Bukan Hanya Sekedar Fakta
Oleh: M Riza Pahlevi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-65 di aula El Tari, kompleks Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur, Kupang, Rabu (9/2) kemarin. Ini menunjukkan bahwa SBY memiliki perhatian terhadap keberadaan pers di Indonesia. Dan semoga, keberadaannya ini tidak menjadi bumerang bagi dirinya, yang saat ini menjadi sorotan. Mulai dari keluhannya, kebijakannya, hingga peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kerusuhan Temanggung, kasus Pandeglang dan lainnya.
Dalam peringatan HPN ini masih saja ada perdebatan, kapan sebenarnya Hari Pers Nasional. Karena yang diperingati setiap 9 Februari adalah Hari Jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Padahal wartawan bukan hanya di PWI saja, tapi ada juga yang tergabung dalam AJI, AJTVI dan lainnya. Beberapa pihak pun sempat mengusulkan agar ada peninjauan ulang akan Hari Pers Nasional yang berdasarkan fakta sejarah.
Terlepas dari itu semua, bahwa seorang wartawan tetap dituntut pada profesionalismenya. Selain harus tetap memegang teguh Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berisi 11 pasal. Pasal-pasal dalam KEWI ini harus tetap menjadi pegangan setiap wartawan, baik yang tergabung dalam PWI, AJI, AJTVI maupun lainnya. Karena KEWI itu merupakan kesepakatan bersama dan ditandatangani bersama oleh semua organisasi kewartawanan pada tahun 2006 lalu.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring juga meminta pers lebih introspeksi di tengah dinamika masyarakat serta mengharapkan komunitas pers lebih mengedepankan etika, kode etik, dan kepentingan nasional yang jauh lebih luas dan berjangka panjang. Tifatul mengatakan kebebasan pers dewasa ini telah mengalami perkembangan positif yang luar biasa dan sangat signifikan. Sehingga segala peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di pelosok tanah air dan di berbagai penjuru dunia dapat diketahui masyarakat.
Menyinggung kode etik, salah satunya adalah seorang wartawan harus menulis berdasarkan fakta, peristiswa yang terjadi di lapangan. Dalam menjalankan tugasnya ini, seorang wartawan juga dituntut untuk selalu mengecek atas keberadaan berita yang diterimanya tersebut. Sehingga akan dihasilkan berita yang akurat dan berimbang. Begitu juga dengan implementasi pasal-pasal lainnya dalam KEWI, yang memang harus dilaksanakan oleh semua wartawan.
Salah satu hal, yang mungkin menjadi pegangan bagi seorang wartawan, adalah sikap independen. Independen seperti yang diartikan dalam kode etik itu berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Dalam pengertian di atas, independen itu tidak berarti tidak memihak. Bahwa seorang wartawan harus berpihak, berpihak kepada hati nurani, berpihak kepada kebenaran dan kemaslahatan umat.
Keberpihakan kepada kebenaran, menjadi salah satu hal yang cukup sulit untuk dijalankan. Karena bisa saja seorang wartawan dianggap berpihak pada satu kelompok tertentu, melindungi kelompok tertentu dan diangap tidak adil. Ituah resiko dari sikap keberpihakan. Bahkan karena keberpihakannya itu, seorang wartawan sering diprotes dan dianggap kurang profesional.
Namun jika tetap berpedoman pada kode etik tersebut, maka keberpihakan wartawan akan tetap terlindungi dan anggapan-anggapan yang miring itu akan hilang dengan sendiri. Apalagi jika melihat fakta yang sesungguhnya terjadi, maka keberpihakan itu akan menjadi bagian dari kode etik itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika wartawan menemukan kasus warga miskin yang makan nasi aking, atau tidur di kandang kambing, maka keberpihakan wartawan adalah kepada si miskin. Namun justru ini kadang dianggap tidak adil, tidak sesuai fakta, bahwa itu hanya kasus kecil yang dibesar-besarkan. Keberpihakan ini, memang menjadi dilematis bagi seornag wartawan. Namun sebagai seorang pemberi informasi, apa pun itu, harus tetap diberitakan sesuai dengan fakta, meski harus berpihak.
Kini di usianya yang semakin tua, seorang pewarta, seorang jurnalis, seorang wartawan, harus tetap mengedepankan profesionalismenya dengan tetap memagang teguh kode etik wartawan. Menjadi wartawan yang bermartabat, profesional dan berpihak kepada kebenaran, kepada hati nurani, dan bukan hanya sekedar fakta. Selamat Hari Pers Nasional. (*)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-65 di aula El Tari, kompleks Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur, Kupang, Rabu (9/2) kemarin. Ini menunjukkan bahwa SBY memiliki perhatian terhadap keberadaan pers di Indonesia. Dan semoga, keberadaannya ini tidak menjadi bumerang bagi dirinya, yang saat ini menjadi sorotan. Mulai dari keluhannya, kebijakannya, hingga peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kerusuhan Temanggung, kasus Pandeglang dan lainnya.
Dalam peringatan HPN ini masih saja ada perdebatan, kapan sebenarnya Hari Pers Nasional. Karena yang diperingati setiap 9 Februari adalah Hari Jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Padahal wartawan bukan hanya di PWI saja, tapi ada juga yang tergabung dalam AJI, AJTVI dan lainnya. Beberapa pihak pun sempat mengusulkan agar ada peninjauan ulang akan Hari Pers Nasional yang berdasarkan fakta sejarah.
Terlepas dari itu semua, bahwa seorang wartawan tetap dituntut pada profesionalismenya. Selain harus tetap memegang teguh Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berisi 11 pasal. Pasal-pasal dalam KEWI ini harus tetap menjadi pegangan setiap wartawan, baik yang tergabung dalam PWI, AJI, AJTVI maupun lainnya. Karena KEWI itu merupakan kesepakatan bersama dan ditandatangani bersama oleh semua organisasi kewartawanan pada tahun 2006 lalu.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring juga meminta pers lebih introspeksi di tengah dinamika masyarakat serta mengharapkan komunitas pers lebih mengedepankan etika, kode etik, dan kepentingan nasional yang jauh lebih luas dan berjangka panjang. Tifatul mengatakan kebebasan pers dewasa ini telah mengalami perkembangan positif yang luar biasa dan sangat signifikan. Sehingga segala peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di pelosok tanah air dan di berbagai penjuru dunia dapat diketahui masyarakat.
Menyinggung kode etik, salah satunya adalah seorang wartawan harus menulis berdasarkan fakta, peristiswa yang terjadi di lapangan. Dalam menjalankan tugasnya ini, seorang wartawan juga dituntut untuk selalu mengecek atas keberadaan berita yang diterimanya tersebut. Sehingga akan dihasilkan berita yang akurat dan berimbang. Begitu juga dengan implementasi pasal-pasal lainnya dalam KEWI, yang memang harus dilaksanakan oleh semua wartawan.
Salah satu hal, yang mungkin menjadi pegangan bagi seorang wartawan, adalah sikap independen. Independen seperti yang diartikan dalam kode etik itu berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Dalam pengertian di atas, independen itu tidak berarti tidak memihak. Bahwa seorang wartawan harus berpihak, berpihak kepada hati nurani, berpihak kepada kebenaran dan kemaslahatan umat.
Keberpihakan kepada kebenaran, menjadi salah satu hal yang cukup sulit untuk dijalankan. Karena bisa saja seorang wartawan dianggap berpihak pada satu kelompok tertentu, melindungi kelompok tertentu dan diangap tidak adil. Ituah resiko dari sikap keberpihakan. Bahkan karena keberpihakannya itu, seorang wartawan sering diprotes dan dianggap kurang profesional.
Namun jika tetap berpedoman pada kode etik tersebut, maka keberpihakan wartawan akan tetap terlindungi dan anggapan-anggapan yang miring itu akan hilang dengan sendiri. Apalagi jika melihat fakta yang sesungguhnya terjadi, maka keberpihakan itu akan menjadi bagian dari kode etik itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika wartawan menemukan kasus warga miskin yang makan nasi aking, atau tidur di kandang kambing, maka keberpihakan wartawan adalah kepada si miskin. Namun justru ini kadang dianggap tidak adil, tidak sesuai fakta, bahwa itu hanya kasus kecil yang dibesar-besarkan. Keberpihakan ini, memang menjadi dilematis bagi seornag wartawan. Namun sebagai seorang pemberi informasi, apa pun itu, harus tetap diberitakan sesuai dengan fakta, meski harus berpihak.
Kini di usianya yang semakin tua, seorang pewarta, seorang jurnalis, seorang wartawan, harus tetap mengedepankan profesionalismenya dengan tetap memagang teguh kode etik wartawan. Menjadi wartawan yang bermartabat, profesional dan berpihak kepada kebenaran, kepada hati nurani, dan bukan hanya sekedar fakta. Selamat Hari Pers Nasional. (*)
Komentar
Posting Komentar