Dahlan Iskan

Saya menjadi wartawan Radar Tegal sejak akhir 2003 hingga sekarang. Radar Tegal ini merupakan salah satu media yang bernaung di bawah Jawa Pos Group. Dan yang menjadi big bos adalah Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi Menteri Negara BUMN. Sebelumnya Dahlan Iskan ditunjuk SBY menjadi Direktur PLN. Namun saya tidak pernah bertemu secara langsung dengan big bos Jawa Pos Group tersebut, baik semasa kuliah di Surabaya hingga sekarang ini menjadi anak buahnya. Saya hanya mengenal beliau ini karena posisinya sebagai big bos Jawa Pos, dan juga tulisan-tulisannya di Jawa Pos, termasuk yang dimuat juga di Radar Tegal.
Kadang penasaran juga, siapa sih Dahlan Iskan itu? Wong dulunya dia juga sama dengan kedudukan saya sekarang, sebagai wartawan. Mungkin karena keberuntungan, atau justru karena kewartawanannya, hingga dia akhirnya menjadi orang nomor satu di Jawa Pos. Keberuntungan, karena saya yakni Dahlan Iskan itu seorang muslim, yang tentu saja percaya dengan keputusan Tuhan. Namun tanpa usaha yang keras, keberuntungan yang diperoleh Dahlan Iskan tentu tidak seperti sekarang. Keberuntungan yang lain, dia berhasil menjalani cangkok hati dan sampai sekarang masih sehat.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengupas keberuntungan Dahlan Iskan. Namun lebih pada tindakan dan perilaku dia sebagai seorang menteri, yang sering dianggap nyleneh dan tetapi banyak mendapat pujian. Mulai dari kebiasaan dia berpakaian dan bersepatu, hingga kehidupan sehari-harinya selama menjadi menteri. Banyak yang memuji dengan langkah-langkah yang dia lakukan, namun ada juga yang tidak senang. Katanya hanya cari populritas saja, mau nyalon jadi presiden.
Sebagai anak buah di Jawa Pos, saya husnudzon saja, bahwa apa yang dilakukan Dahlan Iskan bukan hanya untuk mencari popularitas. Tetapi sebagai terobosan seorang pemimpin, yang memiliki wewenang untuk melakukan sesuatu yang terbaik, melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik. Beberapa kebijakan, seperti saat masih menjabat Dirut PLN, dia menargetkan bebas pemadaman listrik bergilir. Itu bukan tanpa usaha dan daya, tapi kebijakan itu diwujudkan dengan sejumlah program, yang hingga saat ini masih berjalan. Bukan untuk menyanjung karena dia big bos saya, tapi karena memang kenyataannya seperti itu.
Yang baru saja terjadi, Dahlan Iskan ngamuk di pintu tol Jakarta. Di mana saat itu dia hendak masuk tol, ternyata antriannya panjang. Setelah dilihat, dari beberapa pintu tol itu, tidak semuanya dibuka. Dia pun turun dari mobil dan membuka pintu tol dan mbil-mobil yang antri itu pun dibiarkan masuk tanpa membayar. Berita itu mendapat apresiasi positif dari pembacanya, ada yang menyanjung, mendukung dan meminta agar langkah Dahlan Iskan ini ditiru oleh menteri yang lain. Wartawan yang mewawancarai menteri lain, terkait dengan aksi Dahlan Iskan di pintu tol itu, malah membuat pembaca kecewa terhadap menteri tersebut. Justru seharusnya menteri itu belajar dari sikap Dahlan Iskan. Ini wartawannya yang sengaja membandingkan Dahlan Iskan dengan menteri tersebut atau memang ada hidden agenda dari wartawan tersebut. Tak tahulah.
Banyak catatan Dahlan Iskan, yang semuanya tidak saya baca, menceritakan langkah dan kebijakan yang dia ambil. Tentu saja beserta alasan dan tujuan yang hendak dicapai. Tulisan-tulisan itu dibuat sendiri, di tengah kesibukannya sebagai seorang menteri. Sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada, menteri yang masih menyempatkan diri untuk menulis, apalagi menulis kolom di surat kabar.
Harus diakui, catatan yang dia buat sangat enak dibaca. Mengalir lancar, tidak seperti tulisan saya yang masih ngalor ngidul, masih banyak salah kata, kalimat yang tidak nyambung. Padahal jauh sebelum Dahlan Iskan jadi menteri, beliau sudah mewanti-wanti para wartawannya agar mampu membuat tulisan yang enak dibaca. Jawa Pos pun sudah menerbitkan buku pintar, yang menjadi pegangan untuk semua wartawannya.
Saya berharap, beberapa orang saja, termasuk di daerah, bisa meniru langkah yang dilakukan Dahlan Iskan. Sebagian saja, tidak perlu semuanya. Tentu sambutan masyarakat akan baik. Jangan malah baru jadi pejabat saja, sombongnya bukan main. Paling tidak, saya juga mencoba meniru big bos saya. Salah satunya menulis ini, membuat sebuah catatan ringan. Dahlan Iskan sendiri mungkin tidak pernah membaca tulisan saya ini. Kalau dia membaca tulisan ini, mestinya dia mengundang saya ke Jakarta untuk ngobrol. (*)

Komentar

Postingan Populer