PAI Minta Tumbal?
Dalam dua hari berturut-turut, Kota Tegal dihebohkan dengan penemuan mayat di Pantai Alam Indah (PAI). Minggu (23/10) seorang pemuda bernama Mas Joko (19), warga Jalan Ababil Gang Lawet, Kelurahan Randugunting, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal ditemukan tewas di PAI. Pada hari yang sama, seorang siswi SDN Panggung 4 Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Dwi Candra Puspita juga ditemukan tewas di Sungai Ketiwon.
Giliran Senin (24/10) mayat seorang gadis, yang identitasnya belum diketahui, ditemukan mengambang di PAI. Sebelumnya, pada saat Lebaran lalu, tiga orang juga ditemukan tewas terseret ombak di wisata pantai satu-satunya yang ada di Kota Tegal. Mereka mungkin meninggal karena takdir dari Tuhan, itu tidak bisa dibantah. Namun faktornya bisa saja bermacam-macam, bisa karena kurang hati-hati, terseret ombak yang besar atau bisa juga karena pembunuhan. Untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, itu tugas aparat berwenang untuk menyelidikinya.
Yang jelas, kematian bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja, termasuk di obyek wisata PAI. Bagi orang yang mempunyai kepercayaan klenik, akan menimbulkan beragam misteri di balik kematian-kematian tersebut. Ada yang menyebutnya tumbal, ada pula yang menyebutnya korban dari para penunggu tempat tersebut. Itu klenik, yang orang boleh percaya atau boleh tidak. Tidak ada paksaan dalam kepercayaan klenik tersebut.
Namun dalam mistis orang Jawa, klenik tak bisa dipisahkan begitu saja. Ada saja sebab dan musabab terjadinya suatu peristiswa, apalagi peristiwa beruntun. Orang akan mengira-ngira, ada apa dan kenapa, untuk apa dan oleh siapa. Begitu pertanyaan yang mungkin muncul. Tetapi, mungkinkah PAI meminta tumbal? Pengelola PAI jelas akan menolak anggapan itu. Karena jelas akan mempengaruhi jumlah pengunjung di obyek wisata andalan Kota Tegal.
Mereka yang percaya dengan klenik, akan takut untuk datang, jangan-jangan nanti dijadikan korban dan sebagainya. Bisa saja ada yang mengusulkan, kalau sudah begini, PAI harus diruwat atau gelar upacara tolak bala. Apalagi sampai mengusulkan agar PAI ditutup sementara. Pasti itu akan ditolak pengelola PAI dan Pemkot Tegal. Bagi yang mempunyai pemikiran dan nalar sehat, bayangan klenik itu terlalu mengada-ada.
Sejumlah peristiswa yang terjadi di Kota Tegal, khususnya di PAI adalah peristiswa biasa, yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Bukan karena PAI minta tumbal atau apa pun. Namun bukan berarti lantas pengelola PAI diam saja, tanpa melakukan tindakan dan langkah. Tetapi memang harus ada yang dibenai bagi internal pengelola PAI. Hal ini harus dilakukan, paling tidak, jika tidak ingin PAI disebut minta tumbal. Yang pertama, PAI harus bisa mengelola agar bisa lebih baik lagi. Tidak ada lagi pungutan liar selama pengunjung berada di OW PAI. Persoalan ini nampaknya sepele, akan tetapi hal itu yang paling sering dikeluhkan para pengunjung. Belum lagi masalah parkir liar, yang juga sering mendapat komplain.
Dan mungkin yang sering diwarning oleh Pemkot, terkait dengan gubug-gubug yang bersekat rapat, yang diduga untuk perbuatan mesum. Masalah kebersihan pantai, dan keindahannya. Itu belum pada upaya untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang lebih memadai. Begitu pula dengan kelengkapan alat kesehatan dan keamanan, serta kesigapan petugas keamanan pantai. Seperti dalam film Bay Wacth, petugas keamanan pantai yang profesional itu harus selalu siap jika ada tanda-tanda pengunjung pantai yang terancam keselamatan jiwanya. Mereka bergerak bukan saat pengunjung pantai hilang atau sudah mengapung tanpa nyawa. Tetapi ketika pengunjung itu kesulitan dan menunjukkan tanda-tanda bahaya.
Sekali lagi, banyaknya peristiswa yang menimbulkan korban jiwa di PAI, bukan karena PAI minta tumbal, tapi bagaimana pengelola PAI bisa lebih waspada. Bagaimana PAI dikelola lebih profesional, bagaimana keamanan dan keselamatan pengunjung jadi prioritas. Bukan karena semua pengunjung diberikan perlindungan asuransi, lantas keamanan dan keselamatan diabaikan. Justru dengan adanya asuransi pengunjung, maka keamanan dan keselamatan pengunjung yang menjadi prioritas. (*)
Giliran Senin (24/10) mayat seorang gadis, yang identitasnya belum diketahui, ditemukan mengambang di PAI. Sebelumnya, pada saat Lebaran lalu, tiga orang juga ditemukan tewas terseret ombak di wisata pantai satu-satunya yang ada di Kota Tegal. Mereka mungkin meninggal karena takdir dari Tuhan, itu tidak bisa dibantah. Namun faktornya bisa saja bermacam-macam, bisa karena kurang hati-hati, terseret ombak yang besar atau bisa juga karena pembunuhan. Untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, itu tugas aparat berwenang untuk menyelidikinya.
Yang jelas, kematian bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja, termasuk di obyek wisata PAI. Bagi orang yang mempunyai kepercayaan klenik, akan menimbulkan beragam misteri di balik kematian-kematian tersebut. Ada yang menyebutnya tumbal, ada pula yang menyebutnya korban dari para penunggu tempat tersebut. Itu klenik, yang orang boleh percaya atau boleh tidak. Tidak ada paksaan dalam kepercayaan klenik tersebut.
Namun dalam mistis orang Jawa, klenik tak bisa dipisahkan begitu saja. Ada saja sebab dan musabab terjadinya suatu peristiswa, apalagi peristiwa beruntun. Orang akan mengira-ngira, ada apa dan kenapa, untuk apa dan oleh siapa. Begitu pertanyaan yang mungkin muncul. Tetapi, mungkinkah PAI meminta tumbal? Pengelola PAI jelas akan menolak anggapan itu. Karena jelas akan mempengaruhi jumlah pengunjung di obyek wisata andalan Kota Tegal.
Mereka yang percaya dengan klenik, akan takut untuk datang, jangan-jangan nanti dijadikan korban dan sebagainya. Bisa saja ada yang mengusulkan, kalau sudah begini, PAI harus diruwat atau gelar upacara tolak bala. Apalagi sampai mengusulkan agar PAI ditutup sementara. Pasti itu akan ditolak pengelola PAI dan Pemkot Tegal. Bagi yang mempunyai pemikiran dan nalar sehat, bayangan klenik itu terlalu mengada-ada.
Sejumlah peristiswa yang terjadi di Kota Tegal, khususnya di PAI adalah peristiswa biasa, yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Bukan karena PAI minta tumbal atau apa pun. Namun bukan berarti lantas pengelola PAI diam saja, tanpa melakukan tindakan dan langkah. Tetapi memang harus ada yang dibenai bagi internal pengelola PAI. Hal ini harus dilakukan, paling tidak, jika tidak ingin PAI disebut minta tumbal. Yang pertama, PAI harus bisa mengelola agar bisa lebih baik lagi. Tidak ada lagi pungutan liar selama pengunjung berada di OW PAI. Persoalan ini nampaknya sepele, akan tetapi hal itu yang paling sering dikeluhkan para pengunjung. Belum lagi masalah parkir liar, yang juga sering mendapat komplain.
Dan mungkin yang sering diwarning oleh Pemkot, terkait dengan gubug-gubug yang bersekat rapat, yang diduga untuk perbuatan mesum. Masalah kebersihan pantai, dan keindahannya. Itu belum pada upaya untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang lebih memadai. Begitu pula dengan kelengkapan alat kesehatan dan keamanan, serta kesigapan petugas keamanan pantai. Seperti dalam film Bay Wacth, petugas keamanan pantai yang profesional itu harus selalu siap jika ada tanda-tanda pengunjung pantai yang terancam keselamatan jiwanya. Mereka bergerak bukan saat pengunjung pantai hilang atau sudah mengapung tanpa nyawa. Tetapi ketika pengunjung itu kesulitan dan menunjukkan tanda-tanda bahaya.
Sekali lagi, banyaknya peristiswa yang menimbulkan korban jiwa di PAI, bukan karena PAI minta tumbal, tapi bagaimana pengelola PAI bisa lebih waspada. Bagaimana PAI dikelola lebih profesional, bagaimana keamanan dan keselamatan pengunjung jadi prioritas. Bukan karena semua pengunjung diberikan perlindungan asuransi, lantas keamanan dan keselamatan diabaikan. Justru dengan adanya asuransi pengunjung, maka keamanan dan keselamatan pengunjung yang menjadi prioritas. (*)
Komentar
Posting Komentar