Menjadi Penulis
Oleh: M Riza Pahlevi
Menjadi seorang penulis seperti jarang dicita-citakan oleh anak-anak. Berbeda dengan dokter, insinyur, guru dan lainnya yang sering menjadi cita-cita anak-anak saat masih sekolah. Menjadi penulis, Sepertinya tak sepopuler seperti orang-orang yang ditulisnya. Menjadi penulis, sepertinya juga tak menghasilkan kekayaan yang cukup untuk tujuh keturunan. Menjadi penulis, apa yang mau ditulis.
Namun menjadi penulis adalah sebuah kebanggaan. Kebanggaan untuk mencatatkan diri dalam sejarah. Tanpa sosok penulis, sejarah tak akan tercipta, ilmu pengetahuan juga tak akan ada. Informasi dan keberhasilan juga tak akan terbuka. Tanpa penulis, dunia mungkin tak akan semaju seperti sekarang ini. Dunia seakan selebar daun kelor, itu karena ada sang penulis. Bisa melalanglang buana ke seluruh penjuru dunia tanpa berkeliling dunia secara langsung, itu juga karena tulisan.
Penulis atau pengarang, seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebutan bagi orang-orang yang mengarang atau menciptakan suatu karya tulis. Karya tulis bisa dalam bentuk karya tulis ilmiah, makalah, buku, artikel, opini, sastra (termasuk prosa dan puisi). Media penulisan bisa beraneka seperti buku, majalah, koran, internet (web, blog). Orang yang pekerjaan utamanya menulis maka dia biasanya disebut dengan penulis atau pengarang. Sedang penulis sebagai kegiatan sampingan atau sub dari pekerjaan utama maka boleh saja dia menyebut dirinya penulis juga.
Sedikit memang, sosok penulis yang berhasil. Namun tidak menapikan mereka yang belajar menulis, meski baru sebatas memenuhi tong sampah di samping meja tulisnya. Susah memang, untuk menemukan sosok penulis yang berhasil.
Namun bukan berarti menjadi penulis itu susah. Menulis di sini bukan hanya sekedar merangka kata menjadi kalimat dan merangkai kalimat menjadi parapgraf. Tetapi lebih dari itu, yakni mampu merumuskan konsep, ide, rumusan dan khayalan dalam bentuk kalimat yang enak dibaca dan mudah dipahami. Lantas disusun dalam sebuh catatan atau buku. Jika zaman dulu orang menulsikannya di daun lontar, atau di atas sebuah batu yang disebut prasasti, maka kini lebih canggih lagi. Bukan hanya sekedar selembar kertas atau buku, tapi di sebuah laptop atau komputer, bahkan handphone.
Lantas, apa syarat menjadi penulis? Sepertinya hanya satu, yakni membaca. Berawal dari banyak membaca, jadilah terbiasa untuk mengungkapkan atau menyampaikan informasi yang baru saja dibacanya. Selanjutnya mampu diwujudkan dalam bentuk tulisan. Jadi, kalau perintah Tuhan dilaksanakan dengan telaten, yakni dalam surat pertama yang diturunkan kepada Nabi, Iqro, maka semestinya semua umat Islam menjadi penulis. Namun kenyataannya, hanya sebgian kecil yang jadi penulis. Selain karena memang tak hobi membaca, juga akrena tak menjadi profesi yang menarik minat anak-anak.
Drs Atmo Tan Sidik seorang budayawan Pantura, dalam sebuah acara pernah menantang peserta bedah buku, siapa yang dapat menyebutkan sembilan penulis buku dari Kabupaten Brebes akan mendapat hadiah Rp 1 juta. Nyatanya, dari sekian banyak peserta itu tak ada yang bisa menjawabnya. Akhirnya uang Rp 1 juta itu pun tak jadi dikeluarkan. Tak bisa menjawab, karena tak tahu siapa saja warga Brebes yang menjadi penulis atau karena memang tak warga Brebes yang menjadi penulis yang jumlahnya hingga sembilan orang. Mungkin hanya Drs Atmo Tan Sidik saja yang bisa menjawabnya.
Kini, menjadi penulis cukup mudah. Selain bisa dipelajari melalui sebuah kelas atau pelajaran, juga beragam cara untuk mempelajarinya. Apalagi dengan kecanggihan dunia, yang semakin maju dengan hadirnya teknologi internet. Orang semakin mudah untuk mendapatkan bahan tulisan. Asal jangan menjiplak atau plagiat saja, kalau pun mau mengutip, harus tetap merujuk sumbernya.
Lantas, apakah seorang yang hidup di daerah tidak bisa mewujudkan eksistensi dengan menjadi penulis? Sepertinya pertanyaan ini tidak perlu dijawab. Karena memang banyak contoh, penulis-penulis lokal yang berhasil go international karena tulisannya tersebut. Sebut saja, Ahmad Tohari, yang berasal dari Banyumas, berhasil go international berkat tulisan-tulisannya. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Dan uang pun dengan sendirinya menghampiri, sebagai royalti atas tulisannya.
Dari tulisan, juga bisa menjadi seseorang itu terkenal. Meskipun dia hanya duduk di belakang meja komputernya. Dari tulisan, juga bisa berkaya untuk masyarakat. Sebut saja, ulama asal Jatibarang Brebes, KH Soleh Basalamah, yang telah berhasil menerbitkan sejumlah buku, yang terkait dengan kegiatan utamanya berdakwah. Dari tulisan, juga bisa berdakwah.
Kemudian, lihat ada Prof Dr H Bunasor Sanim, seorang guru besar IPB, juga tak lepas dari keberhasilannya menulis di bidang akademis. Bahkan, kini profesor asal Brebes itu telah merilis buku terbarunya, biografi atas dirinya selama ini.
Penulis-penulis dari Brebes, juga daerah-daerah sekitanrya seperti Tegal, Slawi dan Pemalang, mungkin banyak. Hanya saja karyanya mungkin masih terbatas dan belum menyebar. Atau hanya karena kita saja yang masih malas untuk membaca, sehingga sulit untuk mendapatkan karya-karya tulis dari daerah sendiri.
Agar mempermudah masyarakat untuk mendapatkan tulisan atau karya penulis-penulis daerah, sudah selayaknya kita, atau di sekitar kita yang mempunyai kemampuan untuk menulis, sudah selayaknya ditampilkan. Tidak perlu takut tidak baik, tapi ada semangat untuk tampil. meskipun tidak baik, paling tidak berani tampil untuk menjadi penulis. Meski tak mendapat bayaran, paling tidak menjadi langkah awal untuk menjadi terkenal dan akhirnya dunia pun menghampiri, dengan membawa rizki dari-Nya. (*)
Menjadi seorang penulis seperti jarang dicita-citakan oleh anak-anak. Berbeda dengan dokter, insinyur, guru dan lainnya yang sering menjadi cita-cita anak-anak saat masih sekolah. Menjadi penulis, Sepertinya tak sepopuler seperti orang-orang yang ditulisnya. Menjadi penulis, sepertinya juga tak menghasilkan kekayaan yang cukup untuk tujuh keturunan. Menjadi penulis, apa yang mau ditulis.
Namun menjadi penulis adalah sebuah kebanggaan. Kebanggaan untuk mencatatkan diri dalam sejarah. Tanpa sosok penulis, sejarah tak akan tercipta, ilmu pengetahuan juga tak akan ada. Informasi dan keberhasilan juga tak akan terbuka. Tanpa penulis, dunia mungkin tak akan semaju seperti sekarang ini. Dunia seakan selebar daun kelor, itu karena ada sang penulis. Bisa melalanglang buana ke seluruh penjuru dunia tanpa berkeliling dunia secara langsung, itu juga karena tulisan.
Penulis atau pengarang, seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebutan bagi orang-orang yang mengarang atau menciptakan suatu karya tulis. Karya tulis bisa dalam bentuk karya tulis ilmiah, makalah, buku, artikel, opini, sastra (termasuk prosa dan puisi). Media penulisan bisa beraneka seperti buku, majalah, koran, internet (web, blog). Orang yang pekerjaan utamanya menulis maka dia biasanya disebut dengan penulis atau pengarang. Sedang penulis sebagai kegiatan sampingan atau sub dari pekerjaan utama maka boleh saja dia menyebut dirinya penulis juga.
Sedikit memang, sosok penulis yang berhasil. Namun tidak menapikan mereka yang belajar menulis, meski baru sebatas memenuhi tong sampah di samping meja tulisnya. Susah memang, untuk menemukan sosok penulis yang berhasil.
Namun bukan berarti menjadi penulis itu susah. Menulis di sini bukan hanya sekedar merangka kata menjadi kalimat dan merangkai kalimat menjadi parapgraf. Tetapi lebih dari itu, yakni mampu merumuskan konsep, ide, rumusan dan khayalan dalam bentuk kalimat yang enak dibaca dan mudah dipahami. Lantas disusun dalam sebuh catatan atau buku. Jika zaman dulu orang menulsikannya di daun lontar, atau di atas sebuah batu yang disebut prasasti, maka kini lebih canggih lagi. Bukan hanya sekedar selembar kertas atau buku, tapi di sebuah laptop atau komputer, bahkan handphone.
Lantas, apa syarat menjadi penulis? Sepertinya hanya satu, yakni membaca. Berawal dari banyak membaca, jadilah terbiasa untuk mengungkapkan atau menyampaikan informasi yang baru saja dibacanya. Selanjutnya mampu diwujudkan dalam bentuk tulisan. Jadi, kalau perintah Tuhan dilaksanakan dengan telaten, yakni dalam surat pertama yang diturunkan kepada Nabi, Iqro, maka semestinya semua umat Islam menjadi penulis. Namun kenyataannya, hanya sebgian kecil yang jadi penulis. Selain karena memang tak hobi membaca, juga akrena tak menjadi profesi yang menarik minat anak-anak.
Drs Atmo Tan Sidik seorang budayawan Pantura, dalam sebuah acara pernah menantang peserta bedah buku, siapa yang dapat menyebutkan sembilan penulis buku dari Kabupaten Brebes akan mendapat hadiah Rp 1 juta. Nyatanya, dari sekian banyak peserta itu tak ada yang bisa menjawabnya. Akhirnya uang Rp 1 juta itu pun tak jadi dikeluarkan. Tak bisa menjawab, karena tak tahu siapa saja warga Brebes yang menjadi penulis atau karena memang tak warga Brebes yang menjadi penulis yang jumlahnya hingga sembilan orang. Mungkin hanya Drs Atmo Tan Sidik saja yang bisa menjawabnya.
Kini, menjadi penulis cukup mudah. Selain bisa dipelajari melalui sebuah kelas atau pelajaran, juga beragam cara untuk mempelajarinya. Apalagi dengan kecanggihan dunia, yang semakin maju dengan hadirnya teknologi internet. Orang semakin mudah untuk mendapatkan bahan tulisan. Asal jangan menjiplak atau plagiat saja, kalau pun mau mengutip, harus tetap merujuk sumbernya.
Lantas, apakah seorang yang hidup di daerah tidak bisa mewujudkan eksistensi dengan menjadi penulis? Sepertinya pertanyaan ini tidak perlu dijawab. Karena memang banyak contoh, penulis-penulis lokal yang berhasil go international karena tulisannya tersebut. Sebut saja, Ahmad Tohari, yang berasal dari Banyumas, berhasil go international berkat tulisan-tulisannya. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Dan uang pun dengan sendirinya menghampiri, sebagai royalti atas tulisannya.
Dari tulisan, juga bisa menjadi seseorang itu terkenal. Meskipun dia hanya duduk di belakang meja komputernya. Dari tulisan, juga bisa berkaya untuk masyarakat. Sebut saja, ulama asal Jatibarang Brebes, KH Soleh Basalamah, yang telah berhasil menerbitkan sejumlah buku, yang terkait dengan kegiatan utamanya berdakwah. Dari tulisan, juga bisa berdakwah.
Kemudian, lihat ada Prof Dr H Bunasor Sanim, seorang guru besar IPB, juga tak lepas dari keberhasilannya menulis di bidang akademis. Bahkan, kini profesor asal Brebes itu telah merilis buku terbarunya, biografi atas dirinya selama ini.
Penulis-penulis dari Brebes, juga daerah-daerah sekitanrya seperti Tegal, Slawi dan Pemalang, mungkin banyak. Hanya saja karyanya mungkin masih terbatas dan belum menyebar. Atau hanya karena kita saja yang masih malas untuk membaca, sehingga sulit untuk mendapatkan karya-karya tulis dari daerah sendiri.
Agar mempermudah masyarakat untuk mendapatkan tulisan atau karya penulis-penulis daerah, sudah selayaknya kita, atau di sekitar kita yang mempunyai kemampuan untuk menulis, sudah selayaknya ditampilkan. Tidak perlu takut tidak baik, tapi ada semangat untuk tampil. meskipun tidak baik, paling tidak berani tampil untuk menjadi penulis. Meski tak mendapat bayaran, paling tidak menjadi langkah awal untuk menjadi terkenal dan akhirnya dunia pun menghampiri, dengan membawa rizki dari-Nya. (*)
Komentar
Posting Komentar