Nasib Menjadi TKI
Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mungkin menjadi pilihan terakhir bagi sebagian orang. Daripada tidak mendapat pekerjaan, lebih baik ke luar negeri yang membutuhkan tenaganya. Meski hanya sekedar menjadi pembantu rumah tangga, tetapi mendapat bayaran yang cukup besar jika dibandingkan dengan bekerja di dalam negeri.
Namun ada juga yang memang bercita-cita ke luar negeri, meski harus menjadi TKI terlebih dahulu. Ibarat kata, jalan-jalan ke luar negeri tapi sambil bekerja. Mungkin ini akan lebih mengena bagi mereka yang tidak mau disebut TKI. Agak gengsi mungkin disebut TKI. Lantaran memang nasib TKI selalu menjadi cibiran di negeri seberang, khususnya di negeri jiran Malaysia.
Menjadi TKI, selain harus rela berjauhan dengan keluarga, juga mampu beradaptasi dengan lingkungan dan budaya negara setempat. Begitu pula dengan bahasa yang digunakannya, juga harus bisa dipahami. Jika tidak, maka muncul banyak persoalan, mulai dari mis komunikasi hingga terjadi kesalahpahaman dalam memahami suatu perintah. Karena bagaimana pun juga, perintah majikan bisa saja ditangkap salah seorang TKI yang menjadi PRT. Itu tidak lain karena rendahnya kemampuan bahasa yang digunakannya.
Selain menghadapi masa kontrak minimal dua tahun, dia juga tetap memiliki kewajiban kepada keluarganya di dalam negeri. Khususnya bagi yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Nah, di sisi inilah yang kadang membuat lebih miris bagi seorang tenaga kerja wanita (TKW). Sudah susah-susah bekerja dan mengumpulkan uang, eh uang yang dikirim malah digunakan sang suami untuk mencari istri lagi. Sungguh terlalu...
Bukan itu saja, beberapa kasus hukum juga sering menimpa TKI atau TKW di luar negeri. Bahkan ada beberapa di antaranya yang dihukum mati, huku pancung di Arab Saudi, dan juga beberapa negara lain. Bahkan terakhir, tiga orang TKI asal NTB di Malaysia, ditembak polisi hingga tewas karena diduga melakukan tindak kejahatan. Dan yang lebih parah lagi, ketiga jenazah yang dipulangkan ke daerah asalnya, banyak terdapat kejanggalan. Ada banyak jahitan di ketiga jenazah TKI tersebut. Diduga ada pencurian organ tubuh dan diperjualbelikan secara ilegal.
Keluarga korban yang curiga pun meminta pemerintah melakukan otopsi ulang untuk melihat kecurigaan tersebut. Dan berdasarkan hasil otopsi, kecurigaan keluarga terbukti benar. Dari hasil otopsi yang dilakukan, beberapa organ tubuh jenazah TKI itu hilang. Di antaranya otak, mata, jantung dan ginjal. Berdasarkan pemberitaan media massa, beberapa negara menjadi tempat penjualan organ tubuh tersebut yang dilakukan secara ilegal. Ini membuktikan, bahwa TKI dianggap sebagai masyarakat rendahan di negeri seberang.
Bagi sebagian mereka, TKI mungkin kelas terendah dibanding warga negara Malaysia yang terdiri dari beragam etnis dan bangsa. Hingga tak heran, ketika ada segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia, tidak dianggap apa-apa. Paling tidak, itu terlihat dari penanganan sejumlah kasus yang mendera TKI. Seperti kasus dugaan penjualan organ tubuh tersebut. Meski dibantah oleh pihak Malaysia, namun bukti sudah memperlihatkan adanya praktek-praktek terlarang tersebut.
Pemerintah Indonesia harus bersikap, jangan membiarkan kasus ini. Harus ada penyelidikan intensif, siap yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. Bahkan beberapa anggota DPR RI meminta Pemerintah Indonesia mengangkat masalah ini k PBB. Karena tindakan ini adalah tindakan di luar batas kemanusian dan pelanggaran HAM tinggi. Penjualan organ tubuh tanpa izin. Belum lagi kasus yang dituduhkan, apakah benar atau tidak. (*)
Namun ada juga yang memang bercita-cita ke luar negeri, meski harus menjadi TKI terlebih dahulu. Ibarat kata, jalan-jalan ke luar negeri tapi sambil bekerja. Mungkin ini akan lebih mengena bagi mereka yang tidak mau disebut TKI. Agak gengsi mungkin disebut TKI. Lantaran memang nasib TKI selalu menjadi cibiran di negeri seberang, khususnya di negeri jiran Malaysia.
Menjadi TKI, selain harus rela berjauhan dengan keluarga, juga mampu beradaptasi dengan lingkungan dan budaya negara setempat. Begitu pula dengan bahasa yang digunakannya, juga harus bisa dipahami. Jika tidak, maka muncul banyak persoalan, mulai dari mis komunikasi hingga terjadi kesalahpahaman dalam memahami suatu perintah. Karena bagaimana pun juga, perintah majikan bisa saja ditangkap salah seorang TKI yang menjadi PRT. Itu tidak lain karena rendahnya kemampuan bahasa yang digunakannya.
Selain menghadapi masa kontrak minimal dua tahun, dia juga tetap memiliki kewajiban kepada keluarganya di dalam negeri. Khususnya bagi yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Nah, di sisi inilah yang kadang membuat lebih miris bagi seorang tenaga kerja wanita (TKW). Sudah susah-susah bekerja dan mengumpulkan uang, eh uang yang dikirim malah digunakan sang suami untuk mencari istri lagi. Sungguh terlalu...
Bukan itu saja, beberapa kasus hukum juga sering menimpa TKI atau TKW di luar negeri. Bahkan ada beberapa di antaranya yang dihukum mati, huku pancung di Arab Saudi, dan juga beberapa negara lain. Bahkan terakhir, tiga orang TKI asal NTB di Malaysia, ditembak polisi hingga tewas karena diduga melakukan tindak kejahatan. Dan yang lebih parah lagi, ketiga jenazah yang dipulangkan ke daerah asalnya, banyak terdapat kejanggalan. Ada banyak jahitan di ketiga jenazah TKI tersebut. Diduga ada pencurian organ tubuh dan diperjualbelikan secara ilegal.
Keluarga korban yang curiga pun meminta pemerintah melakukan otopsi ulang untuk melihat kecurigaan tersebut. Dan berdasarkan hasil otopsi, kecurigaan keluarga terbukti benar. Dari hasil otopsi yang dilakukan, beberapa organ tubuh jenazah TKI itu hilang. Di antaranya otak, mata, jantung dan ginjal. Berdasarkan pemberitaan media massa, beberapa negara menjadi tempat penjualan organ tubuh tersebut yang dilakukan secara ilegal. Ini membuktikan, bahwa TKI dianggap sebagai masyarakat rendahan di negeri seberang.
Bagi sebagian mereka, TKI mungkin kelas terendah dibanding warga negara Malaysia yang terdiri dari beragam etnis dan bangsa. Hingga tak heran, ketika ada segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia, tidak dianggap apa-apa. Paling tidak, itu terlihat dari penanganan sejumlah kasus yang mendera TKI. Seperti kasus dugaan penjualan organ tubuh tersebut. Meski dibantah oleh pihak Malaysia, namun bukti sudah memperlihatkan adanya praktek-praktek terlarang tersebut.
Pemerintah Indonesia harus bersikap, jangan membiarkan kasus ini. Harus ada penyelidikan intensif, siap yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. Bahkan beberapa anggota DPR RI meminta Pemerintah Indonesia mengangkat masalah ini k PBB. Karena tindakan ini adalah tindakan di luar batas kemanusian dan pelanggaran HAM tinggi. Penjualan organ tubuh tanpa izin. Belum lagi kasus yang dituduhkan, apakah benar atau tidak. (*)
Komentar
Posting Komentar