Marahnya Bawang Merah

Senin (16/1) kemarin, ribuan petani dari Brebes, Tegal dan Cirebon memacetkan Pantura Brebes. Mereka yang merupakan petani bawang merah sedang mencurahkan perasaan hatinya selama ini. Mereka sudah tidak kuat lagi dengan penderitaan yang selalu dialami setiap saat. Mereka sudah muak dengan keadaan di lingkungannya yang tak pernah mendukungnya. Mereka melakukan aksi demonstrasi menolak bawang impor. Meraka mrah
Aksi ribuan petani ini mungkin awal dari kekesalan mereka terhadap kebijakan impor bawang. Betapa tidak, di saat petani bawang merah sedang memasuki masa panen, justru bawang merah impor masuk ke wilayah Brebes. Sontak saja harga bawang merah Brebes jadi anjlog. Bahkan anjlognya tidak kira-kira, kadang hanya pada tataran Rp 3000 perkilogram. Harga tersebut tentu saja tidak mampu menutup biaya produksi.
Masuknya bawang impor ini, memang berasal dari sejumlah pedagang besar yang ada di Brebes. Meski bawang impor tiu tidak dijual di Brebes, namun karena pengimpornya adalah orang Brebes, maka bawang-bawang impor itu pasti transit terlebih dahulu di wilayah Kabupaten Brebes. Harga bawang merah ini memang sensitif, adanya isu bawang impor saja yang masuk ke Brebes, mendadak harga jadi turun.
Entah siapa yang membuat harga bawang bisa begitu sensitif. Namun berdasarkan informasi, penentu harga bawang merah di tingkat nasional adalah para pedagang besar tersebut, termasuk yang mengimpor bawang merah asal beberapa negara Asia. Mereka dikabarkan dengan mudah untuk menaikan harga di pasaran lokal hingga di tingkat nasional. Dalam sehari saja, dikabarkan mereka bisa mendapatkan keuntungan hingga miliaran rupiah. Sementara petani, untuk kembali modal saja susah. Padahal bawang merah adalah kehidupannya.
Ibarat pepatah, cacing saja kalau diinjak pasti akan menggeliat. Apalagi petani, makhluk yang memiliki perasaan dan otak. Ketika dirinya diinjak-injak, tentu mereka akan memberontak. Pemerintah sendiri, sepertinya tidak bisa berbuat banyak. Dengan alasan bahwa Indonesia sudah terikat dengan perjanjian AFTA, maka tidak bisa dicegah keluar masuk barang dari dalam maupun luar negeri, termasuk bawang merah.
Proses karantina, yang katanya sudah dilakukan Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertanian, tidak banyak membantu mengatasi maraknya bawang merah impor tersebut. Sepertinya mereka dengan mudah masuk dan bebas diperjualbelikan di pasar.
Secara fisik, bawang merah impor kadang terlihat lebih baik. Bentuknya bulat dan besar-besar, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Padahal dari segi kualitas dan rasa, bawang impor itu tidak ada apa-apanya dengan bawang merah Brebes. Bawang merah Brebes mempunyai rasa khas, yang tidak dimiliki bawang merah impor. Siapa yang mengiris bawang merah Brebes, pasti akan mengeluarkan air mata. Namun mereka tetap mengiris dan tetap tersenyum dengana roma wanginya setelah digoreng. Itulah bawang merah Brebes.
Namun kalau sudah diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil, mereka justru membuat para petaninya yang menangis. Menangis karena harganya yang anjlok, dan menangis karena susahnya mendapatkan pupuk. Kesedihan petani, dengan ari matanya memang tak pernah kering. Selain harga yang anjlog hingga titik paling rendah, mereka juga dibingungkan dengan kebijakan pemerintah berikutnya, mengganti Pupuk Kujang dengan Pupuk Sriwijaya (Pusri).
Entah apa tujuan dari pemerintah mengganti pupuk yang sudah lekat dengan petani bawang merah Brebes. Jangan-jangan kebijakan itu merupakan ulah para pedagang besar dan pengimpor bawang merah, yang bertujuan merusak hasil panen petani bawang merah Brebes. Dengan rusaknya kualitas bawang merah Brebes, maka ada alasan untuk tetap mengimpor bawang merah ke Indonesia. Karena kita tahu, 30 persen kebutuhan bawang merah nasional dipasok dari Brebes.
Bawang merah memang bisa memang bisa membuat menangis konsumennya, namun jangan membuat nangis para petaninya. Jangan membuat marah petani bawang merah! (*)

Komentar

Postingan Populer