Habib Lutfi dan NKRI
Oleh: M Riza Pahlevi
Ada satu pelajaran yang sederhana dari setiap pengajian yang dilakukan Habib Lutfi dari Pekalongan. Meski sederhana tetapi sangat dalam maknanya, yakni tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI harga mati, begitu mungkin slogan Habib Lutfi dalam setiap ceramah dan mauidhoh hasanahnya. Namun demikian, jamaah pengajian yang menghadirkan Habib Lutfi selalu penuh, ribuan santri selalu menanti fatwa-fatwanya.
Sepertinya tidak ada bosan-bosannya berbicara tentang NKRI, meskipun itu sudah menjadi harga mati bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk umat Islam. Masalah NKRI selalu menjadi fokus pembicaraan, tentunya disertai dengan kisah-kisah inspiratif dari para pendiri negara, para pahlawan, termasuk juga dengan para alim, ulama maupun wali, yang turut membangun karakter bangsa Indonesia sejak dulu.
Tak ada yang protes, apalagi segera bergeas ketika Habib mulai mengawali ceramahnya. Hadirin justru seakan tersirap, untuk terus mendengarkan apa yang disampaikan pemimpin tariqot Naqsabandiyah tersebut. Ribuan warga selalu memenuhi arena digelarnya pengajian maupun istighotsah. meskipun sebelumnya tidak ada woro-woro atau pun pengumuman, mereka datang secara berkelompok dan sendiri-sendiri.
Sepertinya, tema yang diungkapkan Habib ini tak pernah lepas oleh waktu. Meskipun semua orang tahu, bahwa NKRI itu harga mati, seperti yang diharapkan para pendiri negara. Para pendiri negara, khususnya para ulama, sudah sepakat membantuk NKRI, bukan yang lain. Darussalam, bukan darul Islam.
Dalam beberapa pengajian yang digelar di Brebes pun, Habib selalu menekankan pentingnya persatuan, pentingnya ke-Indonesia-an, teladan para pahlwan dan lainnya yang terkait dengan semangat nasionalisme. Isinya ringan, tapi sangat mengena dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.
Bahwa semangat nasionalisme sekarang ini, semakin menurun. Itu terlihat dari sikap dan perilaku para elit, termasuk juga masyarakatnya yang tidak pernah rukun. Selalu ribut dalam perbedaan, khilafiyah. Segala sesuatu selalu dipolitisir dan dihubung-hubungkan, yang akhirnya hanya saling menyalahkan. Hingga akhirnya, Indonesia hanya dijadikan lintasan saja oleh bangsa lain.
habib tidak ingin masalah khilafiyah ini dibesar-besarkan, yang ujung-ujungnya hanya menjadikan Indonesia negara yang selalu jadi tontonan. Padahal Indonesia dengan segala potensinya, mampu menajdi negara yang besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah satu tugas umat Islam agar Indonesia bisa maju dan sejajar dengan negara-negara lain.
Selain ajakan untuk terus menggerakan semangat nasionalisme, Habib juga pernah meminta agar umat Islam untuk memasang gambar-gambar para pahlawan, khususnya pahlwan Islam, seperti Pangeran Diponegoro, juga gambar-gambar para wali, termasuk pendiri NU, KH Hasyim Asyari.
Pemasangan gambar-gambar itu bukan tanpa maksud, tetapi agar setiap warga yang melihat gambar itu selalu terkenang dengan semangat para phalwan yang ada di gambar itu. Semangat untuk membela negara, semangat untuk memerdekakan negara, semangat kepahlawanannya.
Bukan bermaksud syirik maupun menyekutukan Tuhan dengan gambar-gambar itu, tetapi semangat yang dimiliki para pahlawan itu untuk dikenang dan diamalkan di zaman sekarang ini. Bahwa mereka yang sudah meninggal itu, ternyata masih memberikan semangat untuk membangun negara. Mereka yang sudah syahid, tidak tinggal diam untuk bangsa dan generasi penerusnya.
Ketika NKRI bagi Habib Lutfi adalah harga mati, maka habib-habib yang lain pun insya Allah sama. Begitu pula dengan kiai-kiai dan alim ulama, yang lain, yang memiliki pemikiran dan pandangan yang sama dengan Habib. Karenanya, jangan ragukan lagi semangat nasionalisme yang dimiliki para kiai, para alim ulama, yang tahu betul pentingnya semangat nasionalisme, bagi pembangunan bangsa.
Apa yang dilakukan Habib Lutfi ini, memang sangat sederhana. Bahkan terlalu sederhana bagi sebagian orang. Namun memiliki makna yang luar biasa. Sepertinya pemerintah atau negara, tidak perlu membuat program P4 atau penataran seperti zaman Orde Baru, yang justru kadang dipaksakan. Namun dengan pengajian, yang diikuti ribuan warga ini, pasti akan memunculkan semangat nasionalisme warga, tanpa paksaan dan tidak memerlukan jurkan-jurkan khusus untuk menumbuhkan semangat nasionalisme. (*)
Ada satu pelajaran yang sederhana dari setiap pengajian yang dilakukan Habib Lutfi dari Pekalongan. Meski sederhana tetapi sangat dalam maknanya, yakni tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI harga mati, begitu mungkin slogan Habib Lutfi dalam setiap ceramah dan mauidhoh hasanahnya. Namun demikian, jamaah pengajian yang menghadirkan Habib Lutfi selalu penuh, ribuan santri selalu menanti fatwa-fatwanya.
Sepertinya tidak ada bosan-bosannya berbicara tentang NKRI, meskipun itu sudah menjadi harga mati bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk umat Islam. Masalah NKRI selalu menjadi fokus pembicaraan, tentunya disertai dengan kisah-kisah inspiratif dari para pendiri negara, para pahlawan, termasuk juga dengan para alim, ulama maupun wali, yang turut membangun karakter bangsa Indonesia sejak dulu.
Tak ada yang protes, apalagi segera bergeas ketika Habib mulai mengawali ceramahnya. Hadirin justru seakan tersirap, untuk terus mendengarkan apa yang disampaikan pemimpin tariqot Naqsabandiyah tersebut. Ribuan warga selalu memenuhi arena digelarnya pengajian maupun istighotsah. meskipun sebelumnya tidak ada woro-woro atau pun pengumuman, mereka datang secara berkelompok dan sendiri-sendiri.
Sepertinya, tema yang diungkapkan Habib ini tak pernah lepas oleh waktu. Meskipun semua orang tahu, bahwa NKRI itu harga mati, seperti yang diharapkan para pendiri negara. Para pendiri negara, khususnya para ulama, sudah sepakat membantuk NKRI, bukan yang lain. Darussalam, bukan darul Islam.
Dalam beberapa pengajian yang digelar di Brebes pun, Habib selalu menekankan pentingnya persatuan, pentingnya ke-Indonesia-an, teladan para pahlwan dan lainnya yang terkait dengan semangat nasionalisme. Isinya ringan, tapi sangat mengena dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.
Bahwa semangat nasionalisme sekarang ini, semakin menurun. Itu terlihat dari sikap dan perilaku para elit, termasuk juga masyarakatnya yang tidak pernah rukun. Selalu ribut dalam perbedaan, khilafiyah. Segala sesuatu selalu dipolitisir dan dihubung-hubungkan, yang akhirnya hanya saling menyalahkan. Hingga akhirnya, Indonesia hanya dijadikan lintasan saja oleh bangsa lain.
habib tidak ingin masalah khilafiyah ini dibesar-besarkan, yang ujung-ujungnya hanya menjadikan Indonesia negara yang selalu jadi tontonan. Padahal Indonesia dengan segala potensinya, mampu menajdi negara yang besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah satu tugas umat Islam agar Indonesia bisa maju dan sejajar dengan negara-negara lain.
Selain ajakan untuk terus menggerakan semangat nasionalisme, Habib juga pernah meminta agar umat Islam untuk memasang gambar-gambar para pahlawan, khususnya pahlwan Islam, seperti Pangeran Diponegoro, juga gambar-gambar para wali, termasuk pendiri NU, KH Hasyim Asyari.
Pemasangan gambar-gambar itu bukan tanpa maksud, tetapi agar setiap warga yang melihat gambar itu selalu terkenang dengan semangat para phalwan yang ada di gambar itu. Semangat untuk membela negara, semangat untuk memerdekakan negara, semangat kepahlawanannya.
Bukan bermaksud syirik maupun menyekutukan Tuhan dengan gambar-gambar itu, tetapi semangat yang dimiliki para pahlawan itu untuk dikenang dan diamalkan di zaman sekarang ini. Bahwa mereka yang sudah meninggal itu, ternyata masih memberikan semangat untuk membangun negara. Mereka yang sudah syahid, tidak tinggal diam untuk bangsa dan generasi penerusnya.
Ketika NKRI bagi Habib Lutfi adalah harga mati, maka habib-habib yang lain pun insya Allah sama. Begitu pula dengan kiai-kiai dan alim ulama, yang lain, yang memiliki pemikiran dan pandangan yang sama dengan Habib. Karenanya, jangan ragukan lagi semangat nasionalisme yang dimiliki para kiai, para alim ulama, yang tahu betul pentingnya semangat nasionalisme, bagi pembangunan bangsa.
Apa yang dilakukan Habib Lutfi ini, memang sangat sederhana. Bahkan terlalu sederhana bagi sebagian orang. Namun memiliki makna yang luar biasa. Sepertinya pemerintah atau negara, tidak perlu membuat program P4 atau penataran seperti zaman Orde Baru, yang justru kadang dipaksakan. Namun dengan pengajian, yang diikuti ribuan warga ini, pasti akan memunculkan semangat nasionalisme warga, tanpa paksaan dan tidak memerlukan jurkan-jurkan khusus untuk menumbuhkan semangat nasionalisme. (*)
yap... NKRI adalah harga mati... Merdedaa..!!!
BalasHapusartasite.blogspot.com