Upeti

Pada zaman kerajaan dulu, salah satu bukti sebuah wilayah menjadi daerah kekuasaan seorang raja dengan dengan setor upeti setiap saat. Di mana penguasa daerah, yang dulu dikenal dengan daerah kadipaten atau sejenisnya, lantas meminta upeti kepada seluruh rakyatnya. Dari hasil uptei itu, sebagian disetor ke kerajaan di atasnya sebagai penguasa tertinggi.
Jika daerah tersebut menolak untuk membayar upeti, maka berarti daerah tersebut melakukan perlawanan terhadap penguasa. Maka tak heran, jika sang raja wilayah tersebut memerangi daerah kadipaten, yang menolak membayar upeti tersebut. Setelah berhasil mengalahkan, biasanya penguasa di kadipaten tersebut diganti oleh adipati lain yang tunduk kepada raja. Sementara bagi yang memenangkan pertempuran, bisa menjadi kerajaan atau negara tersendiri. Para raja ini berhak menarik upeti dari rakyat yang dikuasainya.
Itu istilah upeti yang harus disetorkan pada zaman kerajaan dulu, di mana bukti kekuasaan raja atas suatu wilayah ditunjukkan dengan pembayaran upeti. Istilah dalam sistem kenegaraan modern sekarang ini, upeti tidak lain adalah pajak. Di mana setiap warga negara berkewajiban membayar pajak kepada negara sebagai penguasa wilayah. Beragam jenis pajak pun telah dibuat pemerinah sebagai penguasa negara. Ada pajak bumi dan bangunan, kendaraan bermotor, dan pajak-pajak lainnya. Suatu daerah saja, untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kadang mencapai belasan jenis perpajakan.
Kalau zaman kerajaan, upeti itu lebih banyak untuk kepentingan kerajaan, daripada pembangunan untuk rakyatnya. Maka saat ini pajak yang ditarik dari rakyat itu untuk pembangunan seluruh wilayah. Sebagian memang untuk kepentingan pemerintah sebagai pengausa. Zaman dulu juga ada kemungkinan, upeti yang diperoleh dari rakyat itu tidak sepenuhnya diserahkan kepada adipati atau raja. Namun sebagian juga ada yang diambil para juru pungut upati tersebut. Istilah sekarang adalah korupsi, dulu entah apa sebutannya.
Zaman sekarang ini, korupsi atas pajak yang dibayar dari uang rakyat itu hampir terjadi di semua lini. Apalagi jika pajak yang diurusnya itu sangat besar, pasti juru pungutnya agak ngiler melihat jumlah yang besar tersebut. Meski dia sudah mendapat upah atau gaji atas tugas-tugasnya tersebut, masih saja ada yang tidak tahan untuk mengambil sebagian dari pajak tersebut. Sudah banyak contohnya, petugas-petugas pajak yang mengambil pajak yang seharusnya disetor ke negera. Sebut saja Gayus, yang sudah divonis penjara.
Tradisi setor upeti seperti ini, ternyata sampai sekarang masih saja berlaku. Mungkin lebih banyak dilakukan kelompok-kelompok jalanan atau preman. Mereka masih sering meminta upeti atau tepatnya uang keamanan atas suatu wilayah tertentu kepada penduduk tertentu pula. Namun ada juga beberapa kelompok orang terhormat, yang duduk di lembaga pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif yang masih suka meminta upeti.
Seperti yang terjadi di Kota Semarang, beberapa anggota DPRD tertangkap tangan meminta upeti kepada eksekutif untuk pembahasan suatu anggaran tertentu. Bahkan walikotanya juga turut ditangkap karena dianggap yang menuruh memberikan upeti tersebut. Begitu pula seorang mantan anggota DPRD di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, harus dilantik menjadi wakil bupati di tahanan. Dia sebelumnya divonis bersalah karena meminta upeti kepada eksekutif.
Upeti seperti yang berlaku sekarang ini, memang tidak ada dasar hukumnya. Sehingga mereka yang masih melakukannya, kalau ketahuan dan tertangkap tangan pasti dihukum. Pemberian atau pun penerimaan upeti adalah bagian dari korupsi. Kalau dulu, upeti adalah kewajiban para pejabat di bawah kepada atasannya, dari adipati kepada rajanya. Kalau sekarang, upeti diberikan kepada mereka yang mempunyai kewenangan lebih. Sementara pemberi upeti berada pada posisi yang cenderung lebih lemah, atau mereka yang terkena kasus atau persoalan yang cukup membelitnya. (*)

Komentar

Postingan Populer