Kiai dan Politik

Menjelang ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada), pasti diwarnai dengan dukung-mendukung calon tertentu oleh elemen tertentu pula. Seperti akhir-akhir ini di Kabupaten Brebes, yang sebentar lagi bakal memasuki tahapan Pilkada. Salah satu dukungan politik kepada calon bupati atau pun wakil bupati ini dilakukan sejumlah ulama dan kiai. Banyak pihak yang pro dan kontra atas dukungan politik yang disampaikan para kiai dan ulama tersebut. Sebagian juga mempertanyakan maksud di balik dukungan tersebut.
Beberapa pihak menyatakan bahwa dukungan politik ulama dan kiai itu adalah hal yang wajar menjelang Pilkada. Namun ada juga yang tidak setuju terhadap sikap kiai tersebut. Hal itu wajar, karena pengaruh seorang ulama atau kiai di masyarakat sangat besar. Bahkan ada sebagian warga yang menentukan sikap politiknya menunggu sikap politik kiai dan ulama yang diikutinya. Ada juga yang kebetulan pilihan politiknya sama.
Bagi mereka yang setuju, beralasan bahwa kiai juga mempunyai hak politik, yakni memberikan dukungan kepada seseorang yang dianggap memenuhi kapabilitas dan kredibilitas untuk dijadikan pemimpin. Namun ada juga yang beranggapan, bahwa dukungan itu hanya dukungan moral dan tidak hanya diberikan kepada salah satu calon pemimpin yang ada. Bisa juga dukungan yang diberikan itu, hanya sekedar dukungan moral, agar mereka yan hendak maju dalam Pilkada memiliki semangat yang telah digariskan para ulama tersebut.
Sementara bagi yang tidak setuju kiai memberikan dukungan politik beralasan bahwa ketika kiai terlibat politik praktis, maka akan menyebabkan umat terpecah belah. Karena bisa saja antara satu ulama atau kiai dengan ulama yang lain berbeda dukungan. Masyarakat tentu akan bingung, harus mengikuti kiai yang mana dalam menentukan dukungan politiknya tersebut. Begitu pula ada yang beranggapan bahwa suara para kiai dan ulama itu hanya digunakan untuk kepentingan sesaat saja. Setelah jadi, para ulama itu justru ditinggalkan dan dilupakan. Khususnya terkait dengan pesan-pesan yang diberikan kepada calon tersebut jika dipercaya dan menjadi pemimpin suatu daerah. 
Anggapan bahwa kiai atau ulama yang berpolitik ini, memang sempat menjadi isu sensitif selama masa Orde Baru. Di mana kiai dan ulama, tidak diperbolehkan ikut dalam politik praktis, seperti menjadi anggota partai politik maupun menjadi anggota legislatif. Anggapan itu pun hingga saat ini masih membekas di beberapa kalangan masyarakat. Bahwa kiai yang terlibat politik praktis, cenderung ditinggalkan karena sudah terlibat dalam kelompok-kelompok tertentu. Padahal adanya ulama dan kiai di masarakat sendiri seharusnya menjadi wadah pemersatu umat, tidak terlibat dalam golongan-golongan tertentu.
Kalau melihat sejarah perkembangan politik Islam, bahwa kekuasaan Islam tidak pernah lepas dari pengaruh para ulama dan kiai. Bahkan sebagian dari pemimpin umat Islam saat itu adalah dari kalangan ulama atau kiai, termasuk juga dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Saat itu boleh dikatakan, bahwa peranan ulama atau kiai dalam lingkaran kekuasaan itu sangat besar.
Istilah yang sering didengar saat ini adalah hubungan antara ulama dan umaro, di mana seorang pemimpin dan ulama harus saling berkomunikasi dalam membangun suatu daerah. Namun hubungan di situ, posisi ulama bukan hanya sekedar pembaca doa saja dalam kegiatan pemerintahan. Tetapi para ulama itu memiliki peranan penting dalam perjalanan pemerintahan. Selain memberikan masukan, para ulama dan kiai itu juga berperan sebagai pengawas yang kritis atas apa yang terjadi dalam sistem pemerintahan.
Karenanya, sebelum pemilihan seorang pemimpin, peran ulama juga sangat penting. Di mana ulama membeirkan rambu-rambu tertentu kepada masyarakat, agar bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa memimpin. Dalam hal ini, tentunya para ulama dan kiai itu tidak memberikan dukungan kepada perorangan. Namun pastinya memberikan dukungan kepada semua pihak, kepada semua calon yang memiliki komitmen untuk membangun daerah. (*)

Komentar

Postingan Populer