Mengenal dan Mencintai
Kabupaten Brebes pada 18 Januari 2011 genap berusia 333. Sebuah angka yang cukup unik, dan juga untuk usia yang cukup tua. Di hari jadinya tersebut, Pemerintah Kabupaten mengambil tema Kenali dan Cintai Brebes.
Mengenal dan mencintai, begitu kata kuci dalam peringatan Hari Jadi Kabupaten Brebes itu. Mengenal, berarti tahu dan memahami seluk beluknya akan keberadaan Brebes. Mulai dari daerahnya, karakter masyarakat serta adat dan istiadat masyarakatnya. Mencintai, berarti mampu berbuat terbaik bagi yang dicintainya tersebut.
Kata-kata mengenal dan mencintai ini memang tidak bisa dilepaskan satu sam lain. Seperti ungkapan, tak kenal maka tak sayang, kiranya sangat tepat dengan tema yang diambil Pemkab Brebes ini. Tanpa mengenal, bagaimana mungkin akan mencintai. Begitu sebaliknya, tak mungkin bisa mencintai tanpa mengenal lebih dulu.
Lantas, sudahkah masyarakat Brebes mengenal dan mencintai daerahnya? Bagaimana dengan para pemimpinnya, termasuk para pejabat dan anggota dewan? Sudahkah mengenal Brebes lebih dekat dan memahami apa dan siapa Brebes itu? Sudah mampu memberikan cinta, cinta suci laiknya seorang kekasih?
Bagi sebagian warga Brebes yang tinggal di perantauan, mungkin masih ada yang malu untuk mengatakan bahwa saya warga Brebes, enyong wong Brebes. Mereka lebih cenderung untuk mengatakan sebagai orang Tegal, namun ternyata setelah ditelusuri lebih detail, ternyata warga Brebes. Ternyata betapa sulit untuk mengakui Brebes sebagai daerah asal, bagaimana mau mengenal dan mencintai, untuk mengakui saja sulit.
Kenapa ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi alasan warga Brebes sulit untuk mengaku sebagai wong Brebes di perantauan. Beberapa di antaranya adalah malu mengaku sebagai wong Brebes. Malu karena Brebes tak pernah memiliki keunggulan, selain telur asin dan bawang merah. Malu karena Brebes masih menjadi daerah yang tertinggal, malu banyak warganya yang miskin dan makan nasi aking. Malu karena IPM-nya paling rendah di Jawa Tengah. Malu karena masih ada korupsi. Malu karena tak punya malu.
Malu untuk mengakui sebagai Brebes lantaran tak punya prestasi membanggakan di tingkat nasional. Malu mengaku memiliki bahasa yang khas dan berbeda dari bahasa Jawa. Malu mengakui bahwa Brebes adalah Brebes, bukan Tegal. Kenapa harus malu?
Paling tidak, dengan rasa malu itu, ada harapan untuk berubah. Berubah untuk lebih baik, agar bisa sejajar dengan daerah-daerah lain yang telah maju. Memiliki prestasi pembangunan yang bisa dibanggakan, mampu mengentaskan kemiskinan dan ketertinggalan.
Malu untuk korupsi dan berani untuk memberantasnya. Berani untuk menunjukkan bahwa nyong wong Brebes, dengan segala perbedaannya. Berani untuk maju dan berubah. Berani untuk tidak korupsi, berani untuk kaya dan maju. Berani menjadi Brebes.
Dari situ, maka warga Brebes di mana pun berada, pasti akan mampu mengenalinya dan mencintainya, tanpa paksaan. Kini, setelah hari Jadi lewat, masihkan mau mengenal dan mencintai Brebes apa adanya, wahai wong Brebes! (*)
Mengenal dan mencintai, begitu kata kuci dalam peringatan Hari Jadi Kabupaten Brebes itu. Mengenal, berarti tahu dan memahami seluk beluknya akan keberadaan Brebes. Mulai dari daerahnya, karakter masyarakat serta adat dan istiadat masyarakatnya. Mencintai, berarti mampu berbuat terbaik bagi yang dicintainya tersebut.
Kata-kata mengenal dan mencintai ini memang tidak bisa dilepaskan satu sam lain. Seperti ungkapan, tak kenal maka tak sayang, kiranya sangat tepat dengan tema yang diambil Pemkab Brebes ini. Tanpa mengenal, bagaimana mungkin akan mencintai. Begitu sebaliknya, tak mungkin bisa mencintai tanpa mengenal lebih dulu.
Lantas, sudahkah masyarakat Brebes mengenal dan mencintai daerahnya? Bagaimana dengan para pemimpinnya, termasuk para pejabat dan anggota dewan? Sudahkah mengenal Brebes lebih dekat dan memahami apa dan siapa Brebes itu? Sudah mampu memberikan cinta, cinta suci laiknya seorang kekasih?
Bagi sebagian warga Brebes yang tinggal di perantauan, mungkin masih ada yang malu untuk mengatakan bahwa saya warga Brebes, enyong wong Brebes. Mereka lebih cenderung untuk mengatakan sebagai orang Tegal, namun ternyata setelah ditelusuri lebih detail, ternyata warga Brebes. Ternyata betapa sulit untuk mengakui Brebes sebagai daerah asal, bagaimana mau mengenal dan mencintai, untuk mengakui saja sulit.
Kenapa ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi alasan warga Brebes sulit untuk mengaku sebagai wong Brebes di perantauan. Beberapa di antaranya adalah malu mengaku sebagai wong Brebes. Malu karena Brebes tak pernah memiliki keunggulan, selain telur asin dan bawang merah. Malu karena Brebes masih menjadi daerah yang tertinggal, malu banyak warganya yang miskin dan makan nasi aking. Malu karena IPM-nya paling rendah di Jawa Tengah. Malu karena masih ada korupsi. Malu karena tak punya malu.
Malu untuk mengakui sebagai Brebes lantaran tak punya prestasi membanggakan di tingkat nasional. Malu mengaku memiliki bahasa yang khas dan berbeda dari bahasa Jawa. Malu mengakui bahwa Brebes adalah Brebes, bukan Tegal. Kenapa harus malu?
Paling tidak, dengan rasa malu itu, ada harapan untuk berubah. Berubah untuk lebih baik, agar bisa sejajar dengan daerah-daerah lain yang telah maju. Memiliki prestasi pembangunan yang bisa dibanggakan, mampu mengentaskan kemiskinan dan ketertinggalan.
Malu untuk korupsi dan berani untuk memberantasnya. Berani untuk menunjukkan bahwa nyong wong Brebes, dengan segala perbedaannya. Berani untuk maju dan berubah. Berani untuk tidak korupsi, berani untuk kaya dan maju. Berani menjadi Brebes.
Dari situ, maka warga Brebes di mana pun berada, pasti akan mampu mengenalinya dan mencintainya, tanpa paksaan. Kini, setelah hari Jadi lewat, masihkan mau mengenal dan mencintai Brebes apa adanya, wahai wong Brebes! (*)
Komentar
Posting Komentar