Menjadi Politisi

Oleh: M Riza Pahlevi

Pemilu 2014 masih lama, namun sejumlah partai politik sudah mulai membuka pendaftaran calon anggota legislatif. Langkah ini dilakukan karena persaingan politik pada 2014 dipastikan akan semakin keras. Sehingga sejak awal, sejumlah partai politik pun mengantisipasinya dengan pendaftaran calon anggota legislatif. Mencuri start pemilu, mungkin yang sering dikatakan ketika pertandingan belum dimulai, tapi sudah dilakukan gerakan-gerakan politik.
Itulah fenomena politik yang sekarang terjadi. Partai-partai politik berlomba-lomba mencari simpatisan untuk dijadikan pemilih pada 2014 mendatang. Selain membuka pendaftaran calon anggota legislatif, sejumlah partai politik pun melakukan manuver yang kadang bikin orang pusing. Apa iya, untuk menggaet massa pemilih harus melakukan manuver politik, yang justru tidak membuat simpatik rakyat. Tapi biarlah, namanya juga politik, biarlah rakyat yang menilai dan memutuskan.
Dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, mungkin ada yang alergi terhadap dunia politik. Sehingga menimbulkan sikap anti politik, tidak mau terlibat dalam masalah politik. Golongon putih atau golput, istilah yang muncul pada zaman Orde Baru, untuk menghindari politik Orde Baru yang despotik, tirani dan otoriter. Padahal justru sikap anti politik atau golput itu sendiri adalah sebuah pilihan politik, jadi tetap saja dia berpolitik. Namun dari 200 juta penduduk itu, ada juga yang sangat peduli dengan dunia politik. Hingga dia pun aktif dan menjadi pengurus partai politik, termasuk juga ikut serta dalam pemilihan legislatif dengan menajdi calon anggota legislatif atau caleg.
Menjadi politisi, mungkin istilah yang tepat bagi mereka yang terlibat aktif dalam dunia politik. Entah itu hanya sekedar pengurus di partai politik, atau hanya sebagai kegiatan usai pensiun dari dinas di pemerintahan maupun militer. Bermacam kepentingan dan niat orang yang membulatkan tekadnya menjadi politisi. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa dia aktif di politik semata-mata demi beribadah kepada Tuhan, dengan cara berdakwah melalui dunia politik. Tak masalah itu dilakukan, karena memang dunia politik merasuki semua unsur kehidupan di masyarakat, di tingkatan mana pun.
Seperti diketahui dalam ilmu politik, bahwa politik memang sangat dekat dengan kekuasaan. Karena ujung dari politik adalah mencapai kekuasaan. Politik adalah kekuasaan, itu tidak bisa dipungkiri. Meskipun harus diakui pula, bahwa tujuan akhir dalam politik kekuasaan itu adalah untuk kebaikan bersama seluruh masyarakat. Walau dalam prakteknya, mungkin hanya sedikit sekali politisi yang bermuara pada tujuan politik sesuai dengan ilmu yang sesungguhnya.
Menjadi politisi, selain bertujuan pada apa yang disebut di atas, juga harus siap mental maupun fisik. Betapa tidak, seorang politisi adalah pekerja yang operasionalnya 24 jam. Apalagi politisi yang menduduki jabatan penting, seperti anggota legislatif maupun eksekutif. Mereka harus siap melayani masyarakat 24 jam. Belum lagi kegiatan rutin sebagai seorang pejabat politik, seperti rapat-rapat partai, rapat-rapat pembahasan angagran, pembuatan peraturan, menerima aspirasi masyarakat, kunjungan kerja ke daerah maupun luar daerah, studi banding, hingga bertemu konstituen. Belum lagi kegiatan kemasyarakatan lainnya, yang hampir setiap hari ada. Termasuk ketika ada hajatan yang digelar kader atau kosntituen, undangan pasti juga menghampirinya. Pun ketika ada warga yang sakit, yang berasal dari keluarga kurang mampu, pasti akan dimintai tolong, paling tidak dipinjami kendaraannya untuk mengantar ke rumah sakit.
Akibatnya, waktu bersama dengan keluarga pun berkurang. Komunikasi dengan suami atau istri, serta anak menjadi jarang dilakukan. Kalau pun ada telepon, tidak bisa menggantikan waktu untuk berkomunikasi langsung, entah bersendau gurau, berkeluh kesah, hingga membicarakan nasib keluarga ke depan. Itulah resiko yang harus dihadapi seorang politisi, baik fisik maupun mental harus benar-benar siap. Termasuk siap untuk dihujat, siap dicaci maki dan juga siap masuk penjara! Sementara untuk mendapat pujian, mendapat penghargaan, hanya sebagian kecil saja, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkannya.
Contoh saja, ketika kebijakan ataupun keputusan yang diambil tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, pasti akan diprotes. Apalagi keputusan yang bertentangan dengan aturan maupun hukum, maka siap-siap saja harus berhadapan dengan aparat hukum. Ketika menjadi politisi, maka harus siap segalanya. Bukan siap untuk menjadi kaya, apalagi menjadi kaya dengan cara korupsi. Karena memang kekuasaan itu cenderung korup. Jadi, menjadi politisi harus siap dicaci maki, dihujat, dimarahi, bukan hanya dari kosntituen saja, tapi juga dari keluarga. Bahkan keluarga juga bisa menjadi taruhan, jika tidak bisa membagi dan mengatur waktu. Jadi politisi, juga harus siap untuk tidak korupsi. (*)

Komentar

Postingan Populer