Iri dengan Kota Tetangga

Tiba-tiba saja ingin menulis, bagaimana menata Kota Brebes. Yang dalam bulan Januari 2021 ini bakal berusia 343 tahun. Betapa tidak, kota tetangga baru saja membuat banyak orang terperangah dan kaget. Hingga orang pun berduyun-duyun walau sekedar untuk selfi dan pamer foto di facebook, instagram, twitter maupun media sosial lainnya. Sebuah ikon kota yang menyatukan modernitas dan peninggalan sejarah yang ada.

Hingga pemerintah setempat pun kuwalahan mengatur warga tersebut, karena masih dalam masa pandemi. Di mana kerumunan warga yang tidak terkontrol dikhawatirkan menjadi wahana penyebaran covid-19. Padahal jumlah penderita penyakit itu kian meningkat setiap harinya. Bahkan akhirnya pemerintah setempat pun menutup lokasi itu, yang baru saja diselesaikan pembangunannya pada akhir tahun 2020 tersebut. Walikota pun belum sempat meresmikan pembangunan yang bakal jadi ikon kota tersebut.

Pada awalnya memang banyak mendapat protes, bahkan demonstrasi dari beberapa elemen masyarakat. Pembangunan sudah mendapat persetujuan dari DPRD setempat, yakni dengan disahkannya APBD. Namun dalam pelaksanaannya, sejumlah wakil rakyat tetap mengkritisi pembangunan tersebut. Karena harus merubah dan menggusur aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Bahkan mengubah fungsi fasilitas yang ada di kota tersebut. Namun walikota tetap bergeming dengan programnya tersebut.

Informasinya, masih ada program prestisius lainnya yang akan digarap di lokasi tersebut. Entah program apalagi, bisa dicermati di APBD tahun 2021 yang sudah digedog akhir tahun 2020 lalu. Yang pasti, ada keberanian untuk membangun kota itu agar bisa bersaing dengan kota-kota besar lainnya. Sehingga mampu mengundang orang, bukan sekedar mampir, tetapi menjadi tujuan ke kota tersebut. Ada ide-ide kreatif untuk menata kota, agar benar-benar disebut kota, paling tidak sama atau meniru dengan kota yang sudah berbenah terlebih dahulu.

Sebagai warga Brebes, yang sudah tinggal sejak lahir, tentu juga ingin agar kotanya berbenah. Tidak kalah dengan kota tetangga, atau paling tidak biar tidak kalah jauh. Sehingga bisa pamer dan selfi di kota sendiri, di media sosial yang ada. Kan repot juga, ketika ditanya kok selfinya selalu di luar kota. Padahal, Kabupaten Brebes, yang terdiri dari pegunungan hingga pantai, banyak yang bisa dijadikan wahana selfi. Memang kelihatannya hanya untuk narsis saja. Tetapi dibalik itu, tentu ada nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.

Kota Brebes, dari yang saya ingat sejak SMP, sekitar tahun 1990-an, sepertinya tidak ada perubahan berarti. Perubahan pasti ada, tetapi tidak signifikan dan mampu mengangkat nama besar Brebes, dengan telur asin dan bawang merahnya. Hanya alun-alun Kota Brebes, yang tadinya ada jalan tengah, sekarang tidak ada. Tidak ada yang menonjol dari alun-alun tersebut. Bahkan beberapa pengalaman, teman dari luar kota selalu kebablasan ketika hendak menuju alun-alun Brebes. Baik dari arah Jakarta maupun Semarang.

Kondisi jalan yang melingkarinya pun tidak begitu apik, bahkan cenderung rusak. Bahkan setiap hujan deras, kawasan alun-alun dipastikan banjir, meskipun beberapa jam kemudian surut. Trotoar yang mengitari alun-alun juga masih menggunakan paving, yang dipandang mata sudah ketinggalan jika masih dipasang di pusat kota. Ada sebagian yang sudah diganti keramik, namun tidak ada perawatan rutin, sehingga jika dipandang membikin mata perih dan prihatin. Karena sepertinya tidak ada petugas khusus untuk merawat alun-alun. Trotoar dari paving memang tidak perlu disapu, karena debunya tidak terlihat. Tapi kalau dari keramik, maka harus disapu supaya tetap bersih dan indah dipandang.

Pembangunan beberapa taman kota harus diakui menjadi salah satu keberhasilan pembangunan di Kota Brebes. Namun sayangnya, masih hanya sebatas pembangunan, belum sampai pada pemaksimalan fungsi taman dan pemeliharaannya sebagai tempat untuk bersantai dan, sekali lagi untuk ajang selfi dan pamer di medsos.

Beberapa jalan protokol di Kota Brebes pun kondisinya sangat memprihatinkan. Sempit dan berlubang. Sudah sempit menjadi tempat parkir pula. Sedangkan trotoarnya hanya selebar satu meter, yang sangat tidak nyaman untuk pejalan kaki. Sebut saja Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan MT Haryono, jalan-jalan di Kelurahan Brebes dan Pasarbatang. Di jalan utama saja, seperti Jalan Jenderal Soedirman, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gajahmada, kondisinya juga memprihatikan. Trotoar masih dari bahan paving, yang sebagian besar sudah hancur. Hingga menyisakan pasir yang berceceran di badan jalan.

Sebagai warga Kota Brebes, tentu ingin menikmati hal-hal sama seperti yang ada di kota tetangga maupun kota-kota besar. Ingin berjalan santai di trotoar yang lebar dan bersih, tanpa harus loncat dan naik turun trotoar yang tinggi. Anak-anak bisa berlari dan bermain di trotoar yang bersih, tanpa takut kotor. Bagi difabel tuna netra, meski sudah ada garis kuning, dipastikan tidak bisa menikmati trotoar tersebut. Ingin rasanya menikmati sore di Kota Brebes dengan secangkir kopi atau teh di ujung jalan, tanpa terganggu.

Mungkinkah Kota Brebes ditata sedemikian rupa, hingga tidak kalah dengan kota sebelah? Seharusnya mungkin. Dibutuhkan keseriusan semua pihak, mulai dari Bupati, kepala OPD, hingga DPRD untuk mengubah ikon Brebes tersebut. Semangat dan keberanian, meskipun awalnya mendapat caci maki maupun krtitik dari masyarakat. Namun itu harus dimulai. Kapan? Ya sekarang! Masa menunggu saya menjadi Bupati?

Mulai dari menata alun-alun, memindah Lapas, tetapi tidak meninggalkan bekas bersejarahnya. Pelebaran sejumlah jalan protokol, seperti jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan MT Haryono, dan jalan-jalan di kelurahan Brebes, Pasarbatang dan Gandasuli. Jalan Veteran, selain dilebarkan, dibuat juga trotoar, minimal 2,5 meter lebarnya. Begitu pula di Jalan GOR, dibuat trotoar yang lebar. Kawasan GOR, juga ditata, bukan hanya sekedar lahan kosong, yang menjadi tempat rongsok kendaraan dan tempat mojok anak-anak muda. Taman-taman yang sudah dibangun, dimaksimalkan perawatan dan pemeliharaannya.

Mahal dong? Ya jelas mahal. Tanya saja berapa anggaran yang digelontorkan di kota sebelah untuk membangun ikon tersebut. Jangan tanggung ketika membangun. Kadakala memang harus tutup telinga rapat-rapat, jika menggelontorkan anggaran besar seperti itu. Namun selagi tidak dikorupsi dan diselewengkan, kenapa takut? Toh, demi kemajuan sebuh kota. China saja, banyak meniru ikon-ikon di dunia, dibangun di sejumlah kota. Hingga warganya tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk sekedar foto selfi di ikon suatu negara.

Ditiru saja, perlu ragu atau malu. Yang penting menata kota, agar tidak ketinggalan dan warganya malu. Brebes, apa sih yang mau dibanggakan? Bawang merah? Sudah banyak daerah yang menanamnya. Telur asin? Bahan bakunya dari luar daerah. Batik? banyak daerah yang lebih terkenal. Terus apa dong? Makanya bangun… Apa iya, menunggu saya menjadi Bupati? Nggak lucu lah. (*)

Diterbitkan Pantura Post 7 Januari 2021

Komentar

Postingan Populer