Menumbuhkan Literasi Politik

Masa pandemi Covid-19 yang entah kapan berakhir, seharusnya menjadi hikmah sendiri bagi setiap orang. Di balik pandemi ini, mestinya dimanfaatkan dengan kegiatan positif daripada mengeluh tanpa arti, apalagi cuma bisa nyinyir atas keputusan yang diambil pemerintah. Hikmah itu antara lain dengan meningkatkan literasi di rumah masing-masing. Seperti diketahui, tingkat literasi masyarakat Indonesia itu masih rendah, apalagi lterasi politik.

Mengapa literasi politik? Di masa yang demokratis ini, kebebasan berpendapat itu dijamin oleh undang-undang. Seperti yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, bahwa kritik kepada pemerintah itu adalah hak setiap warga negara. Namun sebelum mengkritik, seseorang harus tahu apa yang mau dikritik dan apa yang menjadi alasan, serta dasar dalam mengkritik tersebut. Bukan hanya sebatas kritik, yang penting berbeda dengan sikap pemerintah. Di sinilah perlunya literasi politik.

Banyak pihak yang alergi terhadap politik, namun seringkali bersikap seperti politisi bahkan melebihinya. Komentar dan pendapatnya terhadap kondisi politik di tanah air mengalahkan para akademisi kampus. Justru para akdemisi  itu, yang seharusnya memberikan catatan-catatan kritis atas kebijakan pemerintah, karena para akdemisi itu tentunya tidak miskin literasi. Buku-buku tentang politik pasti menjadi sarapan paginya dan isu-isu politik menjadi makan siangnya, dan diakhiri makam malam dengan membuat literasi politik sebagai pengantar tidurnya.

Literasi politik ini sangat penting, paling tidak sebagai bahan bacaan dan pembanding untuk melihat kebijakan pemerintah dan para pengkritiknya. Agar jangan sampai terbawa arus arah politik para poltisi, yang kadang memanfaatkan isu yang tengah berkembang di masyarakat. Apalagi sampai terbawa isu hoax yang sengaja dihembuskan oleh politisi-politisi yang miskin literasi. Sehingga memanfaatkan segala cara untuk menarik simpati dan dukungan.

Yang sekarang banyak terjadi adalah hanya sekedar sharing tanpa saring terlebih dahulu atas isu-isu politik yang sedang ramai. Padahal kadang yang mereka share justru berita-berita hoax, yang dibuat oleh oknum-oknum yang memanfaatkan isu politik tersebut. Memotong, mengganti judul berita atau memelintir berita sesuai dengan keinginannya, menjadi strategi para penyebar hoax. Mereka yang miskin literasi politik, langsung nge-share berita-berita politik tersebut, padahal dia sendiri belum membaca link berita yang di-share tersebut.

Peristiswa tersebut penulis lihat sendiri dalam beberapa WAG maupun media sosial lainnya. Bahkan pada Pemilu 2019 lalu, seseorang paruh baya asal Brebes pun terkena UU ITE karena nge-share berita hoax, yang dirinya sendiri tidak tahu kebenaran berita tersebut. Hingga akhirnya dia sendiri yang terkena sanksi pidana dengan disidangkan di PN Brebes. Tentu banyak masyarakat yang menjadi korban berita hoax tersebut. Namun ketika ditanya, dari mana sumber berita tersebut, ternyata hanya berdasarkan sharing berita yang hoax tersebut dan dia sendiri tidak tahu kebenarannya. Sungguh membuat miris.

Betapa literasi politik ini masih sangat rendah, berdasarkan pengalaman penulis sendiri yang berkecimpung di dunia literasi sejak awal reformasi melalui media blogger. Hal ini terlihat dari beberapa tema tentang politik yang penulis posting maupun muat di media massa, jumlah viewer-nya masih sangat terbatas. Itu pun belum tentu mereka membacanya hingga selesai. Namun ketika yang diposting itu berupa kritik, tetapi yang membangun, baru viewer-nya cukup banyak. Jika hanya sekedar teori dan wacana, jumlah masih sangat terbatas.

Literasi politik ini perlu ditumbuhkan, apalagi menjelang Pemilu, yang mana isu-isu politik pasti akan berkembang. Bukan sekedar isu, hoax pun pasti akan lebih banyak. Dengan adanya literasi politik, diharapkan korban hoax bisa dikurangi. Jika hoax ini meraja lela, maka yang terjadi adalah kegaduhan politik. Dan sekali lagi, kegaduhan politik itu pasti akan dimanfaatkan oleh para politisi yang menghalalkan segala cara untuk mendapat dukungan dan simpati pemilih.

Bagi para politisi yang melek literasi politik, harus mampu melawan hoax tersebut dengan ilmu-ilmu yang didasari literasi politik. Sehingga ulah politisi busuk itu bisa dicegah dan ditangkal semaksimal mungkin. Begitu pula dengan para akademisi, khususnya akademisi yang berkecimpung di ilmu politik dan ilmu pemerintahan. Jangan sampai para akademisi itu diam dan membiarkan terjadinya kegaduhan politik, yang disebabkan minimnya literasi politik. Lebih miris lagi, jika kegaduhan itu dijadikan isu para mahasiswanya, yang dianggap sebagai agent of change. Padahal sekarang ini, ada mahasiswa yang sudah ditunggangi kepentingan politik tertentu untuk menyampaikan isu-isu politik yang diinginkan.

Untuk itu, literasi politik ini sangat penting. Bagi saya sendiri, literasi politik ini akan terus digaungkan, meskipun viewer-nya sedikit. Semangat untuk menumbuhkan literasi politik ini penulis yakini sebagai salah satu langkah perjuangan membangun demokrasi. Jangan sampai demokrasi ini dikotori mereka yang antidemokrasi, dengan memanfaatkan demokrasi. Dan akhirnya menghancurkan demokrasi itu sendiri. (*)

Diterbitkan Radar Tegal, 27 Juli 2021



Komentar

Postingan Populer