Menjadi TKI
Oleh: M Riza Pahlevi
Bekerja adalah tuntutan hidup, tuntutan untuk menafkahi keluarga. Makanya, banyak orang yang rela bekerja menjadi apa saja, asal bisa mendapatkan upah. Ada yang menjadi buruh, entah buruh tani, buruh pabrik, hingga buruh serabutan. Ada pula yang menjalani pengabdian, seperti menjadi guru tidka tetap (GTT) maupun guru honorer. Juga ada yang mencoba berwiraswasta maupun bekerja ke luar negeri, menjadi TKI, tenaga kerja Indonesia.
Untuk yang terakhir, menjadi TKI adalah pilihan yang terakhir pula bagi sebagian warga negara Indonesia. Karena saat sekarang ini, betapa susahnya mencari pekerjaan yang layak dan memperoleh upah yang cukup. Menjadi pilihan terakhir, karena harus siap berpisah dengan keluarga. Karena biasanya, para TKI ini pulang mnimal setahun sekali, bahkan ada yang pulang dua tahun atau lebih, sesuai dengan masa kontraknya.
Tidak ada larangan sih menjadi seorang TKI. Karena memang sejumlah negara juga membutuhkan keberadaan TKI, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan rumahan, seperti pembantu rumah tangga. Kalau pun yang formal, hanya pekerja pabrik atau pelayan toko. Namun pekerjaan-pekerjaan itu justru banyak dimintai rakyat Indonesia. Kahususnya kaum perempuan, yang baru saja memperingati Hari Kartini. Namun menjadi TKI di luar negeri, seperti bukan hal yang diimpikan Kartini untuk perempuan Indonesia.
Menajdi TKI atau TKW adalah pilihan terakhir. Betapa tidak, seorang ibu yang harus mengurus anak dan keluarganya, terkadang tidak mau duduk menunggu hasil yang diperoleh sang suami. Hingga sebagian dari mereka pun terpaksa bekerja, entah hanya sekedar buruh cuci, buruh tani, maupun usaha kecil-kecilan di rumah. Semangat itulah yang mungkin dimiliki kaum ibu dan kaum perempuan. Namun usaha-usaha itu, tidak banyak menghasilkan uang. Hingga tawaran untuk bekerja di luar negeri pun daya tarik tersendiri. Apalagi dengan iming-iming yang menggiurkan, yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan.
Bekerja di negeri orang dan jauh dari keluarga, membutuhkan mental yang kuat. Selain ahrus berhadapan dengan budaya yang berbeda pula, juga banyak godaan lain yang sering mnderanya. Namun dibalik itu, juga banyak kendala yang dihadapi para TKI ini. Selain kendala bahasa, juga ketrampilan yang dimiliki juga pas-pasan, bahkan banyak yang kurang. Akibatnya, mereka seperti menjadi budak oleh majikannya. Ketika bekerja tidak benar, perlakuan kasar yang diterimanya.
Hal-hal inilah yang menjadi tantangan bagi perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, termasuk pemerintah. Di mana pemerintah mestinya menertibkan peraturan dan mekanisme yang harus dijalankan oleh perusahaan tersebut. Selain persoalan administari, masalah ketrampilan dan mental harus menjadi prioritas. Jangan sampai para TKI ini dilepas tanpa ketrampilan dan kemampuan bahasa yang di negara yang dituju.
Pemerintah dan PPTKIS mestinya saling bekerja sama, khususnya dalam bidang ketrampilan. Sehingga mereka yang dikirim ke luar negeri ini memiliki ketrampilan yang cukup. Ini untuk mematahan stigma, bahwa Indonesia adalah eksportir babu. Padahal keberadaan mereka, sangat penting. Selain sebagai upaya menekan angka pengangguran, juga menjadi salah satu penarik devisa yang cukup besar. Dan yang paling utama, jelas bagi keluarga mereka. Mereka yang sebagian berasal dari kampung dan desa, secara ekonomi akan terangkat derajatnya.
Namun yang ahrus diperhatikan pula, menjadi TKI ini juga penuh resiko. Ketika mendapat perlakuan kasar maupun terjadi kasus hukum, sering kali tidak terpantau. PPTKIS yang menyalurkan mereka pun kadang tidak peduli. Padahal PPTKIS itu juga mendapat keuntungan dari pengiriman para TKI tersebut. Paling tidak, keberadaan para TKI itu selain mendapat perlindungan hukum, juga harus mendapat asuransi kesehatan. Karena sering kali, ketika para TKI sakit, sang majikan membiarkan begitu saja dan menyuruhnya pulang.
Jadi, menjadi TKI memang pilihan yang berat. Namun juga menjadi pilihan alternatif untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Karenanya, TKI sering mendapat julukan sebagai pahlawan devisa, namun nasibnya selalu tersiksa. (*)
Bekerja adalah tuntutan hidup, tuntutan untuk menafkahi keluarga. Makanya, banyak orang yang rela bekerja menjadi apa saja, asal bisa mendapatkan upah. Ada yang menjadi buruh, entah buruh tani, buruh pabrik, hingga buruh serabutan. Ada pula yang menjalani pengabdian, seperti menjadi guru tidka tetap (GTT) maupun guru honorer. Juga ada yang mencoba berwiraswasta maupun bekerja ke luar negeri, menjadi TKI, tenaga kerja Indonesia.
Untuk yang terakhir, menjadi TKI adalah pilihan yang terakhir pula bagi sebagian warga negara Indonesia. Karena saat sekarang ini, betapa susahnya mencari pekerjaan yang layak dan memperoleh upah yang cukup. Menjadi pilihan terakhir, karena harus siap berpisah dengan keluarga. Karena biasanya, para TKI ini pulang mnimal setahun sekali, bahkan ada yang pulang dua tahun atau lebih, sesuai dengan masa kontraknya.
Tidak ada larangan sih menjadi seorang TKI. Karena memang sejumlah negara juga membutuhkan keberadaan TKI, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan rumahan, seperti pembantu rumah tangga. Kalau pun yang formal, hanya pekerja pabrik atau pelayan toko. Namun pekerjaan-pekerjaan itu justru banyak dimintai rakyat Indonesia. Kahususnya kaum perempuan, yang baru saja memperingati Hari Kartini. Namun menjadi TKI di luar negeri, seperti bukan hal yang diimpikan Kartini untuk perempuan Indonesia.
Menajdi TKI atau TKW adalah pilihan terakhir. Betapa tidak, seorang ibu yang harus mengurus anak dan keluarganya, terkadang tidak mau duduk menunggu hasil yang diperoleh sang suami. Hingga sebagian dari mereka pun terpaksa bekerja, entah hanya sekedar buruh cuci, buruh tani, maupun usaha kecil-kecilan di rumah. Semangat itulah yang mungkin dimiliki kaum ibu dan kaum perempuan. Namun usaha-usaha itu, tidak banyak menghasilkan uang. Hingga tawaran untuk bekerja di luar negeri pun daya tarik tersendiri. Apalagi dengan iming-iming yang menggiurkan, yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan.
Bekerja di negeri orang dan jauh dari keluarga, membutuhkan mental yang kuat. Selain ahrus berhadapan dengan budaya yang berbeda pula, juga banyak godaan lain yang sering mnderanya. Namun dibalik itu, juga banyak kendala yang dihadapi para TKI ini. Selain kendala bahasa, juga ketrampilan yang dimiliki juga pas-pasan, bahkan banyak yang kurang. Akibatnya, mereka seperti menjadi budak oleh majikannya. Ketika bekerja tidak benar, perlakuan kasar yang diterimanya.
Hal-hal inilah yang menjadi tantangan bagi perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, termasuk pemerintah. Di mana pemerintah mestinya menertibkan peraturan dan mekanisme yang harus dijalankan oleh perusahaan tersebut. Selain persoalan administari, masalah ketrampilan dan mental harus menjadi prioritas. Jangan sampai para TKI ini dilepas tanpa ketrampilan dan kemampuan bahasa yang di negara yang dituju.
Pemerintah dan PPTKIS mestinya saling bekerja sama, khususnya dalam bidang ketrampilan. Sehingga mereka yang dikirim ke luar negeri ini memiliki ketrampilan yang cukup. Ini untuk mematahan stigma, bahwa Indonesia adalah eksportir babu. Padahal keberadaan mereka, sangat penting. Selain sebagai upaya menekan angka pengangguran, juga menjadi salah satu penarik devisa yang cukup besar. Dan yang paling utama, jelas bagi keluarga mereka. Mereka yang sebagian berasal dari kampung dan desa, secara ekonomi akan terangkat derajatnya.
Namun yang ahrus diperhatikan pula, menjadi TKI ini juga penuh resiko. Ketika mendapat perlakuan kasar maupun terjadi kasus hukum, sering kali tidak terpantau. PPTKIS yang menyalurkan mereka pun kadang tidak peduli. Padahal PPTKIS itu juga mendapat keuntungan dari pengiriman para TKI tersebut. Paling tidak, keberadaan para TKI itu selain mendapat perlindungan hukum, juga harus mendapat asuransi kesehatan. Karena sering kali, ketika para TKI sakit, sang majikan membiarkan begitu saja dan menyuruhnya pulang.
Jadi, menjadi TKI memang pilihan yang berat. Namun juga menjadi pilihan alternatif untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Karenanya, TKI sering mendapat julukan sebagai pahlawan devisa, namun nasibnya selalu tersiksa. (*)
Komentar
Posting Komentar