Lulus Ujian Nasional

Pada 16-19 April siswa-siswi SMA/SMK dan sederajat mengikuti ujian nasional (UN) tahun 2012. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hampir semua sekolah telah melakukan persiapan yang matang. Siswa-siswinya diberikan tambahan jam pelajaran dan juga try out UN. Tak hanya itu, secara spiritual juga diadakan istighotsah atau doa bersama agar semuanya bisa lulus UN.
Persiapan tersebut wajar, mengingat hasil UN menjadi salah satu penentu kelulusan seorang siswa. Jika tidak lulus pada salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan, bisa dipastikan siswa tersebut tidak akan lulus, meskipun untuk nilai pelajaran yang lain cukup tinggi. Bahkan sebagian dari mereka, juga mengikuti bimbingan belajar di lembaga binbel. Tujuannya satu, bisa lulus ujian nasional.
Setelah dinyatakan lulus UN, bagi yang punya uang mungkin akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Bagi yang malas, mungkin nganggur dulu, istirahat dari sekolah. Atau ada juga yang langsung dikawinkan oleh orang tuanya. Minimal mereka sudah mendapatkan ijazah SMA dan sederajat. Siapa tahu nanti, bisa untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota dewan atau pun bupati dan wakil bupati.
Persyaratan kedua profesi di bidang politik itu memang salah satunya minimal berijazah SMA atau sederajat. Jadi kalau sudah lulus SMA, minimal sudah memenuhi persyaratan. Kalau tidak memiliki ijazah SMA, bisa berbahaya. Soalnya, bagi mereka yang tidak sampai lulus SMA, tetapi punya ijazah SMA bisa diperkarakan. Dari mana ijazah itu diperoleh, apakah memalsukan atau memperolehnya tidak sesuai dengan prosedur. Sudah ada beberapa kasus terkait ijazah tersebut.
Kembali kepada masalah ujian nasional, memang sangat kompleks persoalannya. Di satu sisi pemerintah daerah menginginkan agar daerahnya mampu menjadi daerah yang sukses, salah satunya dengan kelulusan mencapai 100 persen. Namun di sisi lain, kualitas dan mutu pendidikan juga dituntut untuk ditingkatkan. Sementara dalam pelaksanaan ujian nasional, pasca penetapan hasil UN sebagai persyaratan kelulusan, selalu menjadi sorotan masyarakat. Betapa tidak, setiap sekolah menargetkan bisa meluluskan siswanya 100 persen. Seolah jika berhasil 100 persen, maka kualitas pendidikannya baik dan diakui masyarakat.
Kondisi ini tentu menjadi pertanyaan bagi mereka yang berpikir kritis. Apalagi adanya rumor di beberapa tempat dan sekolah, bahwa pelaksanaan UN banyak yang tidak murni. Dalam arti ada kecurangan yang dilakukan sejumlah sekolah, agar seluruh siswanya bisa lulus. Kecurangan itu bisa berupa pembocoran soal atau pun pemberian kunci jawaban. Tidak heran, jika ada siswa yang tidak lulus hanya dikatakan apes saja. Bukan karena bodoh atau kemampuan intelektualistnya rendah. Apes karena tidak mendapat bocoran soal atau pun kunci jawaban, hingga tidak lulus UN. Sungguh ironis memang.
Berbeda dengan dulu, ujian nasional atau pun nama lainnya, benar-benar menjadi ajang evaluasi pembelajaran di suatu sekolah. Namun UN saat itu, sebelumnya disebut evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) menjadi ajang evaluasi yag sesungguhnya. Penentuan lulus tidaknya seseorang, didasarkan atas kemampuan siswa yang bersangkutan. Kalau hasil Ebtanasnya jelek dan kemampuannya juga rendah, maka pihak sekolahlah yang memutuskan apakah siswa tersebut layak lulus atau tidak. Kalau sekarang ini, walau hanya tergelincir pada salah satu ampel, dan itu pun tidak terlalu jauh dari batasan minimal, maka otomatis tidak akan lulus. Meskipun untuk materi lainnya cukup tinggi.
Kini, menjelang pelaksanaa UN bagi siswa SMA, tentunya persiapan lahir batin harus dimiliki. Rasa optimisme dengan mencoba meraih hasil maksimal, harus dipegang. Yakin dengan kemampuannya sendiri, untuk siap lulus UN. Bukan dengan mencari bocoran soal atau pun mencari kunci jawaban palsu. (*)

Komentar

Postingan Populer