Tersumbatnya Komunikasi Politik Pasangan Kepala Daerah

Keberadaan manusia sebagai makhluk politik menjadikan semuanya ingin menguasai atas manusia yang lain. Sebelum demokrasi muncul di dunia modern, dalam memperebutkan kekuasaan yang diutamakan adalah kekuaatan otot. Sehingga timbullah peperangan dan persaingan politik di dalamnya. Bahkan mereka yang sebelumnya bersekutu saja, kemudian balik saling berperang untuk mendapatkan kekuasaan.

Dalam dunia modern sekarang ini, perebutan kekuasaan sudah diwadahi dalam sistem demokrasi modern, yakni dengan diadakannya Pemilu. Sehingga tidak ada lagi peperangan yang menimbulkan korban jiwa. Bukan hanya jiwa, harta dan benda pun tidak sedikit yang turut hancur. Hingga untuk memulihkan kondisi akibat peperangan itu butuh waktu bertahun-tahun.

Persaingan pasca Pemilu atau Pilkada dalam sistem demokrasi itu sudah diatur sedemikian rupa. Ketika ada ketidakpuasan, ada mekanisme gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Jika upaya tersebut gagal, masih ada peluang di Pemilu atau Pilkada berikutnya. Selama masa-masa itu, tentu bagi calon yang belum berhasil, masih mempunyai kesempatan untuk menarik simpati rakyat. Begitu pula dengan yang memenangkan Pemilu, juga mempunyai kesempatan untuk memenuhi janji-janjinya selama masa kampanye. Sehingga ke depan, saat Pemilu atau Pilkada periode berikutnya mencalonkan lagi, rakyat masih memiliki seimpati.

Dalam pemilihan kepala daerah, bahkan kepala negara, yang dipilih berpasang-pasangan dalam suatu koalisi, kemungkinan terjadinya pecang koalisi sangat mungkin terjadi. Biasanya, pecah kongsi itu terlihat di tahun ketiga, atau dua tahun menjelang Pilkada atau Pemilu. Masing-masing tentu ingin menjadi pemimpin semua, menjadi pemenang dan berkuasa penuh, bukan hanya sekedar pendamping.

Hasrat untuk menjadi pemenang dan berkuasa itu lah yang menjadikan pasangan kepala daerah itu pecah kongsi di tengah jalan. Sehingga dalam Pilkada berikutnya, pasangan yang bersekutu itu kemudian berjalan sendiri-sendiri dan bersaing dalam Pilkada berikutnya. Peristiwa itu merupakan peristiwa yang wajar dalam dunia politik. Sebagai rakyat, tidak usah terbawa perasaan (baper) atas peristiswa politik tersebut. Nikmati dan saksikan saja pertunjukkan politik tersebut, siapa yang bakal memenangkan persaingan politik tersebut. Toh, yang bakal memenangkan dan menjadikan mereka berkuasa adalah rakyat itu sendiri.

Kenapa dan mengapa terjadi pecah koalisi di antara pasangan penguasa pemenang Pilkada tersebut? Selain yang disebutkan di atas, juga bisa terjadi karenanya tersumbatnya komunikasi politik di antara keduanya. Padahal komunikasi politik itu menjadi pondasi awal agar kekuasaan yang diusung bersama itu bisa bertahan selama-lamanya. Namun dalam sistem demokrasi di Indonesia, kekuasaan tersebut dibatasi hanya maksimal dua periode saja.

Komunikasi politik ini mestinya dibangun sejak awal koaliasi. Komitmen bersama untuk mensukseskan pembangunan di daerahnya pasca Pilkada harus menjadi tujuan utama pasangan pemimpin tersebut. Berbagi tugas dan saling mengisi kekuarangan masing-masing, akan menjadikan pasangan yang serasi. Bukan ego masing-masing yang ditonjolkan, yang kemudian menjadi perseteruan politik di daerah tersebut. Jika itu dibiarkan, yang terjadi adalah disharmoni pasangan calon yang belum menyelesaikan tugas lima tahunnya tersebut.

Disharmoni dan tersumbatnya komunikasi politik akan semakin parah jika ada pihak yang memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan politinya sendiri pula. Istilahnya kompor, dari suatu peristiswa kecil, yang kemudian membesar dan akhirnya terbakar bersama. Dalam masa kerajaan dulu, disharmoni ini akan menghasilkan peperangan atau pengkhianatan, hingga pengasingan bagi seteru politiknya di kerajaan tersebut. Sekarang pun juga sama, hanya istilahnya saja yang berbeda.

Lantas, apa yang mesti dilakukan oleh para sesepuh yang peduli terhadap kondisi daerah tersebut? Apakah hanya menjadi penonton dan bertepuk tangan ketika pertarungan semakin asyik dan menunggu siapa yang bakal menang? Tentu tidak. Harus ada upaya untuk mendinginkan suasan, dengan membuka komunikasi politik di antara keduanya. Baik melalui orang-orang dekatnya terlebih dahulu, hingga mempertemukan keduanya secara langsung dalam suatu obrolan yang santai.

Yang harus diperhatikan, kedua pihak yang saling berseteru itu jangan lagi mengedepankan egonya masing-masing. Namun menyadari kesalahan dan kelemahannya untuk menjadi bahan instrospeksi. Sehingga komunikasi politik politik yang tersebut itu akan kembali cair. Perlu soda api untuk melancarkan saluran yang mampet, bukan kompor gas yang membakar.

Tradisi ngopi dan moci adalah tradisi untuk membuka kran komunikasi antar personal. Termasuk dalam tragedi pecah kongsi antarpasangan kepala daerah yang berseteru. Mungkin mereka sudah jarang ngopi atau moci. Suasana akan lebih asyik jika ditambah dengan gorengan dan kletikan yang renyah. Hingga rakyat yang melihatnya dari kejauhan, hanya mendengar suara tawa yang renyah, bukan amarah dan sumpah serapah. (*) 

Diterbitkan Pantura Pos 25 Februari 2021

Komentar

Postingan Populer