Bias Gender dalam Kasus Perceraian
Dalam beberapa hari terakhir ini media massa menerbitkan pemberitaan terkait kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama di sejumlah daerah. Salah satu yang menarik dari kasus tersebut yakni tingginya angka perceraian di daerah tersebut. Begitu pula di media sosial, isu tersebut juga menarik perhatian, dengan banyaknya komentar maupun isu yang diangkat tersebut. Bahkan ada video yang viral, yang menggambarkan kebahagian seorang perempuan usai menerima sertifikat cerai dari Pengadilan Agama tersebut.
Banyak hal yang menajdi penyebab kasus perceraian
tersebut, mulai dari faktor ekonomi, pihak ketiga hingga persoalan keluarga dan
kasus lainnya yang sepele. Namun yang diangkat media dalam pemberitaannya,
cenderung bias gender. Karena yang dijadikan judul selalu pihak perempuan dalam
kasus perceraian tersebut, yakni statusnya yang menjadi janda. Padahal
berdasarkan data yang dimuat media tersebut, sebagian besar yang mengajukan
gugatan cerai adalah kaum perempuan itu sendiri.
Harus diakui, dalam penulisan berita, media
cenderung mencari judul yang menarik pembaca. Paling tidak, kalau jaman sekarang
ini yakni banyaknya media online, maka minimal jumlah klik yang dicari oleh media
tersebut. Dengan membuat judul yang menarik, seperti dalam pemberitaan kasus
perceraian ini, memang akan menarik banyak pembaca. Tidak salah media membuat
judul seperti itu, tetapi akan memunculkan bias gender dalam pemberitaan
tersebut.
Dalam perspektif gender, sebenarnya media massa bisa
membuat judul lain yang tidak bias gender, tapi tetap bisa menarik minat
pembaca. Bukan hanya sekedar menarik minta pembaca, media juga harus bersikap
adil dalam kasus pemberitaan tersebut. Dari pemberitaan kasus perceraian,
sebagian besar penggugat adalah pihak istri, kenapa tidak ambil judul misalnya
jumlah duda yang meningkat, misalnya. Atau dari sekian ribu gugatan, yang tidak
dikabulkan berapa persen beserta alasannya. Sisi-sisi lain dari berita tersebut
bisa dibuat menarik, sangat tergantung dari sudut mana media massa tersebut
mengambil angel beritanya.
Hal-hal yang biasa gender tersebut, memang tidak
bisa dihindari, karena media massa juga banyak yang belum memahami perpekstif
gender dan juga masyarakat yang masih banyak bersikap bias gender. Padahal dari
segi pemberitaan, masih banyak judul yang bisa diambil untuk menarik minat baca
masyarakat, tanpa harus menjadi bias gender. Ini tantangan bagi media massa,
yang tidak hanya memburu klik dan oplah saja.
Media massa bisa menjadi salah satu lembaga yang
peduli terhadap keadilan gender. Yakni dengan membuat berita-berita yang tidak
bias gender. Kemudian mempunyai wawasan dan perspektif gender, serta berprinsip
pada berkeadilan gender. Hal itu perlu dilakukan kepada semua wartawannya, agar
ketika meliput suatu peristiwa tidak ada lagi yang bias gender.
Di sisi lain, aktivis-aktivis perempuan pun
cenderung diam dari pemberitaan kasus perceraian yang bias gender. Tidak ada
protes atau pun gugatan ke media massa tersebut. Bahkan di medsos, banyak kaum
Adam yang ramai-ramai menyebarkan berita beserta link-nya tersebut. Seolah-olah
menawarkan kepada yang lain, ini lho banyak istri yang menggugat cerai dan
dikabulkan Pengadilan dan sekarang sudah resmi menjadi janda. Berbagai macam
tanggapan dalam grup medsos terkait postingan seputar berita perceraian itu.
Kiranya media massa dan juga masyarakat, khususnya
yang aktif di medsos, harus sadar gender agar berita-berita yang bias gender
bisa dikurangi. Organisasi wartawan maupun media massa itu sendiri harus
belajar lebih banyak tentang gender. Karena keadilan gender sangat penting, dan
media massa pun bisa mengurangi munculnya ketidakadilan gender tersebut.
Aktivis-aktivis perempuan pun harus kritis dalam
menyikapi pemberitaan yang bias gender tersebut, agar tidak terulang lagi di
kemudian hari. Jika tidak ada sikap kritis, maka berita yang bias gender
tersebut dianggap biasa dan wajar. Sehingga berita serupa akan terus muncul,
tidak hanya di satu media massa saja, tetapi bisa terjadi pada semua media
massa. Dan tentu saja, tidak hanya terjadi di satu daerah, tetapi juga daerah
lain, dengan kasus dan berita yang sama, bias gender. Semoga ini semua menjadi
catatan bersama, tidak hanya kaum perempuan saja, tetapi juga kaum laki-laki
yang peduli terhadap keadilan gender. (*)
terbit di Pantura Post 19 Juli 2022
Komentar
Posting Komentar