Catatan Kritis Pilkades Serentak 2022

 Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak Tahap III di Kabupaten Brebes telah berlangsung sukses pada Rabu, 18 Mei 2022. Kepala Desa (Kades) pun sudah terpilih berdasarkan suara terbanyak di desa masing-masing, tinggal menunggu pelantikan oleh Bupati. Jabatan Kades ini menjadi jabatan tertinggi di tingkat desa, yang digelar secara demokratis. Mulai dari pencalonan, kampanye, hingga pemilihan langsung, one man one vote dan penetapan calon terpilih.

Ada beberapa catatan kritis dari pelaksanaan Pilkades kemarin. Karena di dalamnya ada unsur gengsi dan kepercayaan di tengah masyarakat. Pertama, bahwa jabatan Kades merupakan jabatan politik di tingkat desa, yang siapa pun bisa mencalonkan diri sesuai dengan syarat yang ditentukan Panitia Pilkades. Kedua, masyarakat desa yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memilih siapa yang dianggap paling layak dan mampu untuk memimpin desanya selama enam tahun ke depan. Ketiga, visi dan misi Kades terpilih menjadi harapan yang harus diwujudkan selama periode jabatan tersebut. Visi dan misi inilah yang akan dinilai, apakah dijalankan dan berhasil ketika Kades itu diberi kepercayaan masyarakat.

Setidaknya, ketiga hal tersebut menjadi pedoman bagi masyarakat dalam sistem demokrasi di desa tersebut. Seperti diketahui, sistem Pilkades langsung ini umurnya lebih tua dibandingkan dengan pemilihan langsung, baik bupati/walikota, gubernur maupun presiden di Indonesia. Sehingga Pilkades akan menjadi percontohan utama dalam pemilihan jabatan di atasnya. Di sini, jabatan Kades hanya ada dua tujuannya, gengsi dan kepercayaan, atau kedua-duanya.

Catatan kritis pertama, bahwa dalam dunia politik, khususnya di tingkat desa, maka jabatan kades ini adalah jabatan paling bergengsi, jabatan paling tinggi. Semua warga desa pasti mengenal siapa kadesnya. Rumahnya di mana, istri dan anaknya siapa saja. Kekayaannya seberapa banyak, bahkan latar belakang keluarganya juga diketahui secara luas. Berbeda dengan kelurahan, yang lurahnya ditunjuk langsung oleh bupati/walikota. Masyarakat banyak yang tidak tahu, siapa lurah di kelurahan yang ditempatinya. 

Dulu, selain kepala desa, jabatan pamong desa, termasuk Hansip, sangat dihormati seluruh masyarakat desa. Mereka adalah para petinggi di desa, yang setiap omongannya wajib dipatuhi dan diikuti seluruh warga. Jika ada warga yang menolak, dianggap membangkang pemerintah desa. Dituduh ekstrimis dan warga yang tidak patuh.

Dulu, mereka yang bisa mencalonkan diri sebagai kades hanya dari kelompok warga tertentu. Tentu saja yang mempunyai pendidikan, bisa baca tulis dan berasal dari keluarga terpandang serta kaya raya. Sehingga saat itu, sebagian besar kades yang menjabat bisa turun temurun, dari satu jalur keluarga  tertentu. Istilahnya sekarang dinasti politik di tingkat desa. Anak keturunannya juga akhirnya banyak yang menjadi pangreh praja di tingkat kecamatan maupun kabupaten/kota. Jangan harap warga yang tidak punya apa-apa bisa jadi kepala desa.

Sekarang, dengan UU Desa yang ada, siapa saja bisa mendaftarkan diri menjadi calon kades, dan mendapat dukungan suara terbanyak. Dari bukan siapa-siapa, menjadi kades. Dari keluarga biasa, tidak terpandang dan tidak kaya, bisa menjadi kades. Yang penting mendapat kepercayaan dari sebagian besar warga desanya. Itulah yang menjadi catatan kritis kedua, bahwa jabatan kades itu terkait dengan kepercayaan yang diberikan warga desa kepada seseorang yang dianggap mampu memimpin desanya, tanpa melihat latar belakang kelaurga dan kekayaannya.

Apalagi sekarang ini akses pendidikan sudah sangat terbuka, karena semua warga negara wajib belajar hingga 12 tahun. Bahkan beberapa daerah sudah menggratiskan biaya pendidikan sampai 12 tahun. Dengan demikian, secara pendidikan, salah satu syarat pendidikan sudah terpenuhi. Karena dalam Pilkades, syarat minimal pendidikan hanya SMP. Sedangkan untuk syarat caleg, bupati hingga presiden cukup sampai jenjang SMA atau sederajat.

Setelah terpilih dan diberi kepercayaan menduduki jabatan paling bergengsi di desa, seorang Kades tinggal mampu atau tidak menjalankan visi dan misinya tersebut. Jika gagal, dipastikan masyarakat tidak akan simpati lagi saat gelaran Pilkades yang akan datang. Mengingat dari beberapa calon Kades yang incumbent, ternyata banyak yang kalah. Salah satu faktor kekalahannya yakni yang ebrsangkutan dianggap gagal dan tidak sanggup mengemban kepercayaan masyarakat tersebut. Namun ada juga incumbent yang kalah karena faktor lain, baik faktor politik maupun faktor ekonomi.

Pola dan dinamika politik di tingkat desa melalui Pilkades ini menjadi indikator dalam pemilihan di tingkat atasnya, baik pemilihan bupati, gubernur, presiden dan juga DPR dan DPRD. Meskipun tidak sama persis, namun indikator masyarakat pemilihnya bisa dinilai dan dijadikan patokan dasar saat seseorang akan mengikuti proses politik di tingkat atasnya. Butuh penelitian lebih lanjut untuk menilai politik di tingkat desa ini, antara saat Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pilpres maupun Pileg. Tetapi hal ini bisa menjadi gambaran awal. Karena mereka yang maju di level-level itu juga bertarung untuk mendapat gengsi dan kepercayaan, yang di antara keduanya itu sangat tipis. (*)


Terbit di PanturaPost 19 Mei 2022

Komentar

Postingan Populer