Fungsi Pengawasan Media
Media massa, baik cetak maupun elektronik saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia. Di mana kebutuhan informasi yang disampaikan media, menjadi santapan setiap saat. Kapan pun dan di mana pun, kita bisa mencari informasi dari segala penjuru dunia. Peristiswa yang sedang terjadi di penjuru dunia pun bisa langsung didapat, baik melalui media on line maupun siaran langsung televisi. Itulah kecanggihan dunia informasi saat ini, yang sudah tidak terbatasi.
Perangkat media pun saat ini sudah begitu canggih. Tidak hanya berupa lembaran koran atau majalah saja, tetapi sudah lebih maju. Bahkan hand phone pun sekarang bisa digunakan untuk mengakses informasi melalui media internet. Bukan itu saja, dengan kemajuan teknologi, komputer tablet pun juga semakin mempermudah masyarakat dalam menjaring informasi di sekitarnya, bahkan dunia.
Media massa, selain berfungsi sebagai sumber informasi, juga mempunyai beberapa fungsi yang lain. Salah satunya adalah fungsi pengawasan atau kontrol. Kemudian fungsi hiburan, fungsi promosi, fungsi pendidikan/edukasi, fungsi propaganda, fungsi sosial dan kemanusiaan, dan fungsi-fungsi lainnya.
Bahkan dalam sejarah perkembangan media massa, pada awalnya media massa lebih banyak berfungsi sebagai media kontrol atas pemerintah yang berkuasa. Bahkan akibat media massa itu, pemerintah yang otoriter, absolut bisa ditumbangkan oleh gerakan massa. Itu semua berkat media yang turut menopangnya. Dalam upaya menumbangkan rezim otoriter, media banyak yang berfungsi sebagai propaganda kepada masyarakat untuk mengajak menumbangkan rezim tersebut.
Dalam sistem demokrasi yang terus berkembang, media bahkan dijadikan pilar keempat sistem demokrasi tersebut, di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini menunjukkan betapa peran pentingnya sebuah media massa. Negara yang mengaku sebagai negara demokratis, tapi membatasi peran media, sama juga bohong. Seperti zaman Orde Baru dulu, yang masih memberlakukan breidel terhadap koran atau pun majalah yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah.
Mengawasi, Bukan Intimidasi
Pengawasan yang dilakukan media massa, bukan dalam rangka menghakimi atau mengintimidasi atas suatu persoalan. Bukan pula bertujuan untuk mencari kesalahan seseorang. Tetapi lebih pada upaya kontrol masyarakat atas pembangunan atau pun kebijakan yang dilakukan pemerintah. Bahwa masyarakat juga mempunyai hak untuk menyampaikan pandangan, masukan maupun kritik atas apa yang dilakukan pemerintah.
Namun demikian, dalam negara yang otoriter, kritik sama dengan pembangkang dan harus diperangi. Termasuk media yang memuat kritik tersebut juga dibungkam, bahkan ditutup, tidak boleh terbit lagi.
Pengawasn yang dilakukan masyarakat melalui media ini, dalam rangka mengontrol program-program pembangungan yang dijalankan pemerintah. Apalagi dalam setiap program itu, sering kali melibatkan pihak ketiga atau yang dikenal dengan istilah rekanan atau pun kontraktor. Meski dari instansi terkait itu sudah ada pengawas pekerjaan, namun kapasitas dan intensitasnya. Di sinilah peran masyarakat untuk membantu ikut mengawasi jalannya pembangunan tersebut.
Dalam hal ini, peran pengawasan yang dilakukan masyarakat bisa melibatkan media. Di mana masyarakat menyampaikan informasi atau pun keluhan atas pelaksanaan suatu program pembangunan. Jika ada penyimpangan atau pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, bisa menegur secara langsung kepada penanggung jawab atau pelaksana proyek, mengingatkan pengawas proyek dan instansi yang berwenang. Dalam hal ini, juga termasuk proyek PNPM, baik perdesaan maupun perkotaan.
Namun harus diingat, media yang memberitakan harus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak berwenang. Seperti penanggung jawab proyek atau instansi yang berwenang. Sehingga berita yang disampaikan berimbang, tidak satu pihak saja. Dalam pemberitaan itu pun, harus jelas narasumber yang menyampaikan informasi. Sehingga berita yang dimuat itu bukan berita fitnah atau pun berita yang tidak jelas sumbernya.
Yang harus menjadi catatan bagi media atau wartawan yang memberitakannya, bahwa tujuan dari pemuatan berita yang terkait tersebut harus berpegang atas prinsi dan fungsi pengawasan atau kontrol yang dimiliki media. Bukan untuk mencari kesalahan seseorang atau pun instansi yang menaunginya. Sehingga tidak ada maksud dan tujuan lain dari pemberitaan tersebut.
Penyalahgunaan Fungsi Pengawasan
Ketika pemerintah Orde Baru yang toriter tumbang, pers mulai dibebaskan. Tidak ada lagi pembreidalan terhadap media massa yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Bahkan media dianggap sebagai salah satu mitra pemerintah untuk membangun demokrasi. Salah satunya dengan menerbitkan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU itu, kemerdekaan pers dijaga dan dihormati. Media massa tidak dibatasi dan tidak ada lagi istilah breidel. Akibatnya banyak bermunculan media massa, yang jumlah mencapai ratusan bahkan ribuan jika dibandingkan Orde Baru berkuasa. Begitu pula dengan jumlah wartawan, juga semakin banyak.
Di satu sisi, kemerdekaan pers itu merupakan suatu keberhasilan gerakan demokrasi. Namun di sisi lain, dengan masih lemahnya peraturan yang ada, menjadikan kebebasan pers itu kebablasan. Hanya dengan modal bisa menulis dan menerbitkan satu atau dua kali surat kabar, sebuah organisasi atau lembaga yang menerbitkan surat kabar itu dengan mudah merekrut wartawan. Namun demikian, wartawan tersebut ternyata tidak digaji atau dibayar sesuai dengan ketentuan undang-undang. Akibatnya mereka, wartawan yang berasal dari penerbitan yang asal-asalan berusaha untuk mencari penghidupan dengan memanfaatkan profesinya.
Dengan dalih pengawasan dan fungsi kontrol tadi, mereka banyak melakukan penyalahgunaan fungsi tersebut. Apalagi dengan terbitnya UU tentang informasi publik, di mana setiap lembaga atau instnasi pemerintah harus terbuka dan transparan atas program-program yang dijalankan. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan, untuk melakukan pemerasan dan intimidasi. Akibatnya, nama wartawan pun tercoreng dengan ulah wartawan, yang biasa disebut dengan istilah wartawan bodrex.
Hanya dengan berbekal kartu pers, seorang oknum wartawan kadang berusaha mencari kesalahan orang lain, khususnya yang sedang mempunyai proyek pembangunan atau pun proyek lainnya. Dengan mencari kesalahan-kesalahan yang ada, mereka mengancam akan memuat di medianya. Tentu saja banyak yang ketakutan dengan adanya ancaman tersebut. Apalagi jika memang ada kesalahan yang dilakukan pejabat tersebut. Ujung dari peritiswa tersebut, sang wartawan menawarkan solusi, yakni dengan mengganti sejumlah uang jika tidak ingin berita tersebut dimuat. Dalam hal ini, kasus itu termasuk dalam kategori pemerasan dan intimidasi, bukan lagi tugas jurnalistik yang dilakukan seorang wartawan.
Untuk mengantisipasi adanya pemerasan yang dilakukan oknum wartawan tersebut, maka masyarakat harus mengenal lebih jelas apa saja sebenarnya fungsi dari jurnalis tersebut, tugas dari seorang wartawan. Bahwa tugas seorang wartawan adalah menulis berita, menyampaikan fakta, yang berdasarkan data, bukan fitnah. Namun semuanya harus dilakukan secara berimbang, harus ada konfirmasi dari pejabat yang berwenang.
Ketika ada seorang wartawan mengancam untuk memuat sebuah berita, dipersilakan saja. Karena memang tugas wartawan adalah menulis berita, bukan yang lain. Sehingga ketika ada ancaman atau intimidasi dengan meminta sejumlah uang pengganti, harus ditolak mentah-mentah. Bahkan jika dilakukan dengan cara memaksa, bisa dilaporkan ke polisi. Dalam hal ini, oknum wartawan tersebut sudah melakukan tindak kriminal, bukan lagi tugas jurnalistik. Sehingga ketika ada tindakan kriminal, maka petugas kepolisian lah yang berhak menangkapnya. Dan dalam kasus tersebut, bukan lagi menggunakan UU tentang pers, tapi KUHP.
Sebagai penutup tulisan ini, kita semua berharap, mereka yang mendapat amanah menjalankan suatu kegiatan atau pun program, yang pendanaannya berasal dari negara, harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jangan sekali-kali mencoba melakukan penyimpangan, karena segala penyimpangan akan berkaitand engan hokum. Dan peran media, salah satunya dalam rangka penegakkan hukum itu dijalankan sepenuhnya oleh aparat penegak hukum. (*)
Perangkat media pun saat ini sudah begitu canggih. Tidak hanya berupa lembaran koran atau majalah saja, tetapi sudah lebih maju. Bahkan hand phone pun sekarang bisa digunakan untuk mengakses informasi melalui media internet. Bukan itu saja, dengan kemajuan teknologi, komputer tablet pun juga semakin mempermudah masyarakat dalam menjaring informasi di sekitarnya, bahkan dunia.
Media massa, selain berfungsi sebagai sumber informasi, juga mempunyai beberapa fungsi yang lain. Salah satunya adalah fungsi pengawasan atau kontrol. Kemudian fungsi hiburan, fungsi promosi, fungsi pendidikan/edukasi, fungsi propaganda, fungsi sosial dan kemanusiaan, dan fungsi-fungsi lainnya.
Bahkan dalam sejarah perkembangan media massa, pada awalnya media massa lebih banyak berfungsi sebagai media kontrol atas pemerintah yang berkuasa. Bahkan akibat media massa itu, pemerintah yang otoriter, absolut bisa ditumbangkan oleh gerakan massa. Itu semua berkat media yang turut menopangnya. Dalam upaya menumbangkan rezim otoriter, media banyak yang berfungsi sebagai propaganda kepada masyarakat untuk mengajak menumbangkan rezim tersebut.
Dalam sistem demokrasi yang terus berkembang, media bahkan dijadikan pilar keempat sistem demokrasi tersebut, di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini menunjukkan betapa peran pentingnya sebuah media massa. Negara yang mengaku sebagai negara demokratis, tapi membatasi peran media, sama juga bohong. Seperti zaman Orde Baru dulu, yang masih memberlakukan breidel terhadap koran atau pun majalah yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah.
Mengawasi, Bukan Intimidasi
Pengawasan yang dilakukan media massa, bukan dalam rangka menghakimi atau mengintimidasi atas suatu persoalan. Bukan pula bertujuan untuk mencari kesalahan seseorang. Tetapi lebih pada upaya kontrol masyarakat atas pembangunan atau pun kebijakan yang dilakukan pemerintah. Bahwa masyarakat juga mempunyai hak untuk menyampaikan pandangan, masukan maupun kritik atas apa yang dilakukan pemerintah.
Namun demikian, dalam negara yang otoriter, kritik sama dengan pembangkang dan harus diperangi. Termasuk media yang memuat kritik tersebut juga dibungkam, bahkan ditutup, tidak boleh terbit lagi.
Pengawasn yang dilakukan masyarakat melalui media ini, dalam rangka mengontrol program-program pembangungan yang dijalankan pemerintah. Apalagi dalam setiap program itu, sering kali melibatkan pihak ketiga atau yang dikenal dengan istilah rekanan atau pun kontraktor. Meski dari instansi terkait itu sudah ada pengawas pekerjaan, namun kapasitas dan intensitasnya. Di sinilah peran masyarakat untuk membantu ikut mengawasi jalannya pembangunan tersebut.
Dalam hal ini, peran pengawasan yang dilakukan masyarakat bisa melibatkan media. Di mana masyarakat menyampaikan informasi atau pun keluhan atas pelaksanaan suatu program pembangunan. Jika ada penyimpangan atau pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, bisa menegur secara langsung kepada penanggung jawab atau pelaksana proyek, mengingatkan pengawas proyek dan instansi yang berwenang. Dalam hal ini, juga termasuk proyek PNPM, baik perdesaan maupun perkotaan.
Namun harus diingat, media yang memberitakan harus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak berwenang. Seperti penanggung jawab proyek atau instansi yang berwenang. Sehingga berita yang disampaikan berimbang, tidak satu pihak saja. Dalam pemberitaan itu pun, harus jelas narasumber yang menyampaikan informasi. Sehingga berita yang dimuat itu bukan berita fitnah atau pun berita yang tidak jelas sumbernya.
Yang harus menjadi catatan bagi media atau wartawan yang memberitakannya, bahwa tujuan dari pemuatan berita yang terkait tersebut harus berpegang atas prinsi dan fungsi pengawasan atau kontrol yang dimiliki media. Bukan untuk mencari kesalahan seseorang atau pun instansi yang menaunginya. Sehingga tidak ada maksud dan tujuan lain dari pemberitaan tersebut.
Penyalahgunaan Fungsi Pengawasan
Ketika pemerintah Orde Baru yang toriter tumbang, pers mulai dibebaskan. Tidak ada lagi pembreidalan terhadap media massa yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Bahkan media dianggap sebagai salah satu mitra pemerintah untuk membangun demokrasi. Salah satunya dengan menerbitkan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU itu, kemerdekaan pers dijaga dan dihormati. Media massa tidak dibatasi dan tidak ada lagi istilah breidel. Akibatnya banyak bermunculan media massa, yang jumlah mencapai ratusan bahkan ribuan jika dibandingkan Orde Baru berkuasa. Begitu pula dengan jumlah wartawan, juga semakin banyak.
Di satu sisi, kemerdekaan pers itu merupakan suatu keberhasilan gerakan demokrasi. Namun di sisi lain, dengan masih lemahnya peraturan yang ada, menjadikan kebebasan pers itu kebablasan. Hanya dengan modal bisa menulis dan menerbitkan satu atau dua kali surat kabar, sebuah organisasi atau lembaga yang menerbitkan surat kabar itu dengan mudah merekrut wartawan. Namun demikian, wartawan tersebut ternyata tidak digaji atau dibayar sesuai dengan ketentuan undang-undang. Akibatnya mereka, wartawan yang berasal dari penerbitan yang asal-asalan berusaha untuk mencari penghidupan dengan memanfaatkan profesinya.
Dengan dalih pengawasan dan fungsi kontrol tadi, mereka banyak melakukan penyalahgunaan fungsi tersebut. Apalagi dengan terbitnya UU tentang informasi publik, di mana setiap lembaga atau instnasi pemerintah harus terbuka dan transparan atas program-program yang dijalankan. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan, untuk melakukan pemerasan dan intimidasi. Akibatnya, nama wartawan pun tercoreng dengan ulah wartawan, yang biasa disebut dengan istilah wartawan bodrex.
Hanya dengan berbekal kartu pers, seorang oknum wartawan kadang berusaha mencari kesalahan orang lain, khususnya yang sedang mempunyai proyek pembangunan atau pun proyek lainnya. Dengan mencari kesalahan-kesalahan yang ada, mereka mengancam akan memuat di medianya. Tentu saja banyak yang ketakutan dengan adanya ancaman tersebut. Apalagi jika memang ada kesalahan yang dilakukan pejabat tersebut. Ujung dari peritiswa tersebut, sang wartawan menawarkan solusi, yakni dengan mengganti sejumlah uang jika tidak ingin berita tersebut dimuat. Dalam hal ini, kasus itu termasuk dalam kategori pemerasan dan intimidasi, bukan lagi tugas jurnalistik yang dilakukan seorang wartawan.
Untuk mengantisipasi adanya pemerasan yang dilakukan oknum wartawan tersebut, maka masyarakat harus mengenal lebih jelas apa saja sebenarnya fungsi dari jurnalis tersebut, tugas dari seorang wartawan. Bahwa tugas seorang wartawan adalah menulis berita, menyampaikan fakta, yang berdasarkan data, bukan fitnah. Namun semuanya harus dilakukan secara berimbang, harus ada konfirmasi dari pejabat yang berwenang.
Ketika ada seorang wartawan mengancam untuk memuat sebuah berita, dipersilakan saja. Karena memang tugas wartawan adalah menulis berita, bukan yang lain. Sehingga ketika ada ancaman atau intimidasi dengan meminta sejumlah uang pengganti, harus ditolak mentah-mentah. Bahkan jika dilakukan dengan cara memaksa, bisa dilaporkan ke polisi. Dalam hal ini, oknum wartawan tersebut sudah melakukan tindak kriminal, bukan lagi tugas jurnalistik. Sehingga ketika ada tindakan kriminal, maka petugas kepolisian lah yang berhak menangkapnya. Dan dalam kasus tersebut, bukan lagi menggunakan UU tentang pers, tapi KUHP.
Sebagai penutup tulisan ini, kita semua berharap, mereka yang mendapat amanah menjalankan suatu kegiatan atau pun program, yang pendanaannya berasal dari negara, harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jangan sekali-kali mencoba melakukan penyimpangan, karena segala penyimpangan akan berkaitand engan hokum. Dan peran media, salah satunya dalam rangka penegakkan hukum itu dijalankan sepenuhnya oleh aparat penegak hukum. (*)
Komentar
Posting Komentar