ISL Atau IPL, Tak Penting
Nasionalisme yang begitu luar biasa saat Timnas Indonesia mengikuti Piala AFF 2010, rupanya tak melekat di dada para pengurus persepakbolaan di Indonesia. Mereka hanya bicara kepentingan dirinya sendiri, tanpa melihat nasib dan masa depan bangsa ke depan. Sungguh ironi, di saat semangat nasionalisme rakyat muncul, justru elite di atas yang muncul hanya sifat egois.
Lihat saja, pro kontra pertandingan liga Indonesia, antara yang digelar PSSI dengan Indonesia Super Leageu (ISL) dan Indonesian Premier Leagau (IPL) yang dipimpin Arifin Panigoro. Sejumlah pemain pun terancam tidak dapat membela Timnas Indonesia jika tidak bergabung dengan liga yang digelar di bawah PSSI. Seperti yang terjadi pada Irfan Bachdim, yang terikat kontrak dengan Persema Malang, yang lebih memilih bertanding dalam IPL. Begitu juga dengan Kim Jefry Kurniawan.
IPL oleh PSSI dianggap sebagai liga ilegal, akrena tak berada di abwah naungan PSSI. Sehingga klub-klub yang mengikuti liga itu dianggap tidak mematuhi aturan. Begitu juga dengan pemainnya, juga tidak bisa mengikuti seleksi Timnas Indonesia, yang akan bertanding dalam pertandingan-pertandingan internasional. PSSI sendiri tetap pada keputusannya, tidak mengakui keberadaan IPL.
Munculnya dua liga itu, menurut penilaian banyak pihak, terkait dengan banyak kepentingan politik. Karena di dalamnya duduk orang-orang politik, yang memang saling bersaing memperebutkan pengaruh rakyat, khususnya para suporter sepak bola. Seperti diketahui, selama berlangsungnya Piala AFF 2010, antusiasme masyarakat sangat luar biasa. Lakai-laki, perempuan, tua muda, yang gila bola dan tak paham bola pun gandrung dengan semangat membela Timnas Garuda, julukan Timnas Indonesia. Meski Timnas Garuda harus rela duduk sebagai runner up dalam perepbuatan Piala AFF tersebut.
Selain karena peforma Timnas Garuda yang sedang baik, selalu menang dalam setiap pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), juga karena munculnya pemain-pemain naturalisasi. harus diakui, munculnya pemain-pemain naturalisasi itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta sepakbola Indonesia. Ada Irfan Bachdim yang menjadi idola bagian sebagian besar perempuan yang gemar bola. Bahkan yang tadinya tidak suka bola pun, turut larut dalam ketenaran Irfan bachdim sebagai pemain naturalisasi.
Rupanya fenomena ini ditangkap para politisi sebagai fenomena politik untuk meraup simpati di antara para suporter Tinmas Garuda menjelang pemilu 2014 mendatang. Jutaan suporter Timnas yang sangat luar biasa itu, tentunya menjadi pendulang suara yang cukup signifikan untuk kemenangan partai politiknya pada pemilu 2014 yang akan datang tersebut. Ini hanya asumsi, meski fakta politik menunjukkan fenomena itu. Coba lihat pada keberadaan Ketua PSSI Nurdin Halid, merupakan kader partai. Sementara dibalik IPL, ada Arifin Panigoro yang juga seorang politisi. Belum lagi komentar-komentar para politisi saat Timnas Garuda kalah 03 dari Malaysia. Lihat juga baliho dan poster-poster wajah yang terpampang di Stadion GBK saat Timnas bertanding. Semuanya menunjukkan fenomena politik dalam gema semangat nasionalisme para suporter Timnas.
Bagi kita yang tak mau dipolitisasi, termasuk mereka para pemain sepakbola, yang ada hanya bermain, bermain dan bermain secara profesional. Tak ada kepentingan poliitk ketika bermain sepak bola, yang ada hanya bagaimana bermain bola dengan cantik dan menghibur masyarakat. Tidak ada politik saat memasukkan bola ke gawang lawan. Tak ada intrik politik saat menggiring bola menuju daerah lawan. Yang ada hanya bermain bola secara profesional. menjadi pemain profesional, dan yang menonton pun menjadi penonton yang suportif dan tidak anarkis.
Jadi, siapa yang menggelar pertandingan, apakah ISL atau IPL atau bahkan kompetisi antar kampung, tak masalah. Para pemain bisa memasukkan gol ke gawang lawan sebanyak-banyaknya, penonton bisa berteriak sekuat-kuatnya untuk mendukung timnya masing-masing. Memperoleh hiburan yang murah meriah, dan juga menyehatkan. Dan yang paling penting adalah mengangkat citra Indonesia di tingkat internasional, khususnya di bidang sepak bola. Jadi, ISL atau IPL itu tak penting! (*)
Lihat saja, pro kontra pertandingan liga Indonesia, antara yang digelar PSSI dengan Indonesia Super Leageu (ISL) dan Indonesian Premier Leagau (IPL) yang dipimpin Arifin Panigoro. Sejumlah pemain pun terancam tidak dapat membela Timnas Indonesia jika tidak bergabung dengan liga yang digelar di bawah PSSI. Seperti yang terjadi pada Irfan Bachdim, yang terikat kontrak dengan Persema Malang, yang lebih memilih bertanding dalam IPL. Begitu juga dengan Kim Jefry Kurniawan.
IPL oleh PSSI dianggap sebagai liga ilegal, akrena tak berada di abwah naungan PSSI. Sehingga klub-klub yang mengikuti liga itu dianggap tidak mematuhi aturan. Begitu juga dengan pemainnya, juga tidak bisa mengikuti seleksi Timnas Indonesia, yang akan bertanding dalam pertandingan-pertandingan internasional. PSSI sendiri tetap pada keputusannya, tidak mengakui keberadaan IPL.
Munculnya dua liga itu, menurut penilaian banyak pihak, terkait dengan banyak kepentingan politik. Karena di dalamnya duduk orang-orang politik, yang memang saling bersaing memperebutkan pengaruh rakyat, khususnya para suporter sepak bola. Seperti diketahui, selama berlangsungnya Piala AFF 2010, antusiasme masyarakat sangat luar biasa. Lakai-laki, perempuan, tua muda, yang gila bola dan tak paham bola pun gandrung dengan semangat membela Timnas Garuda, julukan Timnas Indonesia. Meski Timnas Garuda harus rela duduk sebagai runner up dalam perepbuatan Piala AFF tersebut.
Selain karena peforma Timnas Garuda yang sedang baik, selalu menang dalam setiap pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), juga karena munculnya pemain-pemain naturalisasi. harus diakui, munculnya pemain-pemain naturalisasi itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta sepakbola Indonesia. Ada Irfan Bachdim yang menjadi idola bagian sebagian besar perempuan yang gemar bola. Bahkan yang tadinya tidak suka bola pun, turut larut dalam ketenaran Irfan bachdim sebagai pemain naturalisasi.
Rupanya fenomena ini ditangkap para politisi sebagai fenomena politik untuk meraup simpati di antara para suporter Tinmas Garuda menjelang pemilu 2014 mendatang. Jutaan suporter Timnas yang sangat luar biasa itu, tentunya menjadi pendulang suara yang cukup signifikan untuk kemenangan partai politiknya pada pemilu 2014 yang akan datang tersebut. Ini hanya asumsi, meski fakta politik menunjukkan fenomena itu. Coba lihat pada keberadaan Ketua PSSI Nurdin Halid, merupakan kader partai. Sementara dibalik IPL, ada Arifin Panigoro yang juga seorang politisi. Belum lagi komentar-komentar para politisi saat Timnas Garuda kalah 03 dari Malaysia. Lihat juga baliho dan poster-poster wajah yang terpampang di Stadion GBK saat Timnas bertanding. Semuanya menunjukkan fenomena politik dalam gema semangat nasionalisme para suporter Timnas.
Bagi kita yang tak mau dipolitisasi, termasuk mereka para pemain sepakbola, yang ada hanya bermain, bermain dan bermain secara profesional. Tak ada kepentingan poliitk ketika bermain sepak bola, yang ada hanya bagaimana bermain bola dengan cantik dan menghibur masyarakat. Tidak ada politik saat memasukkan bola ke gawang lawan. Tak ada intrik politik saat menggiring bola menuju daerah lawan. Yang ada hanya bermain bola secara profesional. menjadi pemain profesional, dan yang menonton pun menjadi penonton yang suportif dan tidak anarkis.
Jadi, siapa yang menggelar pertandingan, apakah ISL atau IPL atau bahkan kompetisi antar kampung, tak masalah. Para pemain bisa memasukkan gol ke gawang lawan sebanyak-banyaknya, penonton bisa berteriak sekuat-kuatnya untuk mendukung timnya masing-masing. Memperoleh hiburan yang murah meriah, dan juga menyehatkan. Dan yang paling penting adalah mengangkat citra Indonesia di tingkat internasional, khususnya di bidang sepak bola. Jadi, ISL atau IPL itu tak penting! (*)
Komentar
Posting Komentar