Tragedi Bada Subuh
Oleh: M Riza Pahlevi
Ketika sebagian orang masih tertidur lelap, mereka sudah terbangun untuk mengarungi dunia. Di tengah selimut hawa dingin, mereka mengendus rezeki yang datang saat matahari belum terbit. Berharap sesuap nasi untuk anak-anak dan keluarganya, dengan mengais rezeki di antara lalu lalang kehidupan di pagi buta. Mereka kadang pulang dengan tangan hampa, terkadang pulang dengan senyuman sedikit ketika sampai di rumah.
Biasanya, sebelum matahari menyengat, mereka telah menutup lapak-lapaknya yang hanya selembar bekas karung beras atau terpal yang sudah kusut. Namun jasa mereka itu, tak pernah luput dari pencari kehidupan yang lain. Yang menunggu barang-barang dagangannya, untuk sekedar mengganjal perut bagi keluarga atau pun orang lain yang membutuhkan. Atau bahkan dijual kembali di kampungnya, yang jauh dari pusat kota. Mereka pun harus menyiapkan beberapa lembar ribuan, untuk petugas yang setiap hari menyerahkan karcis tanda setoran.
Pagi itu, dinding langit masih berwarna hitam dan ayam pun masih malas untuk berkokok. Mereka tetap beranjak dari gubuknya yang tak mampu menahan semilirnya angin yang masih dingin. Mereka berangkat dengan penuh semangat, seperti hari-hari sebelumnya. Suara-suara berisik dan tawar-menawar harga pun mulai bersahutan, sementara lainnya ada yang masih hilir mudik membawa barangnya naik turun kendaraan. Sementara di sisi yang lain, deru kendaraan semakin banyak menderu. Dengan suara knalpot yang terus meraung dan suara bising klakson yang tak bosan.
Sebelum suara keras datang dan kemudian senyap untuk selamanya, alunan adzan di masjid dan mushala telah berkumandang. Di antara mereka ada yang langsung menghampirinya untuk menjalan syariat kehidupan. Sementara sebagian cukup di rumah saja, dengan berbagai alasan, namun tetap bersujud di atas sajadah yang sudah lusuh. Di sisi lain, lautan kehidupan telah menunggunya di dekat pasar dan terminal, tempat yang menajdi ajang adu nasib. Hari ini bisa hidup atau besok mati, bagi mereka sama saja.
Kini kehidupan mereka telah lenyap, terbawa gerusan roda dunia yang berputar keras, tanpa rasa, tanpa nyana, tinggal sisa-sisa jasad yang terbujur kaku. Sementara di sisinya, terdengar isak tangis nan sendu. Di kanan kirinya, yang tampak hanya wajah-wajah sendu. Entah siapa lagi yang akan membangunkannya di waktu pagi, saat ayam mulai berkokok. Siapa lagi yang akan mengisi dapur, yang setiap pagi harus mengepul, sebelum anak-anak berangkat sekolah.
Beruntung mereka yang telah membasuh air wudu, sebelum akhir waktu. Karena memang kehidupan tak pernah peduli waktu, kapan saja dan di mana saja. Tidak hanya dilapak-lapak yang berdebu, di jalanan berbatu pun sudah banyak yang terantuk. Terantuk kehidupannya, tuk menjalani dunia yang berbeda. Bahkan di sudut yang sempit pun, kadang banyak yang tak sempat menghirup jalanan waktu. Namun ada juga yang meski sudah uzur, tak kunjung waktu itu menjemputnya.
Tragedi bada subuh, telah menyentuh kehidupan mereka yang tak lagi utuh. Tak ada yang menyuruh, apalagi menyentuh untuk menutup jalur kehidupan subuh itu. Yang ada hanya waktu telah berhenti, karena tak ada lagi subuh-subuh di hari berikutnya. Waktu subuh mereka, telah berlabuh di hadapan yang Maha Ampuh. Tak ada lagi waktu subuh untuk berwudu, tak ada lagi subuh untuk bergegas meraih asap agar tetap mengepul di dapur. Tak ada lagi yang minta karcis, apalagi setoran. Yang ada, hanya minta pertanggungjawaban di alam sana.
Mereka telah pergi, ketika subuh belum berlabuh. Mereka telah menyingkir, sebelum hari menjadi gaduh. Mereka harus pergi, ketika kendang akhir kehidupan ditabuh. Itulah, tragedi bada subuh. (*)
Ketika sebagian orang masih tertidur lelap, mereka sudah terbangun untuk mengarungi dunia. Di tengah selimut hawa dingin, mereka mengendus rezeki yang datang saat matahari belum terbit. Berharap sesuap nasi untuk anak-anak dan keluarganya, dengan mengais rezeki di antara lalu lalang kehidupan di pagi buta. Mereka kadang pulang dengan tangan hampa, terkadang pulang dengan senyuman sedikit ketika sampai di rumah.
Biasanya, sebelum matahari menyengat, mereka telah menutup lapak-lapaknya yang hanya selembar bekas karung beras atau terpal yang sudah kusut. Namun jasa mereka itu, tak pernah luput dari pencari kehidupan yang lain. Yang menunggu barang-barang dagangannya, untuk sekedar mengganjal perut bagi keluarga atau pun orang lain yang membutuhkan. Atau bahkan dijual kembali di kampungnya, yang jauh dari pusat kota. Mereka pun harus menyiapkan beberapa lembar ribuan, untuk petugas yang setiap hari menyerahkan karcis tanda setoran.
Pagi itu, dinding langit masih berwarna hitam dan ayam pun masih malas untuk berkokok. Mereka tetap beranjak dari gubuknya yang tak mampu menahan semilirnya angin yang masih dingin. Mereka berangkat dengan penuh semangat, seperti hari-hari sebelumnya. Suara-suara berisik dan tawar-menawar harga pun mulai bersahutan, sementara lainnya ada yang masih hilir mudik membawa barangnya naik turun kendaraan. Sementara di sisi yang lain, deru kendaraan semakin banyak menderu. Dengan suara knalpot yang terus meraung dan suara bising klakson yang tak bosan.
Sebelum suara keras datang dan kemudian senyap untuk selamanya, alunan adzan di masjid dan mushala telah berkumandang. Di antara mereka ada yang langsung menghampirinya untuk menjalan syariat kehidupan. Sementara sebagian cukup di rumah saja, dengan berbagai alasan, namun tetap bersujud di atas sajadah yang sudah lusuh. Di sisi lain, lautan kehidupan telah menunggunya di dekat pasar dan terminal, tempat yang menajdi ajang adu nasib. Hari ini bisa hidup atau besok mati, bagi mereka sama saja.
Kini kehidupan mereka telah lenyap, terbawa gerusan roda dunia yang berputar keras, tanpa rasa, tanpa nyana, tinggal sisa-sisa jasad yang terbujur kaku. Sementara di sisinya, terdengar isak tangis nan sendu. Di kanan kirinya, yang tampak hanya wajah-wajah sendu. Entah siapa lagi yang akan membangunkannya di waktu pagi, saat ayam mulai berkokok. Siapa lagi yang akan mengisi dapur, yang setiap pagi harus mengepul, sebelum anak-anak berangkat sekolah.
Beruntung mereka yang telah membasuh air wudu, sebelum akhir waktu. Karena memang kehidupan tak pernah peduli waktu, kapan saja dan di mana saja. Tidak hanya dilapak-lapak yang berdebu, di jalanan berbatu pun sudah banyak yang terantuk. Terantuk kehidupannya, tuk menjalani dunia yang berbeda. Bahkan di sudut yang sempit pun, kadang banyak yang tak sempat menghirup jalanan waktu. Namun ada juga yang meski sudah uzur, tak kunjung waktu itu menjemputnya.
Tragedi bada subuh, telah menyentuh kehidupan mereka yang tak lagi utuh. Tak ada yang menyuruh, apalagi menyentuh untuk menutup jalur kehidupan subuh itu. Yang ada hanya waktu telah berhenti, karena tak ada lagi subuh-subuh di hari berikutnya. Waktu subuh mereka, telah berlabuh di hadapan yang Maha Ampuh. Tak ada lagi waktu subuh untuk berwudu, tak ada lagi subuh untuk bergegas meraih asap agar tetap mengepul di dapur. Tak ada lagi yang minta karcis, apalagi setoran. Yang ada, hanya minta pertanggungjawaban di alam sana.
Mereka telah pergi, ketika subuh belum berlabuh. Mereka telah menyingkir, sebelum hari menjadi gaduh. Mereka harus pergi, ketika kendang akhir kehidupan ditabuh. Itulah, tragedi bada subuh. (*)
Komentar
Posting Komentar