Gerakan 30 September
Tanggal 30 September menjadi salah satu tanggal yang bersejarah, sekaligus juga menyeramkan. Bersejarah, karena memang pada hari itu ada peristiswa sejarah yang cukup menyeramkan. Yakni peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di mana sejumlah jenderal disiksa dan dibunuh oleh PKI, dalam upaya sebuah kudeta yang gagal.
Peristiswa ini biasa dikenal dengan G 30 S/PKI. Dan setiap tanggal tersebut, saat itu di TVRI selalu diputar film yang menggambarkan kekejaman PKI. Di mana sejumlah jenderal diculik, kemudian disiksa dan dibunuh, dan akhirnya dimasukkan ke dalam lubang sumur, yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Namun kini, setelah reformasi bergulir, film itu tak lagi diputar. Mungkin masyarakat sudah bosan, atau memang sudah tidak ada yang tertarik lagi nonton film tersebut.
Akibat peristiwa G 30 S/PKI itu seluruh anggota PKI ditumpas habis. Ada yang dibunuh dan dibuang ke sungai, ditangkap tanpa pengadilan dan sebagainya. Ribuan bahkan ratusan ribu anggota PKI dikabarkan jadi korban pembantaian, setelah penguasa Orde Baru menetapkan kebijakan pelarangan PKI dan menuduh PKI seabgai biang kasus tersebut. PKI pun menjadi partai terlarang di seluruh Indonesia. Bahkan anak keturunan PKI dilarang menjadi anggota PNS, apalagi menjadi anggota TNI/Polri. Mereka benar-benar tak berhak hidup di Indonesia, selama rezim Orde Baru berkuasa.
Akibat kebijakan itu, anak keturunan orang-orang yang dicap sebagai anggota PKI, hidup dalam keterasingan dan terkucil. Masyarakat biasanya pun merasa takut untuk bergaul dengan mereka, takut dicap sebagai PKI. Sebagian masyarakat takut, jika dalam litsus (penelitian khusus), ada cap PKI di dalam dirinya, maka dipastikan akan gagal mengikuti seleksi. Kebijakan diskriminatif itu pun berlangsung hingga Orde Baru berakhir pada 1998. Hingga akhirnya gerakan reformasi, yang berhasil menjatuhkan Soeharto, mengakhiri kebijakan tersebut.
Namun tetap saja, setiap gerakan yang beraliran komunis, masih dilarang dan bahkan organisasi yang dianggap berbau komunis pun dilarang. Meski tidak secara tegas organisasi itu menyebutnya sebagai organisasi komunis. Namun dari ajaran dan doktrinnya, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai pengikut komunis, yang harus dibubarkan.
Gerakan 30 September memang peristiwa pahit bagi bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang tak ingin diulang. Namun itu menjadi catatan, bahwa bangsa ini tidak perlu melakukan hal-hal semacam itu. Karena banyak dari mereka, harus diakui, tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi di tataran elit partai maupun negara saat itu. Sebagian dari mereka hanya rakyat biasa, yang hanya ikut berpartisipasi dalam gerakan politik, yang saat itu memang cukup ramai.
Setelah Gerakan 30 September gagal, justru kekerasan dan pelanggaran HAM yang sangat luar biasa terjadi. meski tidak ada jumlah data yang pasti dimiliki pemerintah, namun sejumlah sumber penelitian, baik oleh sejarawan Indonesia maupun dari luar negeri, diperkirakan ada 500 ribu orang yang terbunuh akibat dari efek Gerakan 30 September yang gagal tersebut. Mereka yang dicap sebagai PKI, sebagai underbow PKI, sebagai simpatisan dan pengikut PKI, dihabisi semua. Dibunuh dengan tuduhan sebagai anggota terlarang, dan mayatnya dibuang ke sungai.
Peristiswa itu, mestinya menjadi pelajaran bagi kita semua, bagi kita yang memahami arti perbedaan. Bahwa perbedaan tidak harus diatasi dengan kekerasan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, hanya karena berbeda pemahaman, seperti kasus Ahmadiyah, terjadi aksi kekerasan terhadap pengikutnya. Begitu pula dengan aksi-aksi teror bom, yang kembali menghangat, juga karena paham dan doktrin yang keliru. Sehingga mereka melakukan gerakan kekerasan, yang justru korban tidak tahu menahu dengan apa yang dilakukan dan inginkan.
Kini, setelah 46 tahun Gerakan 30 September berlalu, catatan sejarah bangsa yang merah itu, tak perlu lagi terjadi. 30 September ini, bukanlah sebuah gerakan untuk melakukan kekerasan, jadikan sebagai gerakan untuk saling memahami dan mengerti perbedaan. (*)
Komentar
Posting Komentar