Lagi, Cicak Lawan Buaya
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus simulator SIM di Korlantas Polri. Namun Bareskrim Polri, belum menetapkannya sebagai tersangka. Justru Bareskrim Polri menetapkan tersangka lain dalam kasus tersebut. Polri pun menuduh KPK telah menyalahi etika dan melanggar kesepakatan yang sudah dinyatakan bersama.
Akibat kasus ini, masyarakat awam pun melihat ada upaya memperebutkan kasus dugaan korupsi itu antara KPK dan Polri. Sebagian besar masyarakat dan elemen bangsa menghendaki kasus itu ditangani KPK saja. Namun Polri tetap ngotot tidak akan menyerahkan kasus itu ke KPK, karena sudah lebih dulu melakukan penyidikan. Namun anehnya, dalam pemberitaan sebelumnya, Polri membantah adanya korupsi dalam kasus pengadaan simulator SIM tersebut.
Ada apa? Pertanyaan ini jelas menjadi pertanyaan yang menggema di seantero negeri yang penuh dengan korupsi ini. Kalau dulu, Kepala Bareskrim Polri Susno Duaji menyebutkan cicak melawan buaya, entah apalagi yang akan disebutkan Bareskrim yang sekarang ini. Apakah ayam melawan musang atau cicak lawan buaya jilid II? Ada apa dibalik kengototan Polri dalam kasus simualtor SIM itu? Apakah ada ketakutan jika kasus itu akan menyeret banyak jenderal di tubuh kepolisian? Ataukah ada gengsi dalam upaya untuk mengusut kasus korupsi di internal mereka? Ata ada udang dibalik batu atas kasus ini? Entahlah, kasus ini masih terus berjalan dan banyak menimbulkan pro dan kontra.
Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap KPK masih sangat tinggi. KPK masih diangap sebagai lembaga antikorupsi yang serius dan bekerja tanpa pandang bulu. Upaya menetapkan salah seorang jenderal polisi aktif, adalah langkah berani KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Bukan hanya politisi saja yang disikat masuk penjara, tapi juga aparat penegak hukum itu sendiri yang juga dilibasnya.
Justru, jika pihak Polri memberikan kebebasan kepada KPK untuk mengusut tuntas kasus itu, maka akan menaikkan citra Polri di mata masyarakat. Bahwa Polri juga memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Di mana seorang pejabatnya dijadikan sebagai tersangka aksus korupsi dan Polri mendukung penuntasan kasus tersebut oleh KPK. Namun langkah kontraproduktif justru dilakukan Polri, yakni memperebutkan kasus tersebut dengan KPK. Seolah-olah polisi yang lebih dahulu menyidik kasus tersebut.
Dalam keterangan yang disampaikan kepala Bareskrim, salah satunya penyebutan tersangka, ternyata tidak sampai pada pucuk pimpinan lembaga yang diduga korupsi tersebut. Tetapi hanya Wakil Korlantas saja yang dijadikan tersangka, sementara Kepala Korlantasnya belum ditetapkan. Selain itu, panitia pengadaan barang dan jasa saja yang ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga total ada lima tersangka kasus tersebut. Kemana posisi Kepala Korlantas, yang disebut-sebut menerima uang suap senilai Rp 2 miliar oleh Polri? Tentu saja penetapan tersangka ini jelas menjadi pertanyaan masyarakat. Meski dalam hak jawab yang disampaikan Polri, isu suap itu hanya dianggap sebagai kabar burung saja.
Namun dalam upaya pemberantasan kasus korupsi oleh KPK, justru yang dijadikan tersangka terlebih dahulu adalah otaknya, bukan anak buah hanya menjalankan perintah kepalanya. Dalam hal ini, KPK berusaha untuk melibas habis pelaku korupsi, bukan hanya pada level anak buah saja, tetapi langsung kepada kepala yang paling bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus tersebut.
Semoga saja, kasus pengungkapkan korupsi di tubuh Polri ini bukan episode lanjutan cicak lawan buaya. Tetapi sebagai langkah berani KPK dan langkah terpuji Polri untuk menuntaskan dan memberantas korupsi di negeri ini. (*)
Akibat kasus ini, masyarakat awam pun melihat ada upaya memperebutkan kasus dugaan korupsi itu antara KPK dan Polri. Sebagian besar masyarakat dan elemen bangsa menghendaki kasus itu ditangani KPK saja. Namun Polri tetap ngotot tidak akan menyerahkan kasus itu ke KPK, karena sudah lebih dulu melakukan penyidikan. Namun anehnya, dalam pemberitaan sebelumnya, Polri membantah adanya korupsi dalam kasus pengadaan simulator SIM tersebut.
Ada apa? Pertanyaan ini jelas menjadi pertanyaan yang menggema di seantero negeri yang penuh dengan korupsi ini. Kalau dulu, Kepala Bareskrim Polri Susno Duaji menyebutkan cicak melawan buaya, entah apalagi yang akan disebutkan Bareskrim yang sekarang ini. Apakah ayam melawan musang atau cicak lawan buaya jilid II? Ada apa dibalik kengototan Polri dalam kasus simualtor SIM itu? Apakah ada ketakutan jika kasus itu akan menyeret banyak jenderal di tubuh kepolisian? Ataukah ada gengsi dalam upaya untuk mengusut kasus korupsi di internal mereka? Ata ada udang dibalik batu atas kasus ini? Entahlah, kasus ini masih terus berjalan dan banyak menimbulkan pro dan kontra.
Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap KPK masih sangat tinggi. KPK masih diangap sebagai lembaga antikorupsi yang serius dan bekerja tanpa pandang bulu. Upaya menetapkan salah seorang jenderal polisi aktif, adalah langkah berani KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Bukan hanya politisi saja yang disikat masuk penjara, tapi juga aparat penegak hukum itu sendiri yang juga dilibasnya.
Justru, jika pihak Polri memberikan kebebasan kepada KPK untuk mengusut tuntas kasus itu, maka akan menaikkan citra Polri di mata masyarakat. Bahwa Polri juga memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Di mana seorang pejabatnya dijadikan sebagai tersangka aksus korupsi dan Polri mendukung penuntasan kasus tersebut oleh KPK. Namun langkah kontraproduktif justru dilakukan Polri, yakni memperebutkan kasus tersebut dengan KPK. Seolah-olah polisi yang lebih dahulu menyidik kasus tersebut.
Dalam keterangan yang disampaikan kepala Bareskrim, salah satunya penyebutan tersangka, ternyata tidak sampai pada pucuk pimpinan lembaga yang diduga korupsi tersebut. Tetapi hanya Wakil Korlantas saja yang dijadikan tersangka, sementara Kepala Korlantasnya belum ditetapkan. Selain itu, panitia pengadaan barang dan jasa saja yang ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga total ada lima tersangka kasus tersebut. Kemana posisi Kepala Korlantas, yang disebut-sebut menerima uang suap senilai Rp 2 miliar oleh Polri? Tentu saja penetapan tersangka ini jelas menjadi pertanyaan masyarakat. Meski dalam hak jawab yang disampaikan Polri, isu suap itu hanya dianggap sebagai kabar burung saja.
Namun dalam upaya pemberantasan kasus korupsi oleh KPK, justru yang dijadikan tersangka terlebih dahulu adalah otaknya, bukan anak buah hanya menjalankan perintah kepalanya. Dalam hal ini, KPK berusaha untuk melibas habis pelaku korupsi, bukan hanya pada level anak buah saja, tetapi langsung kepada kepala yang paling bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus tersebut.
Semoga saja, kasus pengungkapkan korupsi di tubuh Polri ini bukan episode lanjutan cicak lawan buaya. Tetapi sebagai langkah berani KPK dan langkah terpuji Polri untuk menuntaskan dan memberantas korupsi di negeri ini. (*)
Komentar
Posting Komentar