Politik Transaksional
Politik transaksional, sering kita mendengar istilah tersebut. Secara gamblang, orang yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Kalau dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai.
Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon bupati, maka Partai B mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.
Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional. Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.
Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.
Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri. (*)
Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon bupati, maka Partai B mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak, partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.
Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional. Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.
Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.
Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri. (*)
sangat membantu makasih!
BalasHapus