Bulan Razia
Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah, begitu ungkapan yang sering kita dengar. Namun selain itu, bulan Ramadan juga merupakan bulan razia. Buktinya, menjelang setiap bulan Ramadan, selalu digelar berbagai macam razia. Razia yang dilakukan sejumlah aparat keamanan dan hukum ini digelar secara serempak di semua daerah. Tujuannya hanya satu, memberantas penyakit masyarakat.
Penyakit masyarakat (pekat) itu dirazia, dengan alasan agar umat Islam yang mau menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan bisa menjalankannya dengan khusyuk. Tanpa ada gangguan atas keberadaan penyakit masyarakat tersebut. Tetapi, apa yang dimaksud penyakit masyarakat itu? Apakah hanya sekedar prostitusi atau penjualan minuman keras atau pun perilaku-perilaku maksiat lainnya?
Yang jelas, penyakit masyarakat itu adalah tindakan dan perilaku sejumlah masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma kesusilaan masyarakat. Perilaku-perilaku itu muncul setiap saat, tidak hanya menjelang dan selama Ramadan. Artinya, bahwa perilaku yang tidak baik itu tidak ada sangkut pautnya dengan datangnya bulan Ramadan.
Tidak salah memang ketika aparat kemananan dan humum melakukan razia. Tujuanya untuk membantu mereka yang menjalankan ibdah puasa tidak terganggu oleh keberadaan penyakit masyarakat itu. Meskipun bagi mereka yang sudah sejak awal berniat puasa, seberapa besar gangguan yang ada, pasti bisa dihadapi. Keberadaan pekat, hanya merupakan bagian dari godaan dan tantangan, apakah sanggup menghindarinya atau tidak.
Karenanya, tanpa razia yang dilakukan aparat keamanan dan hukum itu, keberadaan penyakit masyarakat itu tidak terpengaruh. Justru, dengan semakin besarnya tantangan dan godaan itu, akan semakin menunjukkan tingkat keimanan seseorang. Semakin tinggi godaan yang dihadapinya, maka semakin tinggi tingkat keimanannya. Orang yang berpuasa yang hanya di dalam kamar saja, dibanding dengan orang yang berpuasa tetap dengan aktivitas pekerjaan dan kegiatan kemasyarakatannya, tentu berbeda nilainya.
Lantas apakah selama bulan Ramadan ini razia penyakit masyarakat tidak perlu dilakukan? Atau dihentikan saja, karena akan mengurangi pahala bagi mereka yang mampu menghadapi godaan tersebut. Tentu bukan begitu maksudnya. Bahwa salah satu tugas aparat keamanan dan hukum adalah memberantas penyakit masyarakat, itu adalah kewajiban. Namun dalam melakukan razia, tidak harus menunggu datangnya bulan Ramadan.
Razia penyakit masyarakat ini, harus dilakukan secara kontinyu, terus-menerus. Karena setiap saat penyakit masyarakat ini selalu muncul dan timbul kembali. Tidak ada jaminan setelah razia menjelang Ramadan dilakukan, kemudian selama Ramadan tidak ada penyakit masyarakat lagi. Bisa jadi mereka hanya menghindar sebentar, setelah razia tidak ada lagi, mereka kembali datang. Atau bahkan mereka sudah terlebih dulu tahu akan rencana diadakannya razia tersebut. Ketika razia bocor, maka dipastikan tidak akan menemukan penyakit-penyakit masyarakat tersebut.
Kalau pun ada yang tertangkap tangan kemudian direhabilitasi, tidak juga menjadi jaminan mereka akan bertobat dan kembali ke kehidupan masyarakat yang normal. Mereka bisa saja kembali dengan berbagai amcam alasan dan faktor, khususnya alasan dan faktor ekonomi.
Semua sudah mafhum, bahwa kadang di balik sebuah tempat digunakan untuk maksiat ada beking dari sejumlah oknum aparat keamanan dan hukum tersebut. Sehingga tidak heran, ketika akan digelar razia, meskipun itu dadakan, tetap saja bocor. Karena sebelum aparat datang, mereka sudah menyebarkan pesan berantai, apalagi semuanya sudah dilengkapi dengan hand phone yang canggih.
Ketika razia dilakukan untuk memberantas penyakit masyarakat, bukan karena bulan Ramadan saja, tetapi memang bertujuan menghindarkan masyarakat dari penyakit tersebut. Razia boleh saja dilakukan terus-menerus, namun solusi dan pasca razia itulah yang harus dilakukan pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri. (*)
Penyakit masyarakat (pekat) itu dirazia, dengan alasan agar umat Islam yang mau menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan bisa menjalankannya dengan khusyuk. Tanpa ada gangguan atas keberadaan penyakit masyarakat tersebut. Tetapi, apa yang dimaksud penyakit masyarakat itu? Apakah hanya sekedar prostitusi atau penjualan minuman keras atau pun perilaku-perilaku maksiat lainnya?
Yang jelas, penyakit masyarakat itu adalah tindakan dan perilaku sejumlah masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma kesusilaan masyarakat. Perilaku-perilaku itu muncul setiap saat, tidak hanya menjelang dan selama Ramadan. Artinya, bahwa perilaku yang tidak baik itu tidak ada sangkut pautnya dengan datangnya bulan Ramadan.
Tidak salah memang ketika aparat kemananan dan humum melakukan razia. Tujuanya untuk membantu mereka yang menjalankan ibdah puasa tidak terganggu oleh keberadaan penyakit masyarakat itu. Meskipun bagi mereka yang sudah sejak awal berniat puasa, seberapa besar gangguan yang ada, pasti bisa dihadapi. Keberadaan pekat, hanya merupakan bagian dari godaan dan tantangan, apakah sanggup menghindarinya atau tidak.
Karenanya, tanpa razia yang dilakukan aparat keamanan dan hukum itu, keberadaan penyakit masyarakat itu tidak terpengaruh. Justru, dengan semakin besarnya tantangan dan godaan itu, akan semakin menunjukkan tingkat keimanan seseorang. Semakin tinggi godaan yang dihadapinya, maka semakin tinggi tingkat keimanannya. Orang yang berpuasa yang hanya di dalam kamar saja, dibanding dengan orang yang berpuasa tetap dengan aktivitas pekerjaan dan kegiatan kemasyarakatannya, tentu berbeda nilainya.
Lantas apakah selama bulan Ramadan ini razia penyakit masyarakat tidak perlu dilakukan? Atau dihentikan saja, karena akan mengurangi pahala bagi mereka yang mampu menghadapi godaan tersebut. Tentu bukan begitu maksudnya. Bahwa salah satu tugas aparat keamanan dan hukum adalah memberantas penyakit masyarakat, itu adalah kewajiban. Namun dalam melakukan razia, tidak harus menunggu datangnya bulan Ramadan.
Razia penyakit masyarakat ini, harus dilakukan secara kontinyu, terus-menerus. Karena setiap saat penyakit masyarakat ini selalu muncul dan timbul kembali. Tidak ada jaminan setelah razia menjelang Ramadan dilakukan, kemudian selama Ramadan tidak ada penyakit masyarakat lagi. Bisa jadi mereka hanya menghindar sebentar, setelah razia tidak ada lagi, mereka kembali datang. Atau bahkan mereka sudah terlebih dulu tahu akan rencana diadakannya razia tersebut. Ketika razia bocor, maka dipastikan tidak akan menemukan penyakit-penyakit masyarakat tersebut.
Kalau pun ada yang tertangkap tangan kemudian direhabilitasi, tidak juga menjadi jaminan mereka akan bertobat dan kembali ke kehidupan masyarakat yang normal. Mereka bisa saja kembali dengan berbagai amcam alasan dan faktor, khususnya alasan dan faktor ekonomi.
Semua sudah mafhum, bahwa kadang di balik sebuah tempat digunakan untuk maksiat ada beking dari sejumlah oknum aparat keamanan dan hukum tersebut. Sehingga tidak heran, ketika akan digelar razia, meskipun itu dadakan, tetap saja bocor. Karena sebelum aparat datang, mereka sudah menyebarkan pesan berantai, apalagi semuanya sudah dilengkapi dengan hand phone yang canggih.
Ketika razia dilakukan untuk memberantas penyakit masyarakat, bukan karena bulan Ramadan saja, tetapi memang bertujuan menghindarkan masyarakat dari penyakit tersebut. Razia boleh saja dilakukan terus-menerus, namun solusi dan pasca razia itulah yang harus dilakukan pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri. (*)
Komentar
Posting Komentar