Sungguh Terlalu


Nama acaranya Gerakan Bersama Sekolah Maritim (Geber Semar) se-Kota Tegal. Kegiatan yang diawali dengan ikrar persatuan dan kesatuan siswa siswi sekolah maritim itu justru berakhir dengan tawuran. Sungguh terlalu, begitu kata Bang Haji Rhoma Irama, jika melihat peristiswa itu. Lebih keterlaluan lagi, peristiwa itu terjadi di hadapan para pejabat yang hadir dalam acara yang digagas guru-guru SMK tersebut.
Meski berhasil diantisipasi pihak keamanan setempat, namun tetap saja kerusakan terjadi akibat peristiwa memalukan tersebut. Bukan kerusakan yang jadi persoalan utama, tetapi lebih pada perilaku dan sikap para generasi muda yang masih berseragam tersebut. Apalagi momen itu merupakan ikrar persatuan, bukan ikrar untuk saling bentrok.
Entah apa yang ada dalam benak mereka yang terlibat tawuran tersebut. Gengsi, emosi atau prestasi? Prestasi, sepertinya jauh panggang dari api. Tetapi kalau gengsi dan emosi, itu pasti. Namun jika itu terjadi, hanya antipasti serta jati diri yang dibenci.
Siswa yang terlibat tawuran, sesungguhnya siswa yang pengecut, tak punya nyali. Coba kalau berani, maju sendiri. Ini bisa dibuktikan, jika dilakukan investasi oleh aparat keamanan, pasti tidak ada yang mengaku, siapa yang mengawali dan siapa yang memulai. Siapa yang melempar batu, siapa yang sembunyi dulu, semuanya bisu dan tak ada yang mengaku.
Kalau sudah begini, siapa yang salah. Tak ada yang salah, semuanya benar. Benar suka tawuran, benar-benar membuat malu dan benar-benar terlalu. Sungguh terlalu.
Mungkin bagi sebagian orang, ketika melihat tawuran pelajar, menggap sebagai hal yang wajar. Wajar sebagai pemilik jiwa muda, yang masih labil. Apa saja boleh dilakukan, asalkan hati puas. Bagi sebagian orang lagi, mungkin tak bisa berkata apa-apa. Sebagai generasi muda yang bakal menjadi pewaris tahta negara, sepertinya hal-hal seperti itu menjadi menjadi bagian dari perjalanan hidupnya saat masih muda.
Ada pepatah yang mengatakan, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sepertinya, pepatah ini sangat cocok dengan kondisi generasi muda sekarang ini. Mereka yang suka tawuran, tidak beda jauh dengan orang tuanya yang suka tawuran juga. Coba lihat saja, di gedung DPR sering dilihat mereka para anggoat Dewan yang terhormat, juga sering terlibat atwuran. Mereka yang terlibat dalam politik, saling serang, saling sikut dan saling bantai. Yang semuanya demi kekuasaan.
Begitu pula dengan generasi muda sekarang, yang suka tawuran, tidak lepas dari sikap dan perilaku para orang tuanya itu. Sebagian kecil, ada yang berhasil menghindari perilaku yang tak terpuji itu. Tetapi sayangnya, hanya sebagian kecil saja.
Sepertinya cukup sulit untuk mencegah perilaku dan sikap seperti itu. Betapa tidak, beragam upaya sosialisasi dan pembinaan, tetap saja terjadi tawuran dan kapan saja. Dan korbannnya, seperti kebanyakan peristiwa kerusuhan, pasti fasilitas umum. Untuk mencegah itu semua, tidak hanya sekedar pembinaan dan sosialisasi saja. Tetapi harus ada tindak kongkret dari para pemimpinnya yang duduk di atas. Hal ini terjadi, karena memang sikap dan perilaku anak, sangat tergantung dari perilaku dan sikap orang tuanya.
Jika ingin mencegah dan memberantas aksi tawuran seperti itu, dimulailah dari diri sendiri sebagai orang tua. Bagaimana berperilaku dan bersikap sebagai orang tua, yang semuanya digugu dan ditiru, laiknya seorang guru. Sikap-sikap yang harus diubah itu antara lain, sikap ego dan gengsi, mau menang sendiri. Dan tentu saja, seorang pemimpin juga harus jujur dan transparan. Tidak melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Kalau sampai hal itu tidak bisa dilakukan, maka orang tua seperti itu sungguh terlalu! (*)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer