Setelah Lulus Kemana?

Siswa-siswi SMA, SMK dan MA baru saja mengikuti ujian nasional. Beragam berita muncul di media massa terkait dengan pelaksanaan ujian tersebut. Mulai dari proses pengiriman soal, hingga banyaknya soal yang rusak, kurang atau pun tertukar. Selain itu, juga muncul adanya isu-isu bocoran soal atau pun praktek-praktek kecurangan. Hal ini tidak lepas dari persyaratan kelulusan siswa-siwi tersebut dari hasil ujian nasional tersebut.
Ada juga pemberitaan yang menyebutkan beberapa siswa gagal ikut UN. Ada yang sudah keburu menikah lebih dulu, ada yang bekerja di luar kota, hingga yang tidak jelas alasannya. Tentu ini menjadi PR bagi pengelola sekolah atau pun dinas, yang memastikan bahwa daerahnya tidak mungkin lulus 100 persen.
Hampir dipastikan, pelaksanaan ujian tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Yakni kelulusan yang mendekati angka 100 persen. Bahkan sebagian besar sekolah sudah ada yang mencapai "prestasi" lulus 100 persen setiap tahun. Lulus 100 persen itu dianggap sebuah prestasi yang membanggakan, dibanding yang lainnya. Kondisi ini tidak lepas dari paradigma sekolah dan dinas pendidikan dalam menganggap hasil ujian nasional sebagai indikator keberhasilan.
Terlepas dari persoalan tersebut, bhawa mereka yang telah dinyatakan lulus dihadapkan pada beberapa piliha. Yakni melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, atau langsung mencari kerja. Bahkan sebagian kecil dari mereka memilih untuk menikah setelah lulus, khususnya kaum perempuannya. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah menjadi pengangguran.
Kenapa tidak semua lulusan siswa SMA, SMK ini melanjutkan ke perguruan tinggi? Tentu masalah ini terkait dengan ekonomi keluarga. Bagi siswa yang berasal dari keluarga yang cukup mampu, tentu akan memilih kuliah, mulai dari D I, D II, D III hingga sarjana S1. Namun ada juga yang lebih memlih untuk menganggur. Toh sudah menjalankan pendidikan selama 12 tahun, mulai dari SD hingga SMA. Jadi sudah bosan untuk sekolah lagi.
Sementara bagi mereka, yang berkeinginan segara mendapat penghasilan, akan mencari pekerjaan. Mulai dari pekerjaan yang kasar, hingga pekerjaan kantoran. tentu tidak lepas dari kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Pilihan ini mungkin yang terbanyak di antara beberapa pilihan yang lain. Karena memang kebutuhan ekonomi menjadi pilihan utama setiap lulusan SMA.
Sedangkan pilihan bagi yang setelah lulus UN, bisa didasari karena kondisi ekonomi keluarga juga. Di mana orang tua menganggap sudah tidak mampu menghidupi anaknya yang sudah besar. Sehingga akhirnya dinikahkan dengan seseorang yang mungkin sudah memiliki penghasilan sendiri. Ada juga yang menikah karena terpaksa. Hal ini tidak bisa dihindarkan, di tengah kondisi ekonomi masyarakat, yang memang berbeda-beda.
Tentunya, dengan berbagai macam pilihan tersebut, keinginan pemerintah adalah bagaimana semakin meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya. Saat ini pemerintah baru mewajibkan pendidikan dasar sembilan tahun, yakni baru sampai pada pendidikan tingkat pertama. Tetapi ada juga daerah yang sudah mengambil kebijakan wajib pendidikan 12 tahun, yang artinya minimal warganya berpendidikan SMA atau sederajat.
Dengan semakin tinggi pendidikan masyarakat, maka diharapkan indeks pembangunannya akan meningkat. Kemudian tingkat kesejahteraan masyarakatnya juga akan semakin meningkat. Efek bola salju ini, tentunya akan berhasil dengan baik, jika pengelolaan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga menengah dikelola dengan baik. Apalagi saat ini, pemerintah juga sedang gencar mensosialisasikan pendidikan anak usia dini. Dengan harapan, anak-anak yang masih dini itu, akan mendapat pendidikan sejak awal, baik perilaku, sikap dan moralnya sejak awal. Sehingga diharapkan setelah menginjak dewasa, maka sikapnya akan baik. Termasuk tidak bingung setelah dinyatakan lulus SMA atau yang sederajat. (*)

Komentar

Postingan Populer