Nasi Aking

Bagi masyarakat Pantura, nasi aking atau sega king tidaklah asing. Setiap hari mungkin keberadaan nasi aking itu bisa dilihat. Karena sebagain besar masyarakat Pantura banyak yang menjemur nasi aking tersebut. Nasi aking ini bukan nasi yang berkualitas super, seperti namanya, sega king, nasi raja (king=raja). Namun nasi aking ini adalah nasi sisa yang dijemur. Biasanya, nasi yang dijadikan nasi aking adalah nasi berkat yang tidak termakan atau sisa nasi yang dimasak keluarga.
Nasi aking itu dijemur sebagian masyarakat itu bukan untuk dimakan sendiri. Tetapi dikumpulkan hingga cukup banyak, kemudian dijual kepada pengepul. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 1.500 Rp 2.000 perkilogram, bahkan bisa lebih. Sebagian juga ada yang dikumpulkan untuk makan ternaknya sendiri, seperti untuk ternak ayam atau pun bebek peliharaannya.
Bagi petenak bebek, yang memang banyak dijumpai di wilayah Pantura Tegal maupun Brebes, nasi aking sangat dibutuhkan. Karena nasi aking ini merupakan makanan tambahan bagi bebek penghasil telur tersebut. Sehingga mereka, melalui para pengepul sangat membutuhkan nasi aking setiap saat. Namun di antara sekian warga yang mengumpulkan nasi aking, ada yang tidak dijual maupun diberikan kepada ternaknya, tetapi justru dimakan sendiri.
Fenomena warga yang makan nasi aking, beberapa kali ditemukan di antara masyarakat Pantura. Tentunya, mereka yang makan nasi aking bukan karena hobi atau hanya sekedar camilan, tetapi karena ketiadaan beras yang mereka miliki. Meskipun pemerintah sudah menyediakan raskin, namun ternyata masih ada yang tak terjaring raskin tersebut.
Walikota Tegal, Ikmal Jaya pun sempat mencicipi nasi aking buatan warganya tersebut. Itu dilakukan setelah fenomena sosial itu dimuat di media massa. Kalau hanya sekedar mencicipi mungkin terasa enak, apalagi nasi itu sudah dicampur dengan parutan kelapa yang diberi campuran garam. Enak untuk sekejap saja, apalagi jika perut sedang lapar, dan tak ada makanan lain. Tetapi kalau setiap hari harus makan nasi aking, itu membuktikan warga tersebut dengan terpaksa makan nasi aking karena tidak ada beras yang bisa ditanak menjadi nasi. Jangankan nasi yang putih dan pulen, nasi dari raskin pun tidak ada.
Jangan beranggapan bahwa warga yang makan nasi aking itu karena hobi atau sekedar variasi makanan saja. Kalau seorang pemimpin menganggap bahwa fenomena ini wajar, bagian dari variasi makanan warganya saja, maka sensitivitasnya sebagai seorang pemimpin dipertanyakan. Seperti beberapa tahun lalu, Indra Kusuma yang saat itu masih menjadi Bupati Brebes, menganggap bahwa fenomena warga yang makan nasi aking hanya rekayasa pemberitaan media saja. Masalah kecil, kebiasaan yang dilakukan warganya yang suka makan nasi aking.
Indra pun mendapat Nasi Aking Award dari para jurnalis di wilayah Brebes yang memberitakan fenomena warga makan nasi aking tersebut. Bahkan ibu-ibu PKK pun langsung meresponnya dengan membuat lomba variasi makanan nasi aking. Dalam lomba tersebut, nasi aking ada yang dicampur dengan daging, dengan ikan dan lainnya. Sehingga nasi aking yang dilombakan ibu-ibu PKK itu pun sangat spesial dan enak untuk dinikmati. Tetapi nasi aking yang dibut ibu-ibu PKK itu berbeda dengan nasi aking yang dibuat warga untuk makan sehari-hari.
Nasi aking adalah fenomena, fenomena sosial, bahwa sebagian masyarakat masih ada yang terpaksa makanan yang sebenarnya saat ini hanya cocok untuk makanan ternak saja. Sama dengan dulu mungkin, ketika jaman penjajahan Jepang, warga harus makan bonggol pisang. Itu karena tidak ada beras sama sekali yang bisa untuk dimasak. Nasi aking bukan camilan atau pun kudapan, yang bisa dicicipi mereka yang suka cicap-cicip. Jika dijual pun, pasti tidak ada yang mau beli. Kalaupun diberikan, belum tentu mau dimakan. Itulah nasi aking, sega king, yang tak segagah namannya. (*)

Komentar

Postingan Populer