Melawan Penguasa Tiran
Oleh: M Riza Pahlevi
Perjuangan rakyat Mesir untuk menggulingkan rezim Hosni Mubarak tak sia-sia. Setelah selama beberapa hari, rezim Mubarak berhasil digulingkan, meski harus dengan korban jiwa hingga ratusan orang. Rezim Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, telah membuat muak rakyatnya. Hingga aksi yang diilhami negara tetangganya, Tunisia pun berakhir dengan kemenangan rakyat. Rakyat menginginkan kebebasan dan kesejahteraan, setelah puluhan tahun tertindas penguasa tiran.
Kini, sepeninggal Hosni Mubarak, rakyat Mesir harus pintar-pintar memilih penggantinya. Kekuasaan yang sekarang dipegang Dewan Militer Mesir, dituntut mampu menggelar pemilihan umum dalam waktu dekat untuk memilih pemimpin yang baru. Sejumlah tuntutan terkait dengan kepemimpinan baru di Mesir terus disuarakan para demonstran, yang masih menduduki Lapangan Tahrir.
Kasus yang menimpa Republik Arab Mesir ini menjadi berita yang besar di Indonesia. Selain karena banyaknya warga negara Indonesia di Mesir, khususnya mahasiswa, peristiswa tersebut juga mengingatkan peristiswa di Indonesia pada 1998. Di mana ribuan mahasiswa dan rakyat menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa penguasa yang dikator, tiran sudah tidak zamannya lagi. Rakyat yang sudah mulai melek politik, terus bergerak untuk melawan penguasa tiran, yang membelenggu kebebasan dan demokrasi. Sementara mereka, hanya mengejar kekuasaan dan kekayaan, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Sepertinya kasus di Mesir ini, meniru semangat rakyat Tunisia, yang berhasil menggulingkan penguasanya yang telah lama berkuasa dan cenderung korup. Dan nampaknya, keberhasilan Tunisia dan Mesir ini juga menjadi inspirasi bagi negara-negara di Timur Tengah, yang sebagian besar dikuasi oleh penguasa-penguasa yang telah lama berkuasa dan cenderung korup. Sejumlah indikasi ke arah itu mulai terlihat, seperti di Yordania, Yaman dan sejumlah negara lain mulai bergejolak, termasuk di Iran.
Gerakan melawan penguasa Tiran ini, baik yang terjadi di Tunisa maupun Mesir, tidak didukung oleh sekelompok kepentingan atau pun partai politik tertentu. tetapi murni dari gerakan rakyat yang sudah muak dengan penguasa yang tiran tersebut. Karenanya gerakan yang massif itu pun berhasil menurunkan sang dikator yang tiran. Opsi mundur nampaknya menjadi pilihan bagi mereka yang diktator dan tiran tersebut, dari pada harus terus-menerus dihujat dan dicaci maki rakyatnya sendiri. Seperti yang juga terjadi di Indonesia, Soeharto memilih untuk lengser keprabon, setelah sekian bulan digoyang aksi unjuk rasa mahasiswa dan rakyat.
Bahkan beberapa orang di Indonesia, menyatakan bahwa mesir layak belajar kepada Indonesia, terkait dengan peralihan kekuasaan pasca jatuhnya sang tiran. Entah yang mengatakan berganggapan bahwa apa yang dilakukan Indonesia itu berhasil atau hanya sekedar mencari popularitas saja. Yang jelas, bahwa kasus jatuhnya Hosni Mubarak dan Soeharto, ada persamaannya. Yang pertama, sama-sama dikator dan tiran. Kedua, digulingkan oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Ketiga, masih harus mencari soluasi yang terbaik pasca jatuhnya sang tiran tersebut dan bagaimana nasih bangsa itu ke depannya.
Penguasa tiran dan diktator, saat ini sudah tidak mendapat tempat lagi di dunia. Dengan dalih demokrasi, sebagian penguasa tiran itu berusaha untuk terus berkuasa. Bahkan ketika usianya lanjut pun, dia berusaha untuk melanjutkan kekuasaannya itu kepada kalurganya, khususnya kepada anak-anaknya. Seperti inilah yang terjadi di Mesir, juga di Indonesia pada zaman Soeharto, yang rupanya menginginkan anak-anaknya menjadi penguasa sesudahnya. Namun rakyat tidak bodoh dan mau dikibuli dengan regenerasi kekuasaan yang tiran tersebut.
Karena negara demokrasi bukan kerajaan, yang regenerasinya dilakukan hanya untuk keluarga dekatnya saja. Sementara di negara kerajaan, jabatan seorang raja atau ratu, hanya menjadi simbol saja. Mereka tidak memiliki kekuasaan pemerintahan, karena pemerintahan dijalankan oleh lembaga tersendiri yang demokratis. Yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat pula.
Bisa saja rakyat Mesir belajar kepada Indonesia, namun Indonesia juga ahrus belajar dari Mesir saat ini. Jangan sampai reformasi jilid kedua terjadi di Indonesia, atau justru Indonesia kembali ke kekuasaan yang diktator dan tiran. Seperti halnya Myanmar, yang hingga kini masih dikuasai junta militer. Yang jelas, rakyat di mana pun itu, negara mana pun, tidak pernah menginginkan penguasa yang tiran. Mereka berharap pemimpin yang jujur, adil dan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan sebaliknya, meweujudkan kesejateraan dirinya, sementara kesejateraan rakyat terabaikan. Kalau itu yang terjadi, maka tidak ada kata lain, selain lawan penguasa tiran! (*)
Perjuangan rakyat Mesir untuk menggulingkan rezim Hosni Mubarak tak sia-sia. Setelah selama beberapa hari, rezim Mubarak berhasil digulingkan, meski harus dengan korban jiwa hingga ratusan orang. Rezim Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, telah membuat muak rakyatnya. Hingga aksi yang diilhami negara tetangganya, Tunisia pun berakhir dengan kemenangan rakyat. Rakyat menginginkan kebebasan dan kesejahteraan, setelah puluhan tahun tertindas penguasa tiran.
Kini, sepeninggal Hosni Mubarak, rakyat Mesir harus pintar-pintar memilih penggantinya. Kekuasaan yang sekarang dipegang Dewan Militer Mesir, dituntut mampu menggelar pemilihan umum dalam waktu dekat untuk memilih pemimpin yang baru. Sejumlah tuntutan terkait dengan kepemimpinan baru di Mesir terus disuarakan para demonstran, yang masih menduduki Lapangan Tahrir.
Kasus yang menimpa Republik Arab Mesir ini menjadi berita yang besar di Indonesia. Selain karena banyaknya warga negara Indonesia di Mesir, khususnya mahasiswa, peristiswa tersebut juga mengingatkan peristiswa di Indonesia pada 1998. Di mana ribuan mahasiswa dan rakyat menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa penguasa yang dikator, tiran sudah tidak zamannya lagi. Rakyat yang sudah mulai melek politik, terus bergerak untuk melawan penguasa tiran, yang membelenggu kebebasan dan demokrasi. Sementara mereka, hanya mengejar kekuasaan dan kekayaan, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Sepertinya kasus di Mesir ini, meniru semangat rakyat Tunisia, yang berhasil menggulingkan penguasanya yang telah lama berkuasa dan cenderung korup. Dan nampaknya, keberhasilan Tunisia dan Mesir ini juga menjadi inspirasi bagi negara-negara di Timur Tengah, yang sebagian besar dikuasi oleh penguasa-penguasa yang telah lama berkuasa dan cenderung korup. Sejumlah indikasi ke arah itu mulai terlihat, seperti di Yordania, Yaman dan sejumlah negara lain mulai bergejolak, termasuk di Iran.
Gerakan melawan penguasa Tiran ini, baik yang terjadi di Tunisa maupun Mesir, tidak didukung oleh sekelompok kepentingan atau pun partai politik tertentu. tetapi murni dari gerakan rakyat yang sudah muak dengan penguasa yang tiran tersebut. Karenanya gerakan yang massif itu pun berhasil menurunkan sang dikator yang tiran. Opsi mundur nampaknya menjadi pilihan bagi mereka yang diktator dan tiran tersebut, dari pada harus terus-menerus dihujat dan dicaci maki rakyatnya sendiri. Seperti yang juga terjadi di Indonesia, Soeharto memilih untuk lengser keprabon, setelah sekian bulan digoyang aksi unjuk rasa mahasiswa dan rakyat.
Bahkan beberapa orang di Indonesia, menyatakan bahwa mesir layak belajar kepada Indonesia, terkait dengan peralihan kekuasaan pasca jatuhnya sang tiran. Entah yang mengatakan berganggapan bahwa apa yang dilakukan Indonesia itu berhasil atau hanya sekedar mencari popularitas saja. Yang jelas, bahwa kasus jatuhnya Hosni Mubarak dan Soeharto, ada persamaannya. Yang pertama, sama-sama dikator dan tiran. Kedua, digulingkan oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Ketiga, masih harus mencari soluasi yang terbaik pasca jatuhnya sang tiran tersebut dan bagaimana nasih bangsa itu ke depannya.
Penguasa tiran dan diktator, saat ini sudah tidak mendapat tempat lagi di dunia. Dengan dalih demokrasi, sebagian penguasa tiran itu berusaha untuk terus berkuasa. Bahkan ketika usianya lanjut pun, dia berusaha untuk melanjutkan kekuasaannya itu kepada kalurganya, khususnya kepada anak-anaknya. Seperti inilah yang terjadi di Mesir, juga di Indonesia pada zaman Soeharto, yang rupanya menginginkan anak-anaknya menjadi penguasa sesudahnya. Namun rakyat tidak bodoh dan mau dikibuli dengan regenerasi kekuasaan yang tiran tersebut.
Karena negara demokrasi bukan kerajaan, yang regenerasinya dilakukan hanya untuk keluarga dekatnya saja. Sementara di negara kerajaan, jabatan seorang raja atau ratu, hanya menjadi simbol saja. Mereka tidak memiliki kekuasaan pemerintahan, karena pemerintahan dijalankan oleh lembaga tersendiri yang demokratis. Yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat pula.
Bisa saja rakyat Mesir belajar kepada Indonesia, namun Indonesia juga ahrus belajar dari Mesir saat ini. Jangan sampai reformasi jilid kedua terjadi di Indonesia, atau justru Indonesia kembali ke kekuasaan yang diktator dan tiran. Seperti halnya Myanmar, yang hingga kini masih dikuasai junta militer. Yang jelas, rakyat di mana pun itu, negara mana pun, tidak pernah menginginkan penguasa yang tiran. Mereka berharap pemimpin yang jujur, adil dan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan sebaliknya, meweujudkan kesejateraan dirinya, sementara kesejateraan rakyat terabaikan. Kalau itu yang terjadi, maka tidak ada kata lain, selain lawan penguasa tiran! (*)
Komentar
Posting Komentar