Menunggu Suara Kiritis Wartawan

Hari ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memperingati hari ulang tahunnya yang ke 75. HUT PWI ini juga ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional, yang pada tahun ini mengusung tema “ Bangkit Dari Pandemi, Bersama Pers Sebagai Akselerator Perubahan”. Bukan tanpa arti jika tema itu diusung dalam HUT kali ini. Tetapi ada yang lebih penting menurut penulis dalam era digitalisasi pers ini, yakni menunggu suara kritis wartawan.

Akselerator perubahan, bagi saya berarti berarti suara kritis wartawan dalam menyikapi situasi dan kondisi di daerah maupun nasional. Suara kritis ini bukan asal berbeda dengan pemerintah ataupun nyinyir atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Namun betul-betul mengkritisi kebijakan pemerintah yang kurang tepat, disertai data dan analisis yang berdasarkan keilmuan yang ada. Sehingga ketika menjadi berita, maka menjadi berita yang berbobot.

Suara kiritis wartawan ini bisa berasal dari ide wartawan itu sendiri. Atau juga hasil diskusi antarwatawan ketika sedang menunggu narasumber. Bisa juga dari diskusi dengan narasumber atau akademisi yang berkompeten di bidangnya. Dari hasil diskusi itu kemudian dijadikan berita, dengan narasumber yang berkompeten dan diimbangi dengan jawaban instansi terkait.

Memang agak sulit di tengah situasi santernya berita-berita hoax, yang bisa saja berita tersebut dipelintir dan digunakan oleh segelintir orang untuk kepentingan tertentu. Di sini integritas dan obyektivitas wartawan patut dipuji dan diuji, agar keberadaan pers sebagai pilar keempat demokrasi ini tetap berjalan sesuai dengan relnya.

Sikap kritis wartawan ini menjadi keharusan, karena hanya melalui media ini suara rakyat dapat tersampaikan kepada pemerintah. Apa yang menjadi keinginan, apa yang menjadi keluhan bisa langsung sampai kepada pembuat kebijakan. Bagi rakyat kecil, untuk menyampaikan unek-uneknya kepada pemerintah, bukan hal yang gampang. Untuk ketemu saja, harus melalui alur birokrasi yang mbulet, hingga tidak dianggap sama sekali. Meskipun tidak semua intansi atau lembaga memperlakukan seperti itu.

Bagi sebagian masyarakat, mungkin untuk mencapai akses ke media agak susah, apalagi mengenal sosok wartawannya. Maka biasanya aspirasi rakyat ini tersalurkan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Melalui ormas atau LSM ini, suara rakyat sudah terwakilkan, minimal masyarakat yang aktif melalui ormas tersebut.

Dengan menyampaikan langsung melalui media, maka pejabat yang berkaitan bisa langsung membacanya. Apalagi jika berita tersebut viral di media sosial, yang berarti suara yang disampaikan media itu sesuai dengan keinginan banyak rakyat. Dinas dan lembaga terkait pun harus segera menyikapi apa yang disampaikan media tersebut. Dan media juga wajib menindaklanjuti berita dengan memberitakan apa yang dilakukan dinas dan lembaga tersebut.

Ketika berita yang disuarakan media tidak direspon, sudah seharusnya media tersebut terus membuat  kelanjutan beritanya. Ada dua hal yang harus disikapi wartawan jika berita yang dimunculkan tersebut tidak direspon. Yang pertama, responsivitas lembaga terhadap suara rakyat tidak ada. Kedua, suara wartawan tersebut sudah tidak dianggap.

Jika yang kedua yang terjadi, wartawan harus sadar dari tidurnya, bahwa apa yang disuarakan rakyat melalui media saja tidak dianggap, maka suara rakyat yang sesuangguhnya pasti tidak lebih dianggap lagi. Maka tidak salah, jika media menjadi oposisi dari pemerintahan setempat, khususnya di dinas atau lembaga tersebut. Pasti suatu saat pimpinan lembaga tersebut akan merespon, karena gerahnya atas pemberitaan tersebut.

Masyarakat melalui perwakilan ormas atau LSM pun juga akan gerah dan marah, ketika aspirasi yang disampaikan itu tidak direspon lembaga yang bersangkutan. Langkah-langkah untuk menindaklanjuti pemberitan itu bisa dilakukan, baik berupa aksi maupun demonstrasi. Di sinilah peran media dan wartawan untuk mengawal suara rakyat agar didengar oleh pemerintah. Sehingga apa yang disebut akselerator perubahan benar-benar berfungsi.

Tentu di tengah pandemi seperti ini, aksi-aksi kerumunan massa harus dihindari. Sehingga suara rakyat melalui media massa ini sangat penting. Karena para pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar suara rakyat, baik secara langsung maupun melalui media. Dan yang paling penting adalah tindak lanjut dari apa yang sudah disuarakan melalui media tersebut.

Harus diakui, untuk menjadi wartawan yang kritis tidak mudah. Selain bimbingan dari para redaktur di medianya masing-masing, juga perlu saling menguatkan antara satu wartawan dengan wartawan lainnya. Semua sepakat jika ada informasi dari masyarakat yang disertai data, untuk disampaikan kepada pemerintah, maka semuanya memberitakan. Sebagai pembaca tentu sikap dan suara kritis wartawan ini sangat ditunggu. Agar media massa ini bukan hanya sekedar corong pemerintah saja. (*)

Diterbitkan Pantura Post 9 Februari 2021

 

Komentar

Postingan Populer