Grasi Narkoba

Pengguna, pengedar dan produsen narkotika dan obat-obatan berbahaya, hingga kini belum semuanya diberantas. Upaya polisi dan BNN menumpas peredaran narkoba, tidak pernah kendur. Terbukti, beberapa bandar dan pengedar narkoba, dengan barang bukti yang ada, berhasil dibongkar dan dimasukkan ke penjara. Namun, langkah pemberantasan narkoba ini sedikit ternoda dengan pemberian grasi oleh presiden.
Noda, karena pemberantasan narkoba adalah harga mati. Tidak pandang bulu, artis, pejabat, wakil rakyat, yang terbukti menggunakan narkoba, harus disikat habis. Generasi muda menjadi rusak karena narkoba. Saat ini saja, peredaran narkoba sudah merambah sekolah hingga ke jenjang paling dasar. Kalau hal ini dibiarkan, tentu akan menjadi persoalan serius bagi bangsa ini ke depan. Karena akan menjadi bangsa pecandu.
Presiden memang memiliki hak untuk memberikan grasi, termasuk abolisi, sesuai peraturan perundang-udangan yang ada. Namun grasi presiden untuk pengedar maupun pemakai narkoba, menjadi pertanyaan tersendiri. Sehingga setaip ada pemberian grasi narkoba, selalu menjadi sorotan masyarakat dan media. Di satu sisi pemerintah berusaha untuk memberantas peredaran narkoba, tetapi di sisi lain justru memberikan grasi narkoba.
Ketika ada kebijakan pemberian grasi narkoba, tentu kontraproduktif dengan langkah pemerintah tersebut. Apa artinya pemerintah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga di tingkat daerah, dengan Badan Narkotika Kabupaten (BNK). Bahkan di tingkat desa juga dibentuk Kesatuan Aksi Masyarakat Anti Narkoba (Kama Narkoba) dan di tingkat pelajar ada Kesatuan Aksi Pelajar Anti Narkoba (Kapa Narkoba).
Tentunya presiden melalui timnya, telah mempertimbangkan beberapa faktor terkait pengajuan grasi yang dilakukan warga negara asing tersebut. Karena kebetulan, grasi yang diberikan presiden itu kepada warga negara asing. Sebelumnya, warna negara Australia mendapat grasi dan sekarang giliran warga negara Jerman yang mendapatkannya. Sementara warga negara Indonesia sendiri belum ada satu pun yang mendapat grasi.
Memang, narkoba musuh bersama. Siapa pun yang tertangkap memakai narkoba, harus berurusan dengan hukum. Meski bagi pemakai narkoba ada kesempatan mendapat rehabilitasi, namun bagi mereka sepertinya susah untuk meninggalkannya. Kalau para pemakai anrkoba direhabilitasi, lantas kepada siapa barang-barang haram itu akan diedarkan? Tentu kepada calon-calon pemakai, mulai dari pelajar hingga generasi muda yang masih mencari identitas diri.
Beberapa publik figur pun banyak yang tertangkap memakai narkoba. Bahkan di antara penegak hukum sendiri ada yang menggunakannya. Karenanya tak heran, sering diadakan tes urine bagi aparat penegak hukum sendiri. Meskipun belum maksimal dalam upaya membongkar peredaran narkoba di kalangan mereka sendiri.
Grasi yang diberikan presiden itu, memang mempertimbangkan banyak hal, termasuk masalah kemanusiaan. Namun masalah keadilan dan juga efek jera, pemberian grasi itu semestinya tidak dilakukan. Tidak adil bagi pemakai narkoba yang lain, yang dihukum hingga puluhan tahun. Juga tidak memberi efek jera kepada para pemakai maupun pengedar narkoba. apalagi bagi warga negara asing, pasti akan menganggap remeh hukum di Indonesia. Karena ketika tertangkap dan dihukum, kan bisa mengajukan grasi. Bahwa presiden Indonesis angat toleran terhadap para pelaku narkoba. Sehingga mereka para pemakai maupun pengedar, dengan mudahnya diberi grasi.
Kalau mau memerangi narkoba, jangan tanggung-tanggung seperti di negara tetangga, Malaysia. pengedar narkoba harus dihukum gantung. Selain efek jera, sindikat internasional pun akan hati-hati memasukan barnag haram tersebut ke negara itu. Berbeda jika di Indonesia, hukuman yang rendah dan lemahnya pengawasan, akan menjadi ladang subur peredaran narkoba. Narkoba adalah musuh bersama, maka lawan! (*)

Komentar

Postingan Populer