Setahun SBY-Boediono
Oleh: M Riza Pahlevi
Tanggal 20 Oktober tepat setahun pemerintahan SBY-Boediono. Sejumlah aksi massa direncanakan untuk memperingati tahun pertama kekuasaan kedua SBY. Bahkan muncul wacana penggulingan pemerintahan SBY-Boediono pada aksi massa tersebut. Mereka dianggap gagal dalam membangun, seperti yang dijanjikan saat kampanye dulu.
Sejumlah kritik dan penilaian muncul untuk SBY-Boediono. Mulai dari kasus-kasus korupsi, kinerja kabinet, hingga sejumlah bencana yang terjadi di hampir sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Sebagian besar kritik dan penilaian itu menilai rapor SBY-Boediono tidak memuaskan, bahkan ada yang menilainya dengan nilai merah.
Namun di kalangan pendukung setia SBY, khususnya di Partai Demokrat, SBY dengan kharismanya tetap merupakan sosok dan figur pemimpin yang berhasil. Salah satu keberhasilannya adalah menempatkan anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas sebagai Sekjen DPP Partai Demokrat mendampingi Anas Urbaningrum. Meskipun dalam beberapa kesempatan, penunjukkan Ibas itu murni karena kemampuan dia, bukan karena anak SBY.
SBY yang terpilih dengan suara sekitar 60 persen, ternyata masih mendapat penolakan sebagian masyarakat, khususnya mahasiswa. Atau mungkin mereka yang tak memilihnya pada Pemilu Presiden 2009 lalu. Sementara mereka yang memilih SBY-Boediono, mungkin hanya cuek saja, tak peduli dengan apa dan bagaimana SBY-Boediono menjalankan amanah rakyat tersebut. Apakah sudah sesuai dengan janji-janji waktu kampanye, apakah pembangunan sudah berhasil, apakah ada peningkatan kesejehtaraan atau apa? Mereka tidak peduli.
Bagi rakyat, yang penting bagaimana mereka bisa makan, bisa menyekolahkan anak-anaknya, bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak, memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan bisa bekerja dengan penghasilan yang layak. Bagi mereka tidak penting siapa presidennya, atau siapa pun wakilnya.
Lantas apa makna setahun pemerintahan SBY-Boediono bagi rakyat yang tah tahu dan cuek itu, atau memang tak mau tahu? Sementara bagi aktivis mahasiswa, bagi mereka yang peduli dan mengkritisi SBY-Boediono? Bagi mereka yang tak mau tahu, mungkin tidak ada manfaatnya sama sekali, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Mau setahun, dua tahun, atau pun 32 tahun, itu tak penting. Wong Soeharto saja, yang 32 tahun berkuasa, tak berpengaruh bagi mereka. Buktinya, Soeharto yang dipilih oleh 80 persen lebih rakyat melalui perwakilannya di MPR, tetap saja bisa diturunkan oleh aktivis mahasiswa pada 1998 lalu.
Sementara bagi aktivis, setahun pemerintahan SBY-Boediono mempunyai arti yang sangat penting. Dulu, waktu 100 hari SBY, juga menjadi ajang evaluasi pemerintahan duet tersebut. Sekarang setelah satu tahun, apakah ada peningkatan kinerja atau tidak. 100 hari pemerintahan, mungkin belum bisa dinilai keberhasilan maupun ketidakberhasilannya. Masih hanya sebatas program kerja, belum pelaksanaannya secara maksimal. Kini, setelah satu tahun tentu evaluasi akan mudah dilihat. Seperti halnya anak sekolah, yang setiap semester dilakukan ujian atau evaluasi, kemudian di akhir tahun ajaran dievaluasi total, apakaha da nilai merahnya atau tidak, selanjutnya apakah layak naik kelas atau lulus tidak? Semuanya butuh penialian secara obyektif. Bukan karena suka atau tidak suka.
Para pengkritik SBY, begitu tepatnya, karena Boediono sendiri jarang terlihat dan terkespose apa saja yang telah dilakukan. Boediono juga jarang mendapat kritik secara individu sebagai wakil presiden. Namun karena satu paket, maka pasangan SBY-Boediono, secara otomatis mendapat penilaian bersama-sama. Jadi jangan dipisah-pisah antara SBY dan Boediono.
Sekali lagi, para pengkritik SBY, tentu menjadikan satu tahun pemerintahan ini sebagai ajang evaluasi. Evaluasi segal hal, yang terkait dengan pemerintahan SBY selama satu tahu belakangan. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Termasuk juga bagaimana penanganan musibah yang terus mendera Indonesia. Penanganan musibah, bukan musibahnya, karena siapa pun presidennya, kalau memang musibah kapan saja bisa terjadi dan di mana saja.
Seperti contoh, pada periode pertama SBY, ada tsunami di Aceh, ada gempa bumi dan lainnya. Begitu juga tahun pertama periode kedua jabatan SBY, sejumlah bencana juga muncul.
So, jadi kita nilai, apakah SBY mendapat nilai rapor merah tau tidak, lulus atau tidak. Bukan hanya SBY sebenarnya, tapi juga di daerah, seperti gubernur, bupati/walikota, kepala desa, termasuk RT sekali pun perlu dievaluasi. Evaluasi, kritik dan masukan yang disampaikan secara konstitusional tentunya, bukan wacana untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. (*)
Tanggal 20 Oktober tepat setahun pemerintahan SBY-Boediono. Sejumlah aksi massa direncanakan untuk memperingati tahun pertama kekuasaan kedua SBY. Bahkan muncul wacana penggulingan pemerintahan SBY-Boediono pada aksi massa tersebut. Mereka dianggap gagal dalam membangun, seperti yang dijanjikan saat kampanye dulu.
Sejumlah kritik dan penilaian muncul untuk SBY-Boediono. Mulai dari kasus-kasus korupsi, kinerja kabinet, hingga sejumlah bencana yang terjadi di hampir sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Sebagian besar kritik dan penilaian itu menilai rapor SBY-Boediono tidak memuaskan, bahkan ada yang menilainya dengan nilai merah.
Namun di kalangan pendukung setia SBY, khususnya di Partai Demokrat, SBY dengan kharismanya tetap merupakan sosok dan figur pemimpin yang berhasil. Salah satu keberhasilannya adalah menempatkan anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas sebagai Sekjen DPP Partai Demokrat mendampingi Anas Urbaningrum. Meskipun dalam beberapa kesempatan, penunjukkan Ibas itu murni karena kemampuan dia, bukan karena anak SBY.
SBY yang terpilih dengan suara sekitar 60 persen, ternyata masih mendapat penolakan sebagian masyarakat, khususnya mahasiswa. Atau mungkin mereka yang tak memilihnya pada Pemilu Presiden 2009 lalu. Sementara mereka yang memilih SBY-Boediono, mungkin hanya cuek saja, tak peduli dengan apa dan bagaimana SBY-Boediono menjalankan amanah rakyat tersebut. Apakah sudah sesuai dengan janji-janji waktu kampanye, apakah pembangunan sudah berhasil, apakah ada peningkatan kesejehtaraan atau apa? Mereka tidak peduli.
Bagi rakyat, yang penting bagaimana mereka bisa makan, bisa menyekolahkan anak-anaknya, bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak, memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan bisa bekerja dengan penghasilan yang layak. Bagi mereka tidak penting siapa presidennya, atau siapa pun wakilnya.
Lantas apa makna setahun pemerintahan SBY-Boediono bagi rakyat yang tah tahu dan cuek itu, atau memang tak mau tahu? Sementara bagi aktivis mahasiswa, bagi mereka yang peduli dan mengkritisi SBY-Boediono? Bagi mereka yang tak mau tahu, mungkin tidak ada manfaatnya sama sekali, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Mau setahun, dua tahun, atau pun 32 tahun, itu tak penting. Wong Soeharto saja, yang 32 tahun berkuasa, tak berpengaruh bagi mereka. Buktinya, Soeharto yang dipilih oleh 80 persen lebih rakyat melalui perwakilannya di MPR, tetap saja bisa diturunkan oleh aktivis mahasiswa pada 1998 lalu.
Sementara bagi aktivis, setahun pemerintahan SBY-Boediono mempunyai arti yang sangat penting. Dulu, waktu 100 hari SBY, juga menjadi ajang evaluasi pemerintahan duet tersebut. Sekarang setelah satu tahun, apakah ada peningkatan kinerja atau tidak. 100 hari pemerintahan, mungkin belum bisa dinilai keberhasilan maupun ketidakberhasilannya. Masih hanya sebatas program kerja, belum pelaksanaannya secara maksimal. Kini, setelah satu tahun tentu evaluasi akan mudah dilihat. Seperti halnya anak sekolah, yang setiap semester dilakukan ujian atau evaluasi, kemudian di akhir tahun ajaran dievaluasi total, apakaha da nilai merahnya atau tidak, selanjutnya apakah layak naik kelas atau lulus tidak? Semuanya butuh penialian secara obyektif. Bukan karena suka atau tidak suka.
Para pengkritik SBY, begitu tepatnya, karena Boediono sendiri jarang terlihat dan terkespose apa saja yang telah dilakukan. Boediono juga jarang mendapat kritik secara individu sebagai wakil presiden. Namun karena satu paket, maka pasangan SBY-Boediono, secara otomatis mendapat penilaian bersama-sama. Jadi jangan dipisah-pisah antara SBY dan Boediono.
Sekali lagi, para pengkritik SBY, tentu menjadikan satu tahun pemerintahan ini sebagai ajang evaluasi. Evaluasi segal hal, yang terkait dengan pemerintahan SBY selama satu tahu belakangan. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Termasuk juga bagaimana penanganan musibah yang terus mendera Indonesia. Penanganan musibah, bukan musibahnya, karena siapa pun presidennya, kalau memang musibah kapan saja bisa terjadi dan di mana saja.
Seperti contoh, pada periode pertama SBY, ada tsunami di Aceh, ada gempa bumi dan lainnya. Begitu juga tahun pertama periode kedua jabatan SBY, sejumlah bencana juga muncul.
So, jadi kita nilai, apakah SBY mendapat nilai rapor merah tau tidak, lulus atau tidak. Bukan hanya SBY sebenarnya, tapi juga di daerah, seperti gubernur, bupati/walikota, kepala desa, termasuk RT sekali pun perlu dievaluasi. Evaluasi, kritik dan masukan yang disampaikan secara konstitusional tentunya, bukan wacana untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. (*)
Komentar
Posting Komentar