Sandal Jepit dan Keadilan

Keadilan di Indonesia, yang katanya negara hukum kembali dipertanyakan. Hanya gara-gara sandal jepit, seorang siswa SMK harus menghadapi pengadilan dengan ancaman hukum maksimal 5 tahun penjara. Akibat berbagai kasus seperti itu, banyak orang yang beranggapan, bahwa hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil saja. Mereka yang tidak tahu hukum, apalagi tidak punya uang, harus menghadapi hukum.
Sementara mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan, dan memiliki segudang kekayaan, hukum adalah bagian dari permainannya saja. Jika tersangkut hukum, mereka dikatakan hanya apes saja. Beragam upaya dilakukan agar dia bisa lepas dari jerat hukum. Sementaa rakyat kecil, sebaliknya, dengan segala jerat apa saja, hukum itu haru ditegakkan. Sungguh suatu penghukuman.
Sebelumnya, seorang nenek miskin, juga hanya gara-gara kapas, juga harus menghadapi meja pengadilan. Yang dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dihadapinya itu. Sementara untuk menuju meja pengadilan, dia sendiri tidak mempunyai ongkos untuk membayar angkutan umum menuju lokasi.
Beberapa waktu lalu, seorang pasien yang mengeluh atas pelayanan sebuh rumah sakit, juga harus masuk penjara dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan. Bahkan dia juga dituntut untuk membayar ganti rugi hingga ratusan juta rupiah. Solidaritas pun kemudian muncul dari masyarakat, yang melakukan gerakan koin untuk Prita. Jutaan koin itu pun terkumpul sebagai bentuk solidaritas.
Kini, solidaritas itu pun muncul kembali. Hanya karena gara-gara dituduh mencuri sandal jepit yang sudah butut, seorang siswa SMK terancam pidana dan bahkan selama proses penyelidikan oleh aparat penegak hukum, anak tersebut justru mendapat kekerasan. Solidaritas dengan mengumpulkan sandal jepit, untuk diberikan kepada polisis sebagai penegak hukum. Solidaritas itu adalah sindirian, betapa mirisnya masyarakat atas kasus tersebut.
Mungkin siswa itu terbukti bersalah mencuri sandal jepit, mungkin nenek itu terbukti mencuri kapas, tapi ancaman hukuman itu sangat menakutkan. Hukum diberlakukan kepada mereka, sama seperti seorang pencuri, yang mencuri uang negara hingga miliaran rupiah. Posisi mereka sama di depan hukum. Namun mendapat perlakuan hukum yang berbeda. Tidak ada kekerasan atau intimidasi bagi pencuri uang negara, bahkan mereka bisa menikmati fasilitas yang lebih dibandingkan mereka yang tak mampu membelinya.
Fenomena ini, menjadi satu fenomena menarik dalam sistem kenegaraan di Indonesia, yang katanya negara hukum. Negara hukum, yang mestinya diberlakukan kepada semua warga negara, termasuk kepada aparat penegak hukum itu sendiri. Namun yang terjadi, masih jauh dari apa yang diimpikan para founding fathers negara ini. Hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, yang tak punya bargaining power, tak punya uang untuk membeli hukum.
Solidaritas ini, bukan merupakan latah semata. Namun suatu gerakan massif yang sangat luar biasa. Gerakan untuk melawan ketidakadilan, yang katanya menjadi pondasi keberlangsungan kehidupan bernegara yang berlandaskan hukum tersebut. Solidaritas ini, tidak ada yang menggerakan atau pun yang dituduh menjadi provokator. Gerakan ini adalah gerakan spontan, gerakan tiba-tiba, yang langsung terketuk atas keprihatinan yang dilihatnya.
Di negeri ini, masih banyak yang memiliki hati nurani, mata hati, yang tidak menerima hukum diinjak-injak. Yang tidak menerima, hukum hanya diberlakukan bagi sebagian warganya saja. Negeri ini, masih membutuhkan hukum, namun hukum yang berkeadilan. Adil bagi rakyat kecil, adil bagi semua. Bukan adil bagi aparat penegak hukum saja. Sandal jepit, adalah potret hukum di Indonesia, yang lusuh, yang layak diinjak-injak saja. Bila sudah putus, cukup dibuang saja ke selokan atau tong sampah. (*)

Komentar

Postingan Populer