Gerakan Anti Parpol
Ulah sejumlah kader partai politik yang melakukan tindakan tidak terpuji, seperti korupsi, membohongi rakyat dan lainnya, menimbulkan keprihatinan. Rakyat mulai merasa muak dengan ulah sejumlah elit politik yang berasal dari partai politik terntentu. Bahkan muncul gerakan anti partai politik, yang dulu sempat ramai saat zaman Orde Baru dengan istilah golongan putih (golput).
Fenomena tersebut, dalam kajian ilmu politik adalah wajar. Karena perilaku itu adalah respon dari suatu perilaku politik. Merupakan hak setiap warga negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya, termasuk untuk tidak menyalurkan aspirasi politiknya tersebut. Dalam arti tidak memilih satu pun partai politik yang ada. Atau justru membuat partai politik tersendiri.
Di mana ketika suatu partai politik dinyatakan tidak lagi mampu mendukung aspirasinya, maka setiap warga negara mempunyai hak untuk mencari partai politik yang lain. Tidak ada paksaan untuk memilih partai politik, seperti zaman Orde Baru dulu. Masing-masing warga berhak memilih partai politik sebagai saluran politik dalam sistem demokrasi sekarang ini.
Dengan partai politik, rakyat memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Ketika pemerintahan yang dipimpin satu partai politik tertentu, dianggap tidak mampu melakukan perubahan lebih baik atau dinilai gagal, maka dalam pemilihan umum berikutnya, rakyat bisa menentukan pilihan lainnya. Mana partai politik yang dianggap mampu melakukan perubahan. Itulah pentingnya pemilu, yang merupakan ajang koreksi dan evaluasi bagi semua partai politik yang ada.
Lantas bagaimana dengan negara yang tidak memiliki partai politik atau hanya memiliki satu partai saja? Maka sudah pasti negara tersebut adalah negara otoriter, negara yang tiran, tidak menghargai adanya perbedaan pilihan politik. Negara yang tidak memiliki partai politik, biasanya dikuasai oleh pemerintahan junta militer. Tidak ada kesempatan bagi warga untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Karena rakyatnya tidak memiliki hak politik sama sekali. Semuanya sangat tergantung pemerintahan yang dikuasai sepenuhnya oleh militer.
Sementara negara yang memiliki satu partai politik, kebanyakan adalah negara komunis. Partai komunis menjadi satu-satunya partai yang berhak menjalankan pemerintahan. Tidak ada partai lain yang menjadi penyeimbang dari partai komunis. Sementara tentara dan polisinya, juga menjadi anggota partai komunis tersebut. Bagi yang melawan partai komunis, dianggap sebagai antek imperialisme dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Sehingga tidak ada kebebasan politik dalam negara tersebut.
Lantas bagaimana dengan gerakan anti partai politik yang dikatakan saat ini mulai menguat? Ada kekuatiran gerakan ini didukung oleh mereka yang tidak suka dengan sistem demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia. Ada oknum-oknum yang menunggangi kemuakan sebagian warga negera, terhadap perilaku politisi yang korup dan nakal, untuk kepentingan dirinya. Dari gerakan yang didengungkan itu, diharapkan akan menimbulkan huru hara dan aksi anarkis dan sebagainya. Kemudian akhirnya muncul kelompok tertentu untuk mengambil alih kekuasaan.
Ketika kekuasaan diambil alih dengan cara paksa, maka dipastikan negara ini akan menjadi negara yang tiran, otoriter dan demokrasi menjadi mati. Akan muncuk junta militer, yang akan menindas hak-hak politik rakyat. Tentu kondisi ini tidak diharapkan semua pihak. Betapa tidak, gerakan reformasi yang begitu dahsyat, telah memakan banyak korban. Tujuannya adalah menjadikan negara ini menjadi negara yang demokratis, menghargai hak-hak politik seluruh rakyat. Berpolitik melalui partai adalah hak, tidak berpolitik juga hak setiap warga negara. (*)
Fenomena tersebut, dalam kajian ilmu politik adalah wajar. Karena perilaku itu adalah respon dari suatu perilaku politik. Merupakan hak setiap warga negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya, termasuk untuk tidak menyalurkan aspirasi politiknya tersebut. Dalam arti tidak memilih satu pun partai politik yang ada. Atau justru membuat partai politik tersendiri.
Di mana ketika suatu partai politik dinyatakan tidak lagi mampu mendukung aspirasinya, maka setiap warga negara mempunyai hak untuk mencari partai politik yang lain. Tidak ada paksaan untuk memilih partai politik, seperti zaman Orde Baru dulu. Masing-masing warga berhak memilih partai politik sebagai saluran politik dalam sistem demokrasi sekarang ini.
Dengan partai politik, rakyat memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Ketika pemerintahan yang dipimpin satu partai politik tertentu, dianggap tidak mampu melakukan perubahan lebih baik atau dinilai gagal, maka dalam pemilihan umum berikutnya, rakyat bisa menentukan pilihan lainnya. Mana partai politik yang dianggap mampu melakukan perubahan. Itulah pentingnya pemilu, yang merupakan ajang koreksi dan evaluasi bagi semua partai politik yang ada.
Lantas bagaimana dengan negara yang tidak memiliki partai politik atau hanya memiliki satu partai saja? Maka sudah pasti negara tersebut adalah negara otoriter, negara yang tiran, tidak menghargai adanya perbedaan pilihan politik. Negara yang tidak memiliki partai politik, biasanya dikuasai oleh pemerintahan junta militer. Tidak ada kesempatan bagi warga untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Karena rakyatnya tidak memiliki hak politik sama sekali. Semuanya sangat tergantung pemerintahan yang dikuasai sepenuhnya oleh militer.
Sementara negara yang memiliki satu partai politik, kebanyakan adalah negara komunis. Partai komunis menjadi satu-satunya partai yang berhak menjalankan pemerintahan. Tidak ada partai lain yang menjadi penyeimbang dari partai komunis. Sementara tentara dan polisinya, juga menjadi anggota partai komunis tersebut. Bagi yang melawan partai komunis, dianggap sebagai antek imperialisme dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Sehingga tidak ada kebebasan politik dalam negara tersebut.
Lantas bagaimana dengan gerakan anti partai politik yang dikatakan saat ini mulai menguat? Ada kekuatiran gerakan ini didukung oleh mereka yang tidak suka dengan sistem demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia. Ada oknum-oknum yang menunggangi kemuakan sebagian warga negera, terhadap perilaku politisi yang korup dan nakal, untuk kepentingan dirinya. Dari gerakan yang didengungkan itu, diharapkan akan menimbulkan huru hara dan aksi anarkis dan sebagainya. Kemudian akhirnya muncul kelompok tertentu untuk mengambil alih kekuasaan.
Ketika kekuasaan diambil alih dengan cara paksa, maka dipastikan negara ini akan menjadi negara yang tiran, otoriter dan demokrasi menjadi mati. Akan muncuk junta militer, yang akan menindas hak-hak politik rakyat. Tentu kondisi ini tidak diharapkan semua pihak. Betapa tidak, gerakan reformasi yang begitu dahsyat, telah memakan banyak korban. Tujuannya adalah menjadikan negara ini menjadi negara yang demokratis, menghargai hak-hak politik seluruh rakyat. Berpolitik melalui partai adalah hak, tidak berpolitik juga hak setiap warga negara. (*)
Komentar
Posting Komentar