Menghancurkan Libya Atau Muammar Khadafi
OleH: M Riza Pahlevi
Dalam beberapa terakhir, berita-berita di televisi memberitakan penyerangan pasukan koalisi, yang terdiri dari sejumlah negara yang tegrbaung dalam Nato menyerang Libya. Serangan tersebut berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 tentang zona larangan terbang Libya. Entah berapa korban yang timbul akibat serangan udara tersebut. Tetapi yang jelas, serangan udara tersebut menimbulkan korban jiwa, bahkan dikabarkan salah seorang anak Presiden Libya Muammar Khadafi tewas dalam serangan tersebut.
Dunia pun berpolemik, ada yang setuju atas serangan itu dan ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju menganggpa bahwa serangan itu akan menghancurkan Libya, bahkan ada yang menganggap serangan itu seperti serangan pasukan koalisi terhadap Irak. Namun bagi mereka yang setuju, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, beralasan bahwa penyerangan itu hanya sekedar untuk melindungi rakyat Libya yang menjadi korban kebutralan rezim Khadafi yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun.
Adanya serangan pasukan koalisi sejumlah negara, seperti AS, Francis, Inggris, Italia dan lainnya, atas pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut, Libya akan tetap hancur. Betapa tidak, razim Khadafi yang otoriter, melawan gerakan rakyat yang menentangnya dengan kekuatan militer penuh, bahkan dengan menggunakan pesawat tempur. Diberitakan, akibat serangan tentara Khadafi, ribuan rakyat Libya tewas. Itulah yang melatarbelakangi resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun ada juga yang menganggap bahwa resolusi itu hanya sebatas alasan saja untuk menguasai Libya, yang juga kaya minyak. Seperti halnya Irak yang dituduh memiliki senjata pemsunah massal, Irak juga kaya minyak yang menajdi pemasok dunia.
Lantas apa akibat selanjutnya dari zona larangan terbang bagi Libya, yang saat ini kondisinya semakin tidak menentu? Bagi para penentang Khadafi, serangan pasukan koalisi ini bisa menjadi angin segar. Karena mereka merasa mendapat dukungan dunia internasional dan mendapat perlindungan dari penghancuran oleh tentara-tentara yang masih loyal kepada Khadafi. Sementara bagi Khadafi, serangan itu mungkin menjadi bukti bahwa mereka, pasukan koalisi ingin menghancurkan Libya, negara yang berdaulat.
Masyarakat internasional belum tahu bagaimana nasib Libya pasca serangan koalisi ini, termasuk warga Libya sendiri tidak tahu nasibnya di masa yang akan datang. Apakah akan segera muncul kedamaian atau justru terjebak dalam peperangan yang berkepanjangan. Berbeda dengan di Mesir dan Tunisia, yang suasana cukup kondusif usai terjadinya aksi massa menentang rezim yang tiran dan otoriter, Libya justru sebaliknya, terjadi peperangan seperti yang banyak diprediksi sebelumnya.
Khadafi yang meraih kekuasaan dengan kudeta, tidak pernah memberikan rakyatnya kehidupan berdemokrasi. Warganya yang menentang rezim Khadafi, dianggap sebagai pemberontak negara. Sehingga langkah yang dilakukan Khadafi adalah langkah militer, yakni dengan menghancurkan warganya yang dianggap pemberontak. Belum lagi sejumlah pasukannya yang membangkang dan mendukung gerakan rakyatnya yang menuntut Khadafi turun dari kekuasaannya.
Khadafi sepertinya tidak sadar atau memang menganggap dirinya sebagai penguasa abadi di Libya. Sehingga siapa pun yang menentangnya, dianggap sebagai musuh negara, yang wajib diperangi. Padahal rakyatnya, yang hidup selama ini mungkin tidak pernah merasakan kesejahteraan selama rezim Khadafi berkuasa. Di mana rakyat harus tunduk dan patuh terhadap penguasa, tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkan rakyatnya. Khadafi seperti tidak sadar, bahwa rakyat juga butuh perubahan, butuh kesejahteraan.
Kini, senjata telah dikokang. Libya pun kini dalam wilayah perang, perang yang menghacurkan seluruh rakyat Libya. Baik yang pro Khadafi maupun penentangnya, terlibat dalam perang berdarah. Pertumpahan darah antar sesama bangsa Libya pun sudah terjadi, bukan hanya dari pasukan koalisi yang memegang resolusi Dewan Keamanan PBB. Entah sampai kapan berakhir, atau menunggu keduanya hancur, Libya atau Muammar Khadafi lebih yang lebih dulu. (*)
Dalam beberapa terakhir, berita-berita di televisi memberitakan penyerangan pasukan koalisi, yang terdiri dari sejumlah negara yang tegrbaung dalam Nato menyerang Libya. Serangan tersebut berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 tentang zona larangan terbang Libya. Entah berapa korban yang timbul akibat serangan udara tersebut. Tetapi yang jelas, serangan udara tersebut menimbulkan korban jiwa, bahkan dikabarkan salah seorang anak Presiden Libya Muammar Khadafi tewas dalam serangan tersebut.
Dunia pun berpolemik, ada yang setuju atas serangan itu dan ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju menganggpa bahwa serangan itu akan menghancurkan Libya, bahkan ada yang menganggap serangan itu seperti serangan pasukan koalisi terhadap Irak. Namun bagi mereka yang setuju, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, beralasan bahwa penyerangan itu hanya sekedar untuk melindungi rakyat Libya yang menjadi korban kebutralan rezim Khadafi yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun.
Adanya serangan pasukan koalisi sejumlah negara, seperti AS, Francis, Inggris, Italia dan lainnya, atas pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut, Libya akan tetap hancur. Betapa tidak, razim Khadafi yang otoriter, melawan gerakan rakyat yang menentangnya dengan kekuatan militer penuh, bahkan dengan menggunakan pesawat tempur. Diberitakan, akibat serangan tentara Khadafi, ribuan rakyat Libya tewas. Itulah yang melatarbelakangi resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun ada juga yang menganggap bahwa resolusi itu hanya sebatas alasan saja untuk menguasai Libya, yang juga kaya minyak. Seperti halnya Irak yang dituduh memiliki senjata pemsunah massal, Irak juga kaya minyak yang menajdi pemasok dunia.
Lantas apa akibat selanjutnya dari zona larangan terbang bagi Libya, yang saat ini kondisinya semakin tidak menentu? Bagi para penentang Khadafi, serangan pasukan koalisi ini bisa menjadi angin segar. Karena mereka merasa mendapat dukungan dunia internasional dan mendapat perlindungan dari penghancuran oleh tentara-tentara yang masih loyal kepada Khadafi. Sementara bagi Khadafi, serangan itu mungkin menjadi bukti bahwa mereka, pasukan koalisi ingin menghancurkan Libya, negara yang berdaulat.
Masyarakat internasional belum tahu bagaimana nasib Libya pasca serangan koalisi ini, termasuk warga Libya sendiri tidak tahu nasibnya di masa yang akan datang. Apakah akan segera muncul kedamaian atau justru terjebak dalam peperangan yang berkepanjangan. Berbeda dengan di Mesir dan Tunisia, yang suasana cukup kondusif usai terjadinya aksi massa menentang rezim yang tiran dan otoriter, Libya justru sebaliknya, terjadi peperangan seperti yang banyak diprediksi sebelumnya.
Khadafi yang meraih kekuasaan dengan kudeta, tidak pernah memberikan rakyatnya kehidupan berdemokrasi. Warganya yang menentang rezim Khadafi, dianggap sebagai pemberontak negara. Sehingga langkah yang dilakukan Khadafi adalah langkah militer, yakni dengan menghancurkan warganya yang dianggap pemberontak. Belum lagi sejumlah pasukannya yang membangkang dan mendukung gerakan rakyatnya yang menuntut Khadafi turun dari kekuasaannya.
Khadafi sepertinya tidak sadar atau memang menganggap dirinya sebagai penguasa abadi di Libya. Sehingga siapa pun yang menentangnya, dianggap sebagai musuh negara, yang wajib diperangi. Padahal rakyatnya, yang hidup selama ini mungkin tidak pernah merasakan kesejahteraan selama rezim Khadafi berkuasa. Di mana rakyat harus tunduk dan patuh terhadap penguasa, tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkan rakyatnya. Khadafi seperti tidak sadar, bahwa rakyat juga butuh perubahan, butuh kesejahteraan.
Kini, senjata telah dikokang. Libya pun kini dalam wilayah perang, perang yang menghacurkan seluruh rakyat Libya. Baik yang pro Khadafi maupun penentangnya, terlibat dalam perang berdarah. Pertumpahan darah antar sesama bangsa Libya pun sudah terjadi, bukan hanya dari pasukan koalisi yang memegang resolusi Dewan Keamanan PBB. Entah sampai kapan berakhir, atau menunggu keduanya hancur, Libya atau Muammar Khadafi lebih yang lebih dulu. (*)
Komentar
Posting Komentar