Bencana dan Bencana
Oleh: M Riza Pahlevi
Senin petang kemarin, kembali sebuah bencana mendera Indonesia. Ya, gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah-Jogjakarta meletus. Meletusnya Merapi ini memang sudah diprediksi, mulai dari status waspada, awas, hingga dinyatakan bahaya.
Sehari sebelumnya, juga dikabarkan dengan gempa yang melanda Sumatera Barat. Sejumlah warga tewas, bahkan sempat dikhawatirkan terjadinya tsunami, meski hanya kecil. Namun tetap saja korban jiwa berjatuhan, begitu juga dengan korban materi.
Begitu juga dengan banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Ratusan nyawa terseret air bah yang tiba-tiba melintasi pemukiman warga. Seolah bencana memang menjadi identik dengan Indonesia. Karena setiap saat bencana itu bisa saja terjadi, mulai dari gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, longsor, hingga angin puting beliung. Seolah-olah datang silih berganti, mendera wilayah dan penduduk Indonesia.
Terjadinya bencana ini memang banyak sebabnya. Ada yang mengatakan bahwa bencana yang terjadi di Indonesia ini karena letak geografis dan geologis Indonesia, yang berada di batas lempeng benua, sehingga rawan terjadi gempa. Begitu juga dengan gunung merapi, yang berdiri berjejer di sepajang jalur pegunungan antara Asia dan Australia.
Namun ada juga yang mengatakan, bahwa terjadinya bencana ini karena penduduknya sudah banyak melakukan dosa, maksiat dan berbagai macam kejahatan lainnya. termasuk kejahatan terhadap alam, merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. Bahkan ada sekelompok organisasi, yang kerap melakukan razia sendiri dengan alasan membongkar maksiat yang terjadi.
Ada pula yang mengatakan, bahwa bencana ini karena para pemimpin negara sudah tidak melaksanakan amanat dari rakyatnya. Lebih banyak memikirkan diri sendiri, kelompok dan partainya masing-masing. Hingga akhirnya rakyat pun banyak yang menyumpahinya. Maka, terjadilah bencana.
Tapi yang jelas, bahwa bencana itu bisa datang kapan saja, di mana saja. Bisa juga merenggut nyawa kita, nyawa keluarga kita, teman dan tetangga, atau kita bersama-sama. Begitu juga materi, semuanya bisa hancur dalam sekejap. Ketika terjadi bencana, apa yang harus dilakukan? Apakah mencari kambing hitam, yang sering kali menyelinap di antara bencana yang datang, atau bagaimana? Menyalahkan pemimpin, menyalahkan pemerintah, atau menyalahkan diri sendiri bahkan menyalahkan orang lain.
Mungkin tak ada yang bisa diperbuat banyak. Hanya ada pikiran, bagaimana bisa selamat dari bencana yang datang tiba-tiba tersebut. Mengindari bencana, mencari tempat yang aman. Tidak ada kesempatan untuk menyalahkan orang lain, apalagi mencari kambing hitam yang tak jelas rimbanya.
Lantas, bagaimana dengan kita yang tak terkena bencana? Hanyakah menontonnya di televisi, membacanya diberita atau mendengarkan saja di radio? Bolehlah kita menonton teleisi, membaca berita dan mendengarkan koran, tapi juga harus prihatin dan segera bertindak. Bertindak nyata, bukan kata-kata.
Bukan hanya sekedar membantu dana, tapi juga membantu secara riil. Yakni sebagai sebagai seorang pemimpin, harus bisa menjalankan amanat rakyat, membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat, peduli lingkungan dan tidak melakukan KKN. Sebagai rakyat, bagaimana mampu mengontrol kekuasaan dengan seksama, membuat evaluasi pemerintahan yang baik dan tidak apatis. Juga tidak membuat kebijakan sendiri, yang menerjang aturan yang sudah ada.
Dengan bencana, kita menjadi sadar. Bahwa bencana bisa disebabkan banyak hal, karena diri sendiri, karena lingkungan dan bisa juga karena orang lain. Bencana, juga seharusnya membuat kita bijak, dan semestinya membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. (*)
Senin petang kemarin, kembali sebuah bencana mendera Indonesia. Ya, gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah-Jogjakarta meletus. Meletusnya Merapi ini memang sudah diprediksi, mulai dari status waspada, awas, hingga dinyatakan bahaya.
Sehari sebelumnya, juga dikabarkan dengan gempa yang melanda Sumatera Barat. Sejumlah warga tewas, bahkan sempat dikhawatirkan terjadinya tsunami, meski hanya kecil. Namun tetap saja korban jiwa berjatuhan, begitu juga dengan korban materi.
Begitu juga dengan banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Ratusan nyawa terseret air bah yang tiba-tiba melintasi pemukiman warga. Seolah bencana memang menjadi identik dengan Indonesia. Karena setiap saat bencana itu bisa saja terjadi, mulai dari gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, longsor, hingga angin puting beliung. Seolah-olah datang silih berganti, mendera wilayah dan penduduk Indonesia.
Terjadinya bencana ini memang banyak sebabnya. Ada yang mengatakan bahwa bencana yang terjadi di Indonesia ini karena letak geografis dan geologis Indonesia, yang berada di batas lempeng benua, sehingga rawan terjadi gempa. Begitu juga dengan gunung merapi, yang berdiri berjejer di sepajang jalur pegunungan antara Asia dan Australia.
Namun ada juga yang mengatakan, bahwa terjadinya bencana ini karena penduduknya sudah banyak melakukan dosa, maksiat dan berbagai macam kejahatan lainnya. termasuk kejahatan terhadap alam, merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. Bahkan ada sekelompok organisasi, yang kerap melakukan razia sendiri dengan alasan membongkar maksiat yang terjadi.
Ada pula yang mengatakan, bahwa bencana ini karena para pemimpin negara sudah tidak melaksanakan amanat dari rakyatnya. Lebih banyak memikirkan diri sendiri, kelompok dan partainya masing-masing. Hingga akhirnya rakyat pun banyak yang menyumpahinya. Maka, terjadilah bencana.
Tapi yang jelas, bahwa bencana itu bisa datang kapan saja, di mana saja. Bisa juga merenggut nyawa kita, nyawa keluarga kita, teman dan tetangga, atau kita bersama-sama. Begitu juga materi, semuanya bisa hancur dalam sekejap. Ketika terjadi bencana, apa yang harus dilakukan? Apakah mencari kambing hitam, yang sering kali menyelinap di antara bencana yang datang, atau bagaimana? Menyalahkan pemimpin, menyalahkan pemerintah, atau menyalahkan diri sendiri bahkan menyalahkan orang lain.
Mungkin tak ada yang bisa diperbuat banyak. Hanya ada pikiran, bagaimana bisa selamat dari bencana yang datang tiba-tiba tersebut. Mengindari bencana, mencari tempat yang aman. Tidak ada kesempatan untuk menyalahkan orang lain, apalagi mencari kambing hitam yang tak jelas rimbanya.
Lantas, bagaimana dengan kita yang tak terkena bencana? Hanyakah menontonnya di televisi, membacanya diberita atau mendengarkan saja di radio? Bolehlah kita menonton teleisi, membaca berita dan mendengarkan koran, tapi juga harus prihatin dan segera bertindak. Bertindak nyata, bukan kata-kata.
Bukan hanya sekedar membantu dana, tapi juga membantu secara riil. Yakni sebagai sebagai seorang pemimpin, harus bisa menjalankan amanat rakyat, membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat, peduli lingkungan dan tidak melakukan KKN. Sebagai rakyat, bagaimana mampu mengontrol kekuasaan dengan seksama, membuat evaluasi pemerintahan yang baik dan tidak apatis. Juga tidak membuat kebijakan sendiri, yang menerjang aturan yang sudah ada.
Dengan bencana, kita menjadi sadar. Bahwa bencana bisa disebabkan banyak hal, karena diri sendiri, karena lingkungan dan bisa juga karena orang lain. Bencana, juga seharusnya membuat kita bijak, dan semestinya membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. (*)
Komentar
Posting Komentar