Menikmati Hidup: Ingin Sate, Dapatnya Tempe
Kiranya perlu mendengarkan potongan-potongan ceramah Gus Baha atau Gus Iqdham yang lagi viral, yang banyak di-upload di media social. Mendengarkan fatwa-fatwa ringan tetapi mengena. Gak usah mikir terlalu lama, gak perlu ngaji berjam-jam. Tapi ini tidak direkomendasikan bagi mereka yang serius belajar dan ngaji ilmu keagamaan. Ini hanya khusus hanya bagi mereka yang tidak ada waktu untuk ngaji, atau malas untuk hadir di majelis-majelis ilmu yang berjam-jam itu.
Tak apalah, yang penting ngaji. Itu pun kadang
disambi dengan mengerjakan tugas dan kewajiban sehari-hari bagi yang kerja
kantoran. Bagi yang kerjanya kuli, kayaknya gak mungkin disambi ngaji, meski
hanya potongan-potongan ceramah. Terlalu gampang menyimpulkan ini, padahal ada
juga yang nyambi dangdutan, dengan kopi hitam dan intipnya yang agak gosong dan
asin. Itulah nikmatnya hidup.
Lha, daripada mendengarkan ceramah-ceramah yang
marah-marah, pikiran ikut terbawa emosi. Bahkan air putih yang ada di
sampingnya pun ikut disalahkan, kenapa rasanya tawar. Kertas putih yang masih
kosong pun ikut dicoret-coret, karena dianggap tidak berharga. Mereka yang
sebelum bertobat sukanya membuat keonaran, ketika ikut ceramah akan tetap
membuat keonaran, dengan embel-embel dakwah. Haduh…
Ketika hidup, bagi sebagian orang sudah susah, eh
ketemu orang susah lagi. Atau seperti kata Erick Thohir, hidup lagi
capek-capek, eh.. ketemu Pak Bas, yang suka usil. Namun harus tetap dinikmati
dengan senyuman, agar tidak tambah capek. Ini bukan soal capres atau cawapres
lho… tapi soal hidup dan kehidupannya.
Menikmati hidup, itu luar biasa. Lagi-lagi kata Gus
Baha, mungkin juga dikatakan kyai lainnya, yang saya lupa, harus dibikin
senang. Senang-senang tidak harus saat maksiat, tapi kegiatan rutin yang
menyenangkan itu banyak. Bercengkerama dengan keluarga, anak dan istri di rumah
selama berjam-jam, atau menjemput anak pulang sekolah, betapa senangnya hidup ini.
Dalam menikmati hidup itu, tergantung bagaimana
kita menjalaninya. Bersyukur dengan apa yang ada itu, menjadi pembelajaran yang
sangat berat. Apa yang direncanakan, kadang tidak sesuai dengan ekspetasi, itu
hal yang wajar. Katanya, apa yang terbaik oleh Tuhan, belum tentu apa yang kita
inginkan. Namun apa yang kita inginkan, jika terwujud betapa senangnya kita.
Namun harus diimbangi dengan rasa syukur, dengan berbagai macam cara.
Sebagi contoh, ketika mendapat sebuah pekerjaan, dengan
imbalan yang pasti di depan mata, tiba-tiba saja ingin makan enak dengan lauk
sate. Namun apa yang diinginkan itu ternyata meleset, pekerjaan dapat, tapi
imbalan tak kunjung dapat. Maka, ketika ingin makan sate, cukup diganti tempe.
Bersyukur masih dapat makan siang, dengan sayur asem dan sambel pedas, yang
membuat badan berkeringat. Lupakan sate, nikmati pecak tempe.
Kadang juga, di saat tanggal tua seperti sekarang
ini, masih diberi pinjaman saja itu adalah rejeki yang tak terkira. Eh.. masih
saja ada yang mau meminjam atau meminta bantuan. Dibalas tidak punya uang dibilang
pelit, tidak dibalas dikatakan tidak respond an tak peduli. Tidak tahu, kalau
di sini sedang berusaha, apakah ada rejeki lainnya yang bakal datang atau
tidak. Maka kadang harus tega dan tegas, menyatakan lain kali saja atau tidak
membalas sama sekali. Sungguh sulit, duia yang kadang berbelit-belit.
Menikmati hidup dengan apa yang ada, sungguh susah.
Tetapi menikmati hidup dengan yang tidak ada dan dipaksakan, akan lebih susah
lagi. Apalagi caranya dengan dipaksakan dan cara yang tidak baik, akan celaka
di awal, naudzu billah…
Dibikin enjoy saja itu hidup, dinikmati saja itu
hidup, niscaya akan asyik dan menyenangkan. Ndilalah, ada saja rejeki, meski
kadang datang setelahnya. Jangan berharap sate, jika memang belum waktunya. Nikmati
saja tempe, jika sudah ada di mejanya. (*)
Komentar
Posting Komentar