Responsif Gender

Istilah gender saat ini sudah tak asing lagi di masyarakat, khususnya bagi para pejabat pengambil kebijakan. Di mana istilah gender secara harfiah berarti jenis kelamin atau sex. Namun secara istilah, gender berarti sebuah pengakuan atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Gender tidak membeda-mbedakan antara laki-laki dalam perempuan dalam kehidupan masyarakat. Yang membedakan hanya fisik saja, yang memang secara kodrat telah ditentukan oleh Tuhan.
Gender kini telah menjadi sebuah gerakan, bukan hanya sekedar emansipasi wanita saja, namun juga menyangkut hak dan kedudukan perempuan dalam segala bidang kehidupan. Gender yang dulu masih hanya sebatas wacana, kini mulai diimplementasikan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Meski demikian, ternyata dalam implementasinya kadang masih hanya sebatas wacana, belum pada tindakan kongkret.
Dalam beberapa hal, wacana gender ini telah dituangkan dalam udang-undang maupun peraturan lainnya, yang mengikat lembaga maupun institusi publik. Seperti undang-undang tentang partai politik, yang telah mensyaratkan keterwakilan perempuan hingga 30 persen. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan lain, yang memberikan peluang kepada kaum perempuan untuk tampil dan unjuk diri.
Namun dalam pelaksanaannya, peluang-peluang tersebut kadang tertutup, baik disengaja maupun tidak disengaja. Meskipun wacana responsif gender itu selalu ditekankan pada acara-acara tertentu di pemerintahan. Bahkan dalam struktur pemerintahan, pemberdayaan perempuan menjadi salah bidang atau bahkan menjadi bagian tersendiri dalam struktur Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) pemerintah.
Kondisi ini rupanya menjadi perhatian serius Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih. Wagub dalam lawatannya ke sejumlah kabupaten/kota, antara lain di Kabupaten Brebes, Kabupaten tegal dan lainnya menekankan perlunya responsif gender dalam setiap gerak pembangunan yang ada. Penekanan itu tentunya karena di lapangan masih banyak kabupaten/kota yang belum melaksanakan kebijakan berbasis gender. Menurutnya, masih banyak daerah yang Indeks Pembangunan Gender (IPG)-nya masih rendah.
Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan di daerah, bagaimana meningkatkan nilai IPG. Tentunya, untuk meningkatkan IPG, pemerintah daerah ahrus benar-benar responsif gender. Di mana setiap kebijakan, melalui SKPD yang terkait, memberikan alokasi anggaran yang terkait dengan sikap responsif gender tersebut.
Anggaran yang responsif gender ini, sebenarnya tidaklah cukup besar. Namun mungkin bagi sebagian pengambil kebijakan dianggap masalah sepele, sehingga terlupakan dan tak masuk dalam prioritas pengelolaan anggaran. Memang tidak mudah untuk menajalankan sikap yang responsif gender ini. Kalau sekedar mengucapkan, ketika ditegur, mungkin akan langsung menjawab siap dilaksanakan. Namun dalam prakteknya akan terlupakan, terlewatkan seiring berjalannya waktu.
Itu dalam bidang anggaran. Di bidang lain, penunjukkan kaum perempuan sebagai pejabat ternyata masih sangat minim. Meski banyak kaum perempuan yang mampu menduduki jabatan tertentu, namun ternyata mereka harus tersisih karena keperempuanannya. Kalau pun ada, sebagian dari mereka yang ditunjuk bukan akrena kemampuannya, namun karena kedekatan dan balas jasa tertentu.
Dengan berpikir dan bersikap yang responsif gender, kejadian-kejadian tersebut semestinya tidak perlu terjadi. Sikap responsif gender ini memang susah-susah gampang, bahkan mungkin banyak yang menyepelekannya. Namun dengan terus diasah dan diwacanakan, maka sikap responsif gender ini akan terus menguat. Gender, bukan untuk menunggulkan keperempuanannya, namun karena kemampuan dan kapabilitasnya, tanpa harus dikalahkan oleh sikap kelelakiannya. (*)

Komentar

Postingan Populer