Memboikot atau Diboikot

Oleh: M Riza Pahlevi

Pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menyatakan akan memboikot media yang menjelek-jelekkan pemerintah merupakan hal yang wajar. Namun ada pula yang menyatakan tidak wajar, karena tidak pantas diungkapkan seorang pejabat, apalagi oleh Sekretaris Kabinet. Bahkan oleh media yang dianggap menjelek-jelek pemerintah itu, sudah dilaporkan ke polisi, dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU Ketebukaan Informasi Publik.
Memboikot sesuatu yang tidak disukai atau tidak menjadikannya sebagai referensi adalah hak setiap orang, termasuk media massa. Sikap boikot itu sendiri, mungkin disebabkan beberapa hal. Mulai dari kepentingan politik, kepentingan bisnis, hingga kepentingan pribadi. Dalam kasus ini, selain terkait dengan isi pemberitaan yang dianggap tidak proporsional dan profesional, juga ada kemungkinan muatan politiknya.
Seperti diketahui, media massa sering kali tidak lepas dari urusan dan kepentingan politik tertentu. Baik kepentingan politik sang pemilik, maupun jajaran redaksi, atau bahkan pihak lain. Hal inilah yang sering menyebabkan benturan, antara satu media dengan individu maupun dengan lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta. Kepentingan politik ini, mestinya dilepaskan dalam hubungan antara media dan sumber media. Di mana kepentingan masyarakat atau rakyatlah yang seharusnya dijadikan dasar, bukan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Namun kenyataannya, kepentingan itu selalu muncul dalam beberapa media.
Dalam kasus Dipo Alam, memang hanya sebatas ancaman untuk memboikot. Belum pada tataran praktis, seperti halnya breidel yang dilakukan zaman Orde Baru. Di mana pemerintah orde Baru langsung menutup suatu media, jika isinya dinilai menyerang pemerintah dan sanga penguasa tidak menghendakinya. Namun apakah dalam aksus Dipo Alam ini menjurus ke situ? Ada yang menganggap bahwa pernyataan Dipo Alam itu erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, yang mulai alergi terhadap kritik. Ada pula yang menganggap sebagai sikap keceplosan, yang seharusnya tidak diungkap ke media.
SBY sendiri, dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2011 di Kupang, NTT, sikapnya masih hangat dengan media massa. Bahkan saat itu dia menyatakan bahwa kritik media masih dalam batas wajar. Media pun masih dianggap berada dalam koridornya. Dalam aksus pernyataan Dipo Alam ini, apakah ada miss komunikasi atau ada tujuan lain yang dilakukan Dipo Alam.
Yang jelas, pernyataan Dipo Alam ini banyak yang menyesalkan. Selain dia sebagai seorang pejabat, yang mestinya dalam berkomentar harus hati-hati, dia juga seorang aktivis saat masih menjadi mahasiswa. Sehingga banyak yang mempertanyakan komentarnya itu, apakah itu tidak berbalik arah dengan dirinya, yang dulu sering bersuara kritis terhadap pemerintah? Tetapi ternyata setelah dia masuk dalam jaring pemerintah, justru anti kritik?
Adanya kekhawatiran terhadap pernyataan Dipo itu akan merujuk pada sikap pemerintah yang nantinya akan alergi terhadap kritik. Yang kemduian ujung-ujungnya menuju otoriterisme pemerintah, khususnya terhadap media massa. Namun nampaknya, kekhawatiran ini cenderung berlebihan atau bahkan tak beralasan. Pemerintah SBY tidak mungkin melakukan hal itu, jika tidak ingin peristiwa yang terjadi di negera-negera Timur Tengah dan Afrika Utara itu merembet ke Indonesia. Dan sepertinya tidak ada alasan untuk itu, jika SBY tetap dalam jalur demokrasi, seperti yang dia sampaikan pada saat awal dia menjabat sebagai presiden.
Sebagai insan media, atas pernyataan Dipo untuk memboikot media, mungkin bisa dibalas dengan diboikotnya dia dalam pemberitaan. Tidak perlu dengan sikap yang berlebihan. Kalau keinginan dia untuk memboikot media, bisa saja media yang dimaksud itu balas memboikotnya. Mungkin persoalan akan selesai di situ. Namun jika ada kepentingan-kepentingan tertentu dibalik itu semua, maka itu tidak cukup. Harus ada perlawanan dan membuat opini di medianya, bahwa yang bersangkutan dan kelompoknya melakukan langkah yang salah.
Sepertinya dalam kasus ini, ada kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari kubu Dipo maupun dari media yang dimaksud Dipo. Kedua kubu itu mungkin akan saling memboikot. Atau rakyat yang akan memboikot kedua-duanya? Itu terserah Anda. (*)

Komentar

Postingan Populer