Menjalankan Amanat Rakyat
Oleh: M Riza Pahlevi
Salah satu agenda penting pemerintah dalam menyusun anggaran adalah menggelar Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang digelar muali dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga tingkat nasional. Kegiatan itu untuk menyaring apa yang dibutuhkan masyarakat terkait dengan pembangunan yang dijalankan pemerintah.
Pemerintah desa, dalam melakukan musrenbang juga harus pandai dalam menyaring apa yang dibutuhkan masyarakatnya, sehingga bisa diterima di tingkat kecamatan. Begitu juga seterusnya, baik dari tingkat kecamatan ke kabupaten dan dari kabupaten ke provinsi serta ke tingkat nasional. Dari penyaringan itu, pasti akan didapat sejumlah program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya, sering kali apa yang dibutuhkan masyarakat ternyata tidak tercover dalam anggaran belanja daerah. Ada banyak alasan kenapa tidak masuk dalam APBD, mulai dari terbatasnya anggaran, hingga bukan menjadi program priortas pembangunan. Sehingga masyarakat diminta untuk bersabar menunggu tahun depan atau tahun depannya lagi. Hingga akhirnya rakyat pun bosan dan bosan, dan akhirnya melakukan aksi demonstrasi.
Sebenarnya, proses musrenbang yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat, menajring aspirasi dari masyarakat pada tingkat paling bawah, di tingkat desa. Namun kemudian, ternyata banyak program yang tidak menjadi prioritas malah masuk dalam APBD. Bahkan dalam pelaksanaannya, banyak program yang masuk APBD itu justru ternyata mangkrak, tak dimanfaatkan atau mandek di tengah jalan.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada yang salah dalam proses musrenbang itu? Atau terjadi kesalahan perencanaan? Yang jelas, pemerintah harus bertanggung jawab. Bertanggung jawab untuk menjalankan amanat rakyat. Kalau tak mau bertanggung jawab, maka jangan duduk di pemerintahan. Tentu di sini bukan hanya pihak legislatif saja, tapi juga dari legislatif, sebagai bagian dari pemerintahan.
Anggota legislatif atau wakil rakyat yang telah dipilih mellaui pemilu, sudah seharusnya menjalankan tugas-tugasnya secara maksimal. Selain mengikuti jalannya musrenbang dari awal, juga ahrus mampu mengawal apa yang menjadi aspirasi rakyat, bukan hanya sekedar konstituennya saja. Kalau yang terjadi semacam ini, tidak menutup kemungkinan wakil rakyat itu akan ditinggalkan rakyatnya, termasuk konstituennya.
Yang harus diingat para wakil rakyat itu adalah, bahwa memikirkan rakyat tidak hanya dilakukan setahun sekali, yakni pada saat musrenbang dan penyusunan RAPBD saja, tapi sudah seharusnya setiap hari. Mengurus rakyat bukan berarti bertemu rakyat setiap hari dan menampung aspirasi masyarakat. Tetapi juga berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) anggota DPRD. Tupoksi anggota DPRD secara umum adalah pengawasan atau controlling, penyusunan anggaran atau budgeting, dan pembuat undang-undang atau legislasi.
Kalau saja semua anggota DPRD menjalankan tupoksinya secara konsekuen, maka secara otomatis mereka telah mengurusi rakyat setiap hari. Namun sering kali, tupoksi yang tiga itu hanya berjalan sepotong dan tidak maksimal. Seperti fungsi pengawasan, dimana setiap tahun terjadi pembangunan proyek fisik, namun ternyata masih saja ada hasil pembangunan proyek itu yang tidak sesuai bestek. Bahkan ada satu proyek, yang tidak bisa digunakan, karena sangat jauh menyimpang dari bestek yang ditentukan pengguna anggaran. Banyak lagi contoh lainnya, yang sebenarnya menunjukkan kinerja anggota DPRD yang disebut pro rakyat.
Kenapa disebut pro rakyat, karena pembangunan proyek itu dibiayai dari uang rakyat melalui pajak yang dibayarkan setiap tahun. Kalau wakil rakyat itu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan, bukankah itu sudah termasuk mengurusi rakyat atau pro rakyat?
Begitu juga dengan fungsi budgeting atau penyusunan anggaran yang dibuat setiap tahun. APBD Kabupaten Brebes yang saat ini telah melebihi angka Rp 1 triliun, sudah seharusnya dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat. Dan tentu saja, itu adalah bagian dari menjalankan amanat rakyat. (*)
Salah satu agenda penting pemerintah dalam menyusun anggaran adalah menggelar Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang digelar muali dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga tingkat nasional. Kegiatan itu untuk menyaring apa yang dibutuhkan masyarakat terkait dengan pembangunan yang dijalankan pemerintah.
Pemerintah desa, dalam melakukan musrenbang juga harus pandai dalam menyaring apa yang dibutuhkan masyarakatnya, sehingga bisa diterima di tingkat kecamatan. Begitu juga seterusnya, baik dari tingkat kecamatan ke kabupaten dan dari kabupaten ke provinsi serta ke tingkat nasional. Dari penyaringan itu, pasti akan didapat sejumlah program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya, sering kali apa yang dibutuhkan masyarakat ternyata tidak tercover dalam anggaran belanja daerah. Ada banyak alasan kenapa tidak masuk dalam APBD, mulai dari terbatasnya anggaran, hingga bukan menjadi program priortas pembangunan. Sehingga masyarakat diminta untuk bersabar menunggu tahun depan atau tahun depannya lagi. Hingga akhirnya rakyat pun bosan dan bosan, dan akhirnya melakukan aksi demonstrasi.
Sebenarnya, proses musrenbang yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat, menajring aspirasi dari masyarakat pada tingkat paling bawah, di tingkat desa. Namun kemudian, ternyata banyak program yang tidak menjadi prioritas malah masuk dalam APBD. Bahkan dalam pelaksanaannya, banyak program yang masuk APBD itu justru ternyata mangkrak, tak dimanfaatkan atau mandek di tengah jalan.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada yang salah dalam proses musrenbang itu? Atau terjadi kesalahan perencanaan? Yang jelas, pemerintah harus bertanggung jawab. Bertanggung jawab untuk menjalankan amanat rakyat. Kalau tak mau bertanggung jawab, maka jangan duduk di pemerintahan. Tentu di sini bukan hanya pihak legislatif saja, tapi juga dari legislatif, sebagai bagian dari pemerintahan.
Anggota legislatif atau wakil rakyat yang telah dipilih mellaui pemilu, sudah seharusnya menjalankan tugas-tugasnya secara maksimal. Selain mengikuti jalannya musrenbang dari awal, juga ahrus mampu mengawal apa yang menjadi aspirasi rakyat, bukan hanya sekedar konstituennya saja. Kalau yang terjadi semacam ini, tidak menutup kemungkinan wakil rakyat itu akan ditinggalkan rakyatnya, termasuk konstituennya.
Yang harus diingat para wakil rakyat itu adalah, bahwa memikirkan rakyat tidak hanya dilakukan setahun sekali, yakni pada saat musrenbang dan penyusunan RAPBD saja, tapi sudah seharusnya setiap hari. Mengurus rakyat bukan berarti bertemu rakyat setiap hari dan menampung aspirasi masyarakat. Tetapi juga berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) anggota DPRD. Tupoksi anggota DPRD secara umum adalah pengawasan atau controlling, penyusunan anggaran atau budgeting, dan pembuat undang-undang atau legislasi.
Kalau saja semua anggota DPRD menjalankan tupoksinya secara konsekuen, maka secara otomatis mereka telah mengurusi rakyat setiap hari. Namun sering kali, tupoksi yang tiga itu hanya berjalan sepotong dan tidak maksimal. Seperti fungsi pengawasan, dimana setiap tahun terjadi pembangunan proyek fisik, namun ternyata masih saja ada hasil pembangunan proyek itu yang tidak sesuai bestek. Bahkan ada satu proyek, yang tidak bisa digunakan, karena sangat jauh menyimpang dari bestek yang ditentukan pengguna anggaran. Banyak lagi contoh lainnya, yang sebenarnya menunjukkan kinerja anggota DPRD yang disebut pro rakyat.
Kenapa disebut pro rakyat, karena pembangunan proyek itu dibiayai dari uang rakyat melalui pajak yang dibayarkan setiap tahun. Kalau wakil rakyat itu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan, bukankah itu sudah termasuk mengurusi rakyat atau pro rakyat?
Begitu juga dengan fungsi budgeting atau penyusunan anggaran yang dibuat setiap tahun. APBD Kabupaten Brebes yang saat ini telah melebihi angka Rp 1 triliun, sudah seharusnya dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat. Dan tentu saja, itu adalah bagian dari menjalankan amanat rakyat. (*)
Komentar
Posting Komentar