Korupsi, Tetap Dipertahankan?

Oleh: M Riza Pahlevi

Pemberantasan korupsi di Indonesia nampaknya masih setengah hati. Hingga saat ini, pelaku korupsi di Indonesia tidak ada yang sampai dihukum mati oleh Pengadilan Tipikor. Justru sejumlah koruptor, dengan alasan kemanusiaan malah mendapatkan grasi dari presiden. Ini berbeda dengan di China, yang telah menghukum mati ratusan koruptor yang terbukti bersalah.
Entah setengah hati atau memang tidak serius untuk membongkar kasus-kasus korupsi di Indonesia ini. Selain hukuman yang tidak maksimal, kasus-kasus pengungkapan korupsi ini juga dianggap tebang pilih. Ini diindikasikan pada sejumlah kasus, ada yang cepat ditangani dan ada pula yang lambat. Bahkan ada pula yang tidak ditanggapi atau diberhentikan penyelidikannya, dengan alasan tidak cukup bukti.
Indonesian Corruption Watch (ICW) yang getol dalam mengungkap kasus-kasus korupsi pun seringkali mengungkap sejumlah fakta dugaan korupsi. Selain itu, juga terkait dengan keberadaan undang-undang tipikor, yang saat ini tengah dibahas ternyata banyak kelemahan. Sedikitnya menurut ICW, ada sembilan kelemahan itu adalah hilangnya ancaman hukuman mati, hilangnya pasal tentang kerugian negara, hilangnya ancaman hukuman minimal, ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, dan melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum.
Selain itu, ICW menemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi, korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum, serta tidak adanya kewenangan penuntutan KPK yang disebut secara jelas. Kelemahan terakhir, dalam rancangan ini tidak ditemukan aturan seperti Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur soal pidana tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, serta penutupan perusahaan yang terkait dengan korupsi.
Jika mengacu pada hasil temuan ICW ini, maka mungkinkah kasus-kasus korupsi di Indonesia bisa terbongkar semua? Atau justru praktek-praktek korupsi akan tetap bertahan bahkan menjamur, karena dengan korupsi Rp 25 juta akan bebas dari tuntutan. Dengan adanya batas jumlah korupsi tersebut, tidak lepas kemungkinan akan menyebarkan menjadi virus korupsi ke seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat mungkin akan berlomba-lomba untuk korupsi, dengan jumlah maksimal Rp 25 juta, karena tidak akan mendapat tuntutan hukum.
Lihat saja, sekrang ini banyak proyek pembangunan yang bernilai di bawah Rp 100 juta, yang prosesnya cukup dengan pemilihan langsung (PL). Bisa saja dibayangkan, dengan proyek senilai Rp 100 juta, kemudian dikorupsi Rp 25 juta, bagaimana hasil pembangunannya nanti. Itu kalau yang korupsi hanya satu orang, coba kalu dua orang yang koruspi dalam proyek tersebut, sudah separuh nilai proyek yang hilang. Atau semuanya dikorupsi minimal oleh 4 orang, maka tidak akan ada penuntutan sama sekali, meskipun proyeknya gagal total.
Sungguh ironi memang, di tengah uapaya reformasi yang berjalan sejak 1998, ternyata upaya untuk menjalankan reformasi, khususnya di bidang hukum justru semakin melemah. Memang, kebijakan ini tidak lepas dari kebijakan politik, yang dilakukan para politisi yang menduduki jabatan pemerintahan. Lantas, kapan Indonesia bisa lepas dari korupsi, jika undang-undangnya saja menoleransi terjadinya korupsi.
Kini, saatnya aktivis anti korupsi turun dan bergerak, agar rencana undang-undang ini mempunyai ketegasan dalam memberantas korupsi. Korupsi adalah virus yang mematikan negara, sehingga harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, bukan hanya di kulit saja. Hingga para koruptor pun merasa jera, bukan mendapat angin segar. KPK yang menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi, hendaknya diberi kewenangan yang lebih untuk memberantas korupsi. (*)

Komentar

Postingan Populer