Politik PNS dan PNS Politik

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, keberadaan seorang pegawai negeri sipil (PNS) harus netral dalam politik. Meskipun PNS memiliki hak untuk memilih, namun hak pilihnya itu tidak boleh dimunculkan secara terang-terangan. Ini berbeda dengan zaman Orde Baru, di mana seorang PNS diwajibkan untuk memilih salah satu partai, yang saat itu menjadi partai penguasa.
Seiring jalannya reformasi, hak politik PNS tetap diberikan. Berbeda dengan TNI dan Polri, yang memang tidak diberi hak politik. Namun demikian, hak politik yang dimiliki para PNS ini cukup besar pengaruhnya. Karena dengan jumlahnya yang cukup besar dan pengaruhnya di masyarakat, peran PNS dalam politik tidak bisa dihiraukan. Karenanya, dalam peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan displin PNS, mereka harus netral. Tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Peraturan sudah menegaskan netralitas PNS. Namun dalam prakteknya, mereka tetap berpolitik. Meski tidak secara-terang-terangan, namun suara mereka cukup signifikan, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Di mana suara PNS ini tetap menjadi buruan dari semua calon, khususnya calon incumbent, baik dari bupati maupun wakil bupati, yang akan bertarung dalam Pilkada. Suara PNS ini boleh dikatakan menjadi salah satu indikator keberhasilan bakal calon bupati dan wakil tersebut.
Politik PNS ini, selain berpengaruh dalam konstelasi politik di daerah, juga biasanya akan berpengaruh pasca Pilkada. Di mana bupati yang terpilih, pasti akan lebih dekat dengan PNS yang dulu mendukung kemenangannya. Meski tidak terbuka secara langsung, namun buati terpilih pasti tahu, siapa saja PNS yang mendukungnya. Biasanya timbal baliknya adalah dengan memberikan jabatan yang strategis kepada PNS yang bersangkutan. Fenomena ini sudah bukan rahasia lagi. Sehingga dalam setiap even Pilkada, pasti akan memunculkan PNS yang berpolitik atau politik PNS.
Meskipun ada ancaman sanksi, namun hal itu tidak menyurutkan minat seorang PNS untuk berpolitik praktis. Dengan harapan, jika yang didukungnya itu menang, maka dia akan mendapat jabatan strategis. Dalam berpolitik ini, seorang PNS pasti akan mendukung siapa figur calon bupati yang terkuat. Percuma saja, jika calon yang didukung itu akan kalah. Bukan jabatan yang diraih, justru dia akan dikucilkan atau bahkan tidak mendapat job sama sekali. Dalam beberapa peristiswa politik, kejadian penon-joban terhadap PNS yang tidak mendukung pernah terjadi.
Karenanya, dalam ajang Pilkada ini, seseorang akan menang atau tidak, bisa dilihat dari dukungan para PNS terhadap bakal calon yang ada. Meskipun tidak semua bisa dijadikan acuan. Karena memang kondisi politik dalam Pilkada, bisa berubah setiap saat. Siapa berpasangan dengan siapa, akan mempengaruhi dukungan warga terhadap yang bersangkutan.
PNS yang berpolitik ini, memang sangat riskan. Jika tidak beruntung, maka sanksi hampir pasti dan jabatan pun bisa dicopot. Berbeda jika yang didukung menang, maka dukungannya itu bisa dijadikan posisi tawar untuk mendapatkan jabatan. Ancaman sanksi pun tidak mungkin diberikan, karena pemberian sanksi menjadi wewenang bupati. Kalau pun ada sanksi, hanya sebatas teguran dan promosi berjalan terus. Itu bagi PNS yang berpolitik dengan mendukung calon yang terpilih.
Namun yang harus diingat oleh PNS, yang juga sudah ditegaskan dalam peraturan disiplin PNS, bahwa netralitas politik PNS itu sangat penting. Selain tidak terjebak politik praktis, PNS yang netral juga akan bertindak adil. Tidak hanya kepada pendukung bupati saja yang dilayani, namun seluruh penduduk akan dilayani. Karena memang sudah menjadi tugas seorang PNS untuk melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat asal-usulnya, baik golongan maupun aliran politiknya. PNS memang memiliki hak politik, namun tidak digunakan untuk berpolitik praktis. (*)

Komentar

Postingan Populer