Senggol, Bacok
Oleh: M Riza Pahlevi
Senggol, bacok. Judul ini sepertinya sangat provokatif dalam situasi dan kondisi Lebaran, yang cuacanya memang sangat panas. Apalagi tradisi pulang kampung atau mudik Lebaran ini menambah suasana hangat di setiap kampung. Betapa tidak, saat Lebaran berlangsung banyak wajah-wajah baru yang lalu lalang, yang tidak dikenal warga setempat. Mereka sebagin besar adalah keluarga yang merantau ke kota besar, dan hanya sesekali saja pulang kampung, seperti Lebaran tahun ini.
Senggol, bacok. Ungkapan ini bagi sebagian orang bukan merupakan ancaman, tapi justru bagian dari keakraban. Seperti halnya ungkapan-ungkapan 'kasar' lainnya bagi masayarakat Pantura. Seperti dalam ungkapan raimu, asu, kirik dan sejenisnya itu yang disampaikan kepada teman atau rekan yang baru bertemu. Bahkan ungkapan itu kadang disertai dengan 'pukulan sayang' kepada temannya tersebut.
Karenanya dalam setiap Lebaran, ungkapan-ungkapan itu sering kali terdengar, khususnya di kalangan remaja yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Suaranya yang keras dan diucapkan sambil berteriak, menjadikan setiap orang yang lewat didekatnya hanya melirik tanpa ekspresi. Karena memang sudah biasa mendengar ungkapan tersebut. Termasuk ungkapan senggol, bacok ini. Seakan tak lengkap saat bergurau tanpa mengucapkan ungkapan bernada ancaman tersebut.
Makanya tak heran, jika sebagian besar masyarakat Pantura tidak menganggap ungkapan itu sebagai ancaman yang sungguh-sungguh. Ungkapan bernada ancaman itu, adalah pemanis dalam serangakain gurauan yang cukup 'keterlaluan' di kalangan masyarakat Pantura. Bagi orang luar, apalagi yang baru pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Pantura, akan kaget mendengar kata-kata ungkapan tersebut. Sehingga akhirnya muncul anggapan bahwa masyarakat Pantura adalah masyarakat yang kasar, tanpa sopan santun, dan mudah terprovokasi.
Lebaran, yang sejatinya menjadi ajang bersilaturahmi antar kerabat, teman dan tetangga itu sering dikotori dengan aksi tawuran. Silaturahmi, yang merupakan ikatan untuk saling mendekatkan, dengan komunikasi langsung secara fisik dan ajang kangen-kangenan itu pun telah membudaya. Mereka yang merantau di luar kota pun dibela-belan untuk mudik atau pulang kampung saat Lebaran. Jalanan macet dan cauaca yang sangat panas, bahkan kecelakaan yang kadang menghadang selama perjalanan, tidak menjadi halangan untuk bersilaturahmi dengan kerabat, teman dan juga tetangga. Namun sekali lagi, ajang silaturahmi tahunan itu, kadang dikotori dengan tawuran. Yang kadang disebabkan masalah sepele dan tak penting.
Emosi, yang seharusnya tak keluar saat Lebaran, menjadi yang utama dalam setiap aksi tawuran itu. Emosi dan amarah itu menjadi biang kerok dari tawuran itu. Bahkan ungkapan yang tadinya hanya pemanis hubungan kedekatan anatar teman itu pun menjadi ancaman yang serius. Senggol, bacok. Sungguh tak masuk akal, hanya karena senggolan sedikit saja, harus terjadi bacok-bacokan. Senggolan saat konvoi sepeda motor pun bisa jadi ajang saling bacok. Senggolan tubuh yang tak disengaja saat hiburan musik pun bisa menjadi ajang senggolan senjata tajam. Senggolan tangan jahil kepada lawan jenis, juga bisa menjadi awal perang antar kelompok maupun desa.
Senggol, bacok. Ungkapan kedekatan yang rawan itu, seperti harus diubah dengan senggol, senyum. Ketika berjoget dalam alunan musik hiburan umum, senggolan yang ada dijadikan sebagai cara untuk saling menikmati alunan musik yang ada. Maka, senyumlah yang menjadi tanda nikmatnya alunan musik itu. Senggolan motor saat konvoi tambir keliling, menjadikan ajang untuk saling koreksi. Bahwa di jalanan bukan hanya kita sendiri yang ada, tapi banyak pengguna kendaraan lain yang melewati jalan yang sama. Maka, disiplin lalu lintas jadi pegangannya. Dan ketika berpapasan, maka senyuman menjadi sarana pengikat untuk merayakan Lebaran bersama dengan takbir keliling.
Senggolan tangan pun, jangan dianggap sebagai tangan jahil yang mencari kesempatan dalam ajang silaturahmi Lebaran ini. Tapi senggolan tangan itu dimaknai sebagai ajakan untuk saling bersilaturhami, saling mengenal. Maka, senyuman yang akan muncul dari setiap wajah yang saling bersenggolan tangan. Maka senggol, senyum ini, nampaknya bisa menjadi tradisi dan budaya baru dalam masyarakat. Bukankah di Kota Tegal ada satu tempat, yang ketika saling bersenggolan semuanya tersenyum? Ya, Pasar Senggol. Senggol, senyum. Itu lebih indah di ahri Lebaran ini. (*)
Komentar
Posting Komentar