Kepentingan Sesaat Atau Slogan?
Hari Ulang Tahun (HUT) Korpri baru saja diperingati beberapa waktu lalu di bulan Desember. Tema yang diusung pun masih seputar upaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Namun sepertinya, tema itu masih sekedar tema, belum terlaksana dengan baik di kehidupan nyata pelayanan birokrasi.
Bahkan kini, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kembali menggerakkan program Gerakan Birokrasi Bersih dan Melayani. Bahkan Universitas Indonesia (UI) pun sampai mengutus salah satu mahasiswanya, Dr (cand) Dewi Aryani sebagai duta UI untuk Birokrasi Bersih dan Melayani. Sejumlah daerah pun sudah dikunjungi untuk mensosialisasikan gerakan tersebut, salah satunya adalah di kawasan Tegal dan Brebes.
Semangat itu patut diapresiasi dengan positif. Karena bagaimana pun juga, birokrasi bersih adalah keinginan seluruh rakyat. Di mana rakyat yang berurusan dengan birokrasi, menginginkan pelayanan yang prima, tidak bertele-tele dan tidak ada KKN. Itulah yang diinginkan masyarakat selama ini. Adanya gerakan tersebut, bahkan setingkat menteri pun langsung turun tangan, jelas menunjukkan bahwa pelayanan birokrasi di beberapa instansi, masih lambat dan berbelit-belit.
Hingga sekarang, masih banyak keluhan dari masyarakat, mulai dari pelayanan paling dasar yang menjadi hak masyarakat, yakni pembuatan KTP. Meski semuanya sudah serba elektronik, menggunakan teknologi yang canggih, tetap saja lambat dan berbelit-belit. Jika ingin cepat dan lancar, ada jalur khusus yang, tentu saja harus mengeluarkan uang lebih.
Apalagi sekarang dengan adanya program e-KTP, di mana setiap warga yang membuat KTP, harus menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Jika tidak dapat menunjukkan NIK itu, dipastikan pembuatan KTP itu akan berlarut-larut dan biaya yang dikeluarkan pun banyak. Belum lagi dengan pelayanan petugas di loket layanan, yang kadang tidak pernah mengeluarkan senyum sebagai salah satu servisnya. Yang justru dipasang adalah wajah cemberut, karena harus bekerja dan dikejar-kejar warga agar bisa cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Kembali ke semangat birokrasi bersih tadi, bahwa semangat itu sekali lagi harus diapresiasi dengan positif. Namun juga perlu dipertanyakan sampai sejauh mana program itu bisa dijalankan dan diwujudkan. Meski, seperti yang disampaikan Wakil MenPAN, Prof Dr Eko Prasojo, bahwa hal itu bisa dilakukan, meski membutuhkan waktu yang lama. Semengat dari Wamen tersebut patut diajungi jempol. Namun apakah pada tataran di bawah bisa diterima, dan berniat melaksanakannya?
Mungkin bagi sebagian masyarakat, semangat itu hanya sekedar kepentingan sesaat, atau bahkan hanya slogan semata bagi kalangan birokrasi. Karena hal-hal semacam itu sudah sering dilakukan, bahkan setiap tahun diingatkan dalam setiap peringatan HUT Korpri, yang merupakan wadah bagi pegawai negeri.
Mungkinkah apa yang disampaikan Bupati Brebes H Agung Widyantoro SH MSi, dalam menjalankan semangat birokrasi bersih ini bisa berjalan, ora nganggo angel, ora nganggo suwe, dan ora nganggo duit itu bisa terwujud? Biar masyarakat saja yang membuktikan, apakah aparat birokrasi yang di bawah itu benar-benar menjalankan instruksi pemimpinnya atau tidak. Jika tidak, bagaimana? Apakah aparat birokrasi seperti harus dipecat? Sepertinya tidak mudah memecat seorang PNS seperti itu. Kecuali yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan mangkir dari pekerjaannya selama 6 bulan berturut-turut.
Yang jelas, harapan dari masyarakat untuk mewujudkan birokrasi bersih itu bisa ditangkat dengan baik. Khususnya bagi para pejabat. Paling tidak, ada semangat untuk memperbaiki diri dalam melayani masyarakat. Tidak lagi berposisi sebagai pejabat yang harus dilayani. Tetapi sebagai pejabat yang berani melayani masyarakat. Selama ini, mungkin sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa soerang pejabat birokrasi adalah figur yang harus dihormati dan ditakuti. Karena yang bersangkutan adalah orang yang membuat kebijakan, sehingga harus dilayani, jika ingin apa yang diinginkan masyarakat itu bisa terwujud. (*)
Bahkan kini, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kembali menggerakkan program Gerakan Birokrasi Bersih dan Melayani. Bahkan Universitas Indonesia (UI) pun sampai mengutus salah satu mahasiswanya, Dr (cand) Dewi Aryani sebagai duta UI untuk Birokrasi Bersih dan Melayani. Sejumlah daerah pun sudah dikunjungi untuk mensosialisasikan gerakan tersebut, salah satunya adalah di kawasan Tegal dan Brebes.
Semangat itu patut diapresiasi dengan positif. Karena bagaimana pun juga, birokrasi bersih adalah keinginan seluruh rakyat. Di mana rakyat yang berurusan dengan birokrasi, menginginkan pelayanan yang prima, tidak bertele-tele dan tidak ada KKN. Itulah yang diinginkan masyarakat selama ini. Adanya gerakan tersebut, bahkan setingkat menteri pun langsung turun tangan, jelas menunjukkan bahwa pelayanan birokrasi di beberapa instansi, masih lambat dan berbelit-belit.
Hingga sekarang, masih banyak keluhan dari masyarakat, mulai dari pelayanan paling dasar yang menjadi hak masyarakat, yakni pembuatan KTP. Meski semuanya sudah serba elektronik, menggunakan teknologi yang canggih, tetap saja lambat dan berbelit-belit. Jika ingin cepat dan lancar, ada jalur khusus yang, tentu saja harus mengeluarkan uang lebih.
Apalagi sekarang dengan adanya program e-KTP, di mana setiap warga yang membuat KTP, harus menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Jika tidak dapat menunjukkan NIK itu, dipastikan pembuatan KTP itu akan berlarut-larut dan biaya yang dikeluarkan pun banyak. Belum lagi dengan pelayanan petugas di loket layanan, yang kadang tidak pernah mengeluarkan senyum sebagai salah satu servisnya. Yang justru dipasang adalah wajah cemberut, karena harus bekerja dan dikejar-kejar warga agar bisa cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Kembali ke semangat birokrasi bersih tadi, bahwa semangat itu sekali lagi harus diapresiasi dengan positif. Namun juga perlu dipertanyakan sampai sejauh mana program itu bisa dijalankan dan diwujudkan. Meski, seperti yang disampaikan Wakil MenPAN, Prof Dr Eko Prasojo, bahwa hal itu bisa dilakukan, meski membutuhkan waktu yang lama. Semengat dari Wamen tersebut patut diajungi jempol. Namun apakah pada tataran di bawah bisa diterima, dan berniat melaksanakannya?
Mungkin bagi sebagian masyarakat, semangat itu hanya sekedar kepentingan sesaat, atau bahkan hanya slogan semata bagi kalangan birokrasi. Karena hal-hal semacam itu sudah sering dilakukan, bahkan setiap tahun diingatkan dalam setiap peringatan HUT Korpri, yang merupakan wadah bagi pegawai negeri.
Mungkinkah apa yang disampaikan Bupati Brebes H Agung Widyantoro SH MSi, dalam menjalankan semangat birokrasi bersih ini bisa berjalan, ora nganggo angel, ora nganggo suwe, dan ora nganggo duit itu bisa terwujud? Biar masyarakat saja yang membuktikan, apakah aparat birokrasi yang di bawah itu benar-benar menjalankan instruksi pemimpinnya atau tidak. Jika tidak, bagaimana? Apakah aparat birokrasi seperti harus dipecat? Sepertinya tidak mudah memecat seorang PNS seperti itu. Kecuali yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan mangkir dari pekerjaannya selama 6 bulan berturut-turut.
Yang jelas, harapan dari masyarakat untuk mewujudkan birokrasi bersih itu bisa ditangkat dengan baik. Khususnya bagi para pejabat. Paling tidak, ada semangat untuk memperbaiki diri dalam melayani masyarakat. Tidak lagi berposisi sebagai pejabat yang harus dilayani. Tetapi sebagai pejabat yang berani melayani masyarakat. Selama ini, mungkin sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa soerang pejabat birokrasi adalah figur yang harus dihormati dan ditakuti. Karena yang bersangkutan adalah orang yang membuat kebijakan, sehingga harus dilayani, jika ingin apa yang diinginkan masyarakat itu bisa terwujud. (*)
Komentar
Posting Komentar