Minta Naik Gaji

Ikatan Hakim Indonesia meminta kepada pemerintah untuk menaikkan gaji mereka. Alasannya, selama 11 tahun terakhir gaji mereka tidak pernah naik. Jika tidak dipenuhi permintaan tersebut, mereka mengancam untuk mogok, tidak mau menyidangkan kasus-kasus yang masuk ke pengadilan.
Mereka mungkin sedang menuntut keadilan kepada pemerintah. Karena hakim lain, seperti hakim pengadilan tipikor dan hakim ad hoc, ternyata gajinya lebih besar. Sementara hakim di pengadilan negeri, jika dibandingkan dengan pejabat yang setara dengannya, masih tergolong kecil. wajar, hakim juga manusia, yang punya hak untuk menuntut keadilan pula. Toh selama ini, para hakim menjadi ajang tempat para pencari keadilan. Jadi sekarang ini, kalau mereka menuntut keadilan juga hal yang wajar.
Ancaman mogok itu hanya sekedar gertak sambal saja atau memang mereka berniat serius untuk mogok. Tanpa mogok saja, kasus-kasus yang sudah masuk di pengadilan banyak yang belum diselesaikan. Bukan hanya di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi saja, di tingkat mahkamah agung pasti lebih banyak lagi.
Bagi sebagian besar hakim, mungkin tuntutan itu merupakan tuntutan yang wajar. Karena gaji mereka bagi seorang pemutus keadilan masih tergolong kecil. Timbul sebuah pertanyaan, apakah dengan gaji yang kecil itu akan mempengaruhi keputusan para hakim itu dalam menangani suatu kasus atau tidak? Lantas, ketika gajinya sudah besar, apakah akan berpengaruh terhadap keputusan-keputusan mereka di pengadilan? Hanya mereka, para hakim lah yang mengetahui jawabannya.
Kalau boleh bersuudzon, selama ini beberapa pencari keadilan juga mengeluhkan keputusan sebagian hakim. Bahkan yang sekarang ini lagi jadi sorotan adalah putusan bebas bagi sejumlah pelaku korupsi. Kalaupun dihukum, paling hanya satu atau dua tahun penjara saja. Begitu pula denda yang diberikan, tidak menjadikan seorang koruptor itu jera. Wacana pemiskinan para koruptor itu pun hanya jadi wacana saja.
Hal ini menjadi wacana di masyarakat agar para koruptor itu kapok, dan yang belum melakukannya tidak jadi. Bahkan ada usulan, agar koruptor ini dihukum mati saja. Seperti halnya di China, yang telah menghukum mati ratusan koruptor di negeri komunis tersebut. Sementara di indonesia, vonis bagi koruptor masih sama dengan pencuri biasa, yang hanya mengambil motor atau pun barang-barang berharga di dalam rumah, yang nilainya tidak lebih dari seratusan juta. Namun koruptor, yang merugikan negara miliaran hingga triliunan mendapatkan hukuman yang sama.
Tentu para hakim itu mempunyai beberapa pertimbangan dalam memutuskan vonis. Namun dalam kasus korupsi, maka yang dirugikan adalah rakyat. Tentu rakyat yang telah membayar pajak tidak akan terima, ketika pelaku korupsi dibebaskan dari semua dakwaan. Padahal ada kerugian akibat korupsi tersebut.
Apakah fenomena ini bentuk mogok sebagian hakim tersebut? Karena gaji kecil, lantas membebaskan beberapa pelaku korupsi. Sekali lagi, kalau boleh suudzon, apakah ada kongkalikong antara terdakwa dengan hakim-hakim itu? Tentunya dengan imbalan sejumlah uang. Begitu pula dengan ancaman hukuman maupun denda. Mereka yang sudah memvonis pelaku korupsi dan menyelematkan uang negara, tetapi ternyata mereka tidak mendapatkan cash back. Cash back, dalam pengertian ini adalah tuntutan kenaikan gaji. Ini tentu wajar, dari pada mereka yang mengakali kenaikan gajinya sendiri dengan praktek suap untuk memenangkan suatu perkara di pengadilan. (*)

Komentar

Postingan Populer