Posisi Wakil
Wakil, secara harfiyah ada beberapa pengertiannya. Wakil berarti orang yg dikuasakan menggantikan orang lain. Wakil juga diartikan sebagai orang yg dipilih sebagai utusan negara atau duta. Atau juga berarti orang yg menguruskan perdagangan dan sebagainya untuk orang lain; agen. Kemudian jabatan yg kedua setelah yang tersebut di depannya: wakil ketua. (artikata.com)
Dari pengertian tersebut, wakil sebenarnya tidak begitu penting. Karena bukan orang pertama, bukan yang mengambil kebijakan. Dia hanya kepanjangan dari seseorang yang menduduki jabatan pertama. Namun posisi wakil ini tetap menjadi rebutan, bahkan ada yang rela mengeluarkan uang banyak untuk bisa menajdi wakil. Akhir-akhir ini saja, kata wakil lagi populer. Bahkan menjadi rebutan banyak orang. Itulah posisi wakil, yang sering dipelesetkan dengan awak karo sikil (badan dan kaki).
Seperti dalam isu reshuffle kabinet pemerintahan SBY, yang menambah posisi jabatan wakil menteri. Bahkan posisi wakil menteri ini cukup banyak, bahkan ada kementerian yang memiliki wakil lebih dari satu, seperti di Kemendiknas. Banyaknya posisi wakil menteri ini pun mengundang pro dan kontra. Sebagian mengangap posisi ini tepat, karena sejumlah kementerian mempunyai tugas yang berat. Sehingga seorang menteri saja tidak cukup, harus ada wakilnya. Ada pula yang kontra, karena hal itu membuat kabinet gemuk dan hanya menambah beban anggaran negara saja. Pro kontra ini jelas bisa dikaji dan dinilai dari kemanfaat posisi wakil tersebut.
Jika memang yang ditugasi memimpin tidak sanggup sendiri, jelas harus diisi dengan jabatan wakil. Seperti jabatan presiden, tanpa wakil negara tentunya akn kesulitan dan mengatur warganya. Sehingga selain presiden, harus ada wakil presiden. Hal itu sudah diatur dengan jelas diundang-undang. Begitu pula dengan wakil menteri, juga disebutkan sesuai dengan kebutuhan. Begitu pula jabatan kepala daerah, gubenur ada wakil gubenur. Begitu pula bupati, ada wakil bupati dan walikota, juga ada wakil walikota. Sebelumnya, untuk kepala daerah tidak ada posisi jabatan wakil.
Namun sesuai dengan undang-undang yang baru, harus ada wakil yang turut mendampinginya. Meski tak disebutkan secara jelas, apa saja tugas seorang wakil tersebut. Hingga akhirnya posisi wakil ini juga menjadi sesuatu yang dipertanyakan kembali keberadaannya, khususnya untuk jabatan kepala daerah. Bahkan ada wacana baru, bawah posisi wakil itu harus dari pejabat karir di lingkungan pemerintah. Seperti halnya dalam penempatan posisi wakil menteri. Realisasinya bagaimana, belum jelas hingga kini. Meski hanya menjadi orang kedua, untuk mendapatkan jabatan wakil itu tidak mudah. Harus melalui tahapan yang melelahkan, mulai dari penjaringan hingga tahapan pemilihan, baik yang dilakukan langsung maupun tak langsung. Semua itu harus dilewati. Namun dalam beberapa kasus, justru posisi wakil kadang memegang peranan penting.
Hal itu tidak lepas dari figur yang menduduki wakil tersebut. Figur tersebut justru yang menjadi daya tarik pemilih, seperti dalam Pemilu kepala daerah. Terkait dengan posisi wakil ini, bahkan ada seorang walikota, yang rela turun menjadi wakil walikota, karena terhambat aturan. Yakni dia telah menajdi walikota selama dua periode, sementara dia masih ingin duduk di jabatan eksekutif. Terakhir kasus yang menarik perhatian, seorang wakil bupati mengundurkan diri lantaran mengaku sudah tidak cocok lagi dengan bupatinya. Entah ada kasus lain atau tidak, yang menyebabkan dia mengajukan pengunduran dirinya itu ke Kemendagri.
Di tempat lain, justru sebaliknya, jabatan wakil ini diperebutkan. Sesuatu aturan undang-undang, ketika jabatan wakil itu kosong dapat diisi kembali. Peminatnya pun banyak, karena posisi yang ditinggalkan tersebut cukup nyaman, tidak perlu berkampanye, apalagi harus menjalani sejumlah test kesehatan maupun psikologi, cukup administrasi saja.
Namun ada juga posisi wakil yang diperebutkan banyak pihak. Padahal dia sendiri sudah menajdi orang pertama di posisi tersebut. Bahkan ketika disuruh naik posisi, jangan menjadi wakil terus, kebanyakan tidak mau. Posisi itu adalah wakil rakyat. Ketika diminta untuk menjadi rakyat, sebagian besar tidak mau. Mereka lebih memilih jadi wakil rakyat saja, tak mau naik jadi rakyat. (*)
Dari pengertian tersebut, wakil sebenarnya tidak begitu penting. Karena bukan orang pertama, bukan yang mengambil kebijakan. Dia hanya kepanjangan dari seseorang yang menduduki jabatan pertama. Namun posisi wakil ini tetap menjadi rebutan, bahkan ada yang rela mengeluarkan uang banyak untuk bisa menajdi wakil. Akhir-akhir ini saja, kata wakil lagi populer. Bahkan menjadi rebutan banyak orang. Itulah posisi wakil, yang sering dipelesetkan dengan awak karo sikil (badan dan kaki).
Seperti dalam isu reshuffle kabinet pemerintahan SBY, yang menambah posisi jabatan wakil menteri. Bahkan posisi wakil menteri ini cukup banyak, bahkan ada kementerian yang memiliki wakil lebih dari satu, seperti di Kemendiknas. Banyaknya posisi wakil menteri ini pun mengundang pro dan kontra. Sebagian mengangap posisi ini tepat, karena sejumlah kementerian mempunyai tugas yang berat. Sehingga seorang menteri saja tidak cukup, harus ada wakilnya. Ada pula yang kontra, karena hal itu membuat kabinet gemuk dan hanya menambah beban anggaran negara saja. Pro kontra ini jelas bisa dikaji dan dinilai dari kemanfaat posisi wakil tersebut.
Jika memang yang ditugasi memimpin tidak sanggup sendiri, jelas harus diisi dengan jabatan wakil. Seperti jabatan presiden, tanpa wakil negara tentunya akn kesulitan dan mengatur warganya. Sehingga selain presiden, harus ada wakil presiden. Hal itu sudah diatur dengan jelas diundang-undang. Begitu pula dengan wakil menteri, juga disebutkan sesuai dengan kebutuhan. Begitu pula jabatan kepala daerah, gubenur ada wakil gubenur. Begitu pula bupati, ada wakil bupati dan walikota, juga ada wakil walikota. Sebelumnya, untuk kepala daerah tidak ada posisi jabatan wakil.
Namun sesuai dengan undang-undang yang baru, harus ada wakil yang turut mendampinginya. Meski tak disebutkan secara jelas, apa saja tugas seorang wakil tersebut. Hingga akhirnya posisi wakil ini juga menjadi sesuatu yang dipertanyakan kembali keberadaannya, khususnya untuk jabatan kepala daerah. Bahkan ada wacana baru, bawah posisi wakil itu harus dari pejabat karir di lingkungan pemerintah. Seperti halnya dalam penempatan posisi wakil menteri. Realisasinya bagaimana, belum jelas hingga kini. Meski hanya menjadi orang kedua, untuk mendapatkan jabatan wakil itu tidak mudah. Harus melalui tahapan yang melelahkan, mulai dari penjaringan hingga tahapan pemilihan, baik yang dilakukan langsung maupun tak langsung. Semua itu harus dilewati. Namun dalam beberapa kasus, justru posisi wakil kadang memegang peranan penting.
Hal itu tidak lepas dari figur yang menduduki wakil tersebut. Figur tersebut justru yang menjadi daya tarik pemilih, seperti dalam Pemilu kepala daerah. Terkait dengan posisi wakil ini, bahkan ada seorang walikota, yang rela turun menjadi wakil walikota, karena terhambat aturan. Yakni dia telah menajdi walikota selama dua periode, sementara dia masih ingin duduk di jabatan eksekutif. Terakhir kasus yang menarik perhatian, seorang wakil bupati mengundurkan diri lantaran mengaku sudah tidak cocok lagi dengan bupatinya. Entah ada kasus lain atau tidak, yang menyebabkan dia mengajukan pengunduran dirinya itu ke Kemendagri.
Di tempat lain, justru sebaliknya, jabatan wakil ini diperebutkan. Sesuatu aturan undang-undang, ketika jabatan wakil itu kosong dapat diisi kembali. Peminatnya pun banyak, karena posisi yang ditinggalkan tersebut cukup nyaman, tidak perlu berkampanye, apalagi harus menjalani sejumlah test kesehatan maupun psikologi, cukup administrasi saja.
Namun ada juga posisi wakil yang diperebutkan banyak pihak. Padahal dia sendiri sudah menajdi orang pertama di posisi tersebut. Bahkan ketika disuruh naik posisi, jangan menjadi wakil terus, kebanyakan tidak mau. Posisi itu adalah wakil rakyat. Ketika diminta untuk menjadi rakyat, sebagian besar tidak mau. Mereka lebih memilih jadi wakil rakyat saja, tak mau naik jadi rakyat. (*)
Komentar
Posting Komentar