenian yang dibawakan remaja putri itu, banyak peristiswa yang tidak masuk dalam pikiran orang biasa. Di mana seorang sintren, sebelum beraksi hanya seorang putri biasa. Pawang hanya menyediakan baju dan alat-alat rias, dan kemudian putrid remaja yang siap menjadi sintren itu dimasukkan dalam kurungan.
Dan dalam waktu singkat, putri tadi berubah menjadi putri yang sangat cantik. Dengan diiringi musik, putri itu menari dengan gemulai. Namun setiap ada penonton yang memberi uang atau sawer, dengan cara dilempar ke penari putri tadi, justru penari itu langsung pingsan. Sehingga sang pawang harus selalu di dekat penari sintren itu, supaya saat dilempar uang oleh penonton tidak sampai terjatuh dan terluka.
Untuk menjadi penari sintren, salah satu syaratnya adalah anak gadis yang masih perawan. Tidak sembarang orang bisa menjadi penari sintren. Biasanya, penari sintren ini adalah remaja berusia belasan tahun, yang dipastikan masih perawan. Kesenian ini selalu menyedot perhatian penonton setiap kali pentas. Namun kesenian ini sudah jarang dipertunjukkan, hanya momen-moment terentu saja mereka tampil.
4. Kuntulan
Kuntulan merupakan salah satu tradisi masyarakat Pantura, termasuk Kabupaten Brebes. Kuntulan adalah salah satu atraksi dan tari-tarian yang dilakukan peserta perguruan silat. Mereka menampilkan jurus-jurus tertentu, dengan gerakan serempak yang dilakukan beberapa orang. Atraksi dan jurus-jurus ini, dilakukan untuk memperlihatkan kemampuan yang sudah dimiliki peserta selama berlatih silat. Biasanya kuntulan ini dilakukan para santri atau peserta perguruan silat.
Pemain kuntulan, baisanya berpakaian putih-putih, atau hitam-hitam, dengan ikat pinggang menggunakan sarung. Seperti namanya, kuntulan ini memang diambil dari istilah burung kuntul, yang berwarna putih-putih. Dengan gerakannya yang tenang, namun berhasil mendapatkan tujuannya, yakni menangkap ikan. Begitu juga dengan gerakan penari kuntulan tersebut, juga terlihat tenang, namun berisi.
Di wilayah selatan Brebes, ada juga kesenian sejenis kuntulan, yakni rudat. Rudat ini hampir sama dengan kesenian kuntulan, di mana dilakukan secara berkelompok dengan menunjukkan aksi silat yang dilakukan oleh santri atau pun anggota perguruan silat.
5. Tari Topeng
Tari topeng, selama ini dikenal hanya ada di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Padahal dari wilayah Kabupaten Brebes juga ada, karena memang daerah ini berbatasan. Bahkan sebenarnya, beberapa penari topeng berasal dari Brebes, khususnya dari Kecamatan Losari, yang berbatasan dengan Cirebon.
Tari topeng ini sebenarnya tidak beda jauh dengan tari-tari tradisional lainnya. Hanya yang membedakan penggunaan topengnya, itulah kenapa disebut tari topeng.
6. Calung
Calung merupakan musik bambu yang dimainkan beberapa orang. Calung ini berkembang di wilayah selatan Kabupaten Brebes, karena memang musik calung ini lebih dikenal sebagai kesenian daerah Banyumas. Namun di wilayah Kabupaten Brebes, seperti wilayah Paguyangan, Bantarkawung dan Bumiayu juga berkembang musik calung ini.
Bahkan saat ini beberapa calung bukan hanya ada di wilayah selatan Brebes saja, tetapi juga sudah hampir merata di selurh wilayah Kabupaten Brebes. Khususnya di sekolah-sekolah, yang menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler musik calung.
bangga jadi orang Brebes. ikut share ya ka :)
BalasHapusterimakasih informasinya,terkait dengan kesenian yang ada dibrebes,saya dalam proses pembuatan dokumentasi kesenian buroq,mohon info group kesenian buroq yang masih aktif,dan bisa membantu mengumpulkan data yang saya butuhkan,terima kasih.
BalasHapusTerima Kasih informasinya, insya Alloh bulan Mei mendatang meminang Gadis Brebes hehe...
BalasHapusJangan lupa mampir yaaa... ada peluang Usaha, Insya Alloh akan dikembangkan di Brebes juga...
Salam
http://www.fastpaycirebon.com
Informasinya sangat membantu saya.... terima kasih.
BalasHapusBangga menjadi bagian dr warga Brebes :)
sedih jadi warga brebes... gak punya produk yang bener-bener orisinil dari brebes yang bener-bener khas yang di kota lain ga ada... semua serapan dari budaya kota tetangga yang di modifikasi...
BalasHapusapalagi pemerintahnya yang kurang dalam hal pembangunan mall aja gak punya apa lagi bioskop, jadi kebanyakan pemudanya suka merantau untuk mengadu nasib dari pada memberdayakan apa yang ada di brebes biar maju...
Namanya juga dipengaruhi jawa dan sunda
Hapusyap betul
HapusNB: *maksudnya produk yang bener-bener orisinil adalah produk kebudayaannya
BalasHapusIzin buat rujukan makalah nggih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusMantap kak... Saya izin untuk rujukan makalah kak...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusMantap . Bangga jd org Brebes . Ijin jd Referensi makalah
BalasHapus